94 Tahun Tebingtinggi, Kenangan Pada Sepotong Tembok Jembatan Sei Bahilang
Jembatan Woodlands, merupakan jalur penghubung antara negeri Johor Malaysia dengan Singapura. Di atas jembatan itu, terdapat gardu pemeriksaan imigrasi keluar masuk ke dua negara. Hal itu, menandakan Woodlands lah yang jadi batas teritorial ke dua negara tetangga itu.
Seperti Woodlands, sebenarnya banyak jembatan yang jadi batas teritorial suatu negara. Bahkan, hal demikian sudah lazim terjadi sejak dahulu, tak terkecuali di negeri ini, khususnya di masa Kolonial Belanda. Jembatan Sei Bahilang yang membelah kota Tebingtinggi, pernah memiliki sejarah demikian. Tiga jembatan awal yang
dibangun di masa lalu, berfungsi sebagai batas teritorial antara Gementee Tebingtinggi dengan Kerajaan Padang.
Hingga kini, ada tiga dari sembilan jembatan yang membelah sungai Bahilang dibangun di masa Belanda. Masing-masing jembatan ada di Jalan Iskandar Muda, Jalan Pattimura dan Jalan Suprapto. Ketiga jembatan itu, layak disebut sebagai monumen bisu tentang dinamika dan perjalanan sejarah Kota Tebingtinggi. Tapi, dua jembatan telah kehilangan bangunannya yang asli dan hanya satu jembatan yang masih menyisakan sepotong bangunan asli sebagai kenangan.
Melintaslah di Jalan Iskandar Muda, Kel. Pasar Baru, Kec. T.Tinggi Kota. Jika Anda sedikit teliti, akan ditemukan sepotong tembok/pagar jembatan yang diperkirakan sudah berusia sama dengan umur Kota Tebingtinggi. Pagar jembatan, diperkirakan tingginya 1 meter dengan panjang sekira 4 meter dan lebar sekira 60 cm untuk pondasi dan cup atas. Bentuk tembok itu, bagai pilar tersusun 10 dengan posisi saling menguatkan. Pagar itu, jadi penghias pinggir jembatan pada keempat sisinya dan sering digunakan sebagai tempat mengaso warga di kala jam istirahat. Namun sayang dua unit pagar jembatan telah hancur, oleh tangan yang tak memahami makna historis suatu bangunan.
Tempo Doeloe
Pada 1881, Kesultanan Deli memberikan konsesi kepada Belanda untuk membangun perkebunan di wilayah Kerajaan Padang. Satu tahun kemudian Belanda melihat Kampung Tebingtinggi dan sekitarnya, sebagai lokasi yang cocok untuk dijadikan pusat administrasi perkebunan yang lepas dari kekuasaan kerajaan. Kecocokan itu, setelah memperhatikan posisi geografis kampung Tebingtinggi, Rambung, Badak Bejuang dan Pasar Baru yang berada di tanah tinggi serta dikelilingi oleh aliran sungai Bahilang dan Padang. Demikian pula dengan ketersediaan sumber daya alam yang mendukung untuk itu, misalnya air artesis (hangat).
Dua kampung, yakni Pasar Baru dan Badak Bejuang persis berada di tepian sungai Bahilang dan Padang, layak dijadikan sebagai pusat perdagangan dan pemukiman. Sedangkan Kampung Tebingtinggi dan Rambung yang berada di tanah tinggi dijadikan sebagai pusat pemerintahan. Meski demikian, kampung Pasar Baru dan Badak Bejuang, sejak sebelum kedatangan Belanda telah menjadi pusat perdagangan Kerajaan Padang dengan kerajaan-kerajaan lain.
Namun, rencana pembukaan perkebunan itu ditolak oleh raja Kerajaan Raya Tuanku Rondahaim dibantu keluarga Kerajaan Padang yakni Raja Syahbokar dengan mengangkat senjata (1885-1888). Sehingga, upaya pembangunan pusat administrasi dan pemukiman di keempat kampung itu sempat tertahan. Begitu pun, untuk mengatasi pemberontakan, Belanda dan Kerajaan Deli menjadikan keempat kampung itu, sebagai basis pertahanan dengan membangun tangsi militer (kini Mapolresta dan eks Markas Kodim (Great Market), rumah sakit (kini RS Bhayangkari) serta penjara (kini Lapas Kelas IIB) serta kuburan umum (kerkhof) di Jalan Cemara.
Ketika pemberontakan padam, Belanda pun meneruskan mengembangkan keempat kampung dengan membangun sejumlah fasilitas pemerintahan dan publik. Pembangunan berada disekeliling esplanade (kini lapangan Merdeka), diantaranya kantor pos, gedung controleur (kini kantor Dinas Pendidikian), rumah kediaman controleur (kini kediaman Camat Tebingtinggi, Sergai), rumah kepala polisi (rumah dinas Kapolres), landraad (kini PN), pegadaian, balai umum (kini perpustakaan umum) waterleiding (telah hilang) dan stasiun telephone dan telegraf serta pergudangan. Sebelumnya, pada 1883 telah pula dibangun stasiun kereta api.
Dalam proses pengembangan Tebingtinggi, ada hal menarik dikenang. Di mana sungai Bahilang dan Padang dijadikan batas teritorial antara dua pemerintahan. Sebelah kanan sungai Bahilang jika dibelah dari sisi utara, merupakan wilayah Tebingtinggi dan di sebelah Barat Kerajaan Padang dengan ibu kota Kampung Bandar Sakti. Sedangkan di arah timur, dibuat patok batas wilayah. Hingga kini patok tapal batas itu, masih bisa dilihat di Kel. Sri Padang, Kec. Rambutan.
Keempat kampung yang jadi wilayah administrasi Belanda, merupakan daerah khusus untuk pemukiman orang Belanda, ditambah Timur Asing dan pribumi yang bekerja untuk Belanda maupun pendatang. Sedangkan di luarnya, merupakan wilayah Kerajaan Padang dari warga pribumi. Antara kedua wilayah itu, Belanda membangun tiga jembatan penghubung di atas sungai Bahilang selain patok tapal batas. Kabarnya, di pinggir ketiga jembatan itu, dibangun pos penjagaan keluar masuk penduduk kedua wilayah itu.
Sebelum menjadi Gementee berdasarkan Ordonatie van Staatsblad 1917 tanggal 1 Juli 1917 maupun sesudahnya, kehidupan masyarakat Tebingtinggi diwarnai stratifikasi sosial yang ketat. Orang Belanda/Barat dan Timur Asing memiliki keistimewaan, berupa fasilitas publik, hukum dan pemerintahan sendiri, berbeda dengan pribumi. Orang Belanda tunduk kepada Controleur, sedangkan Timur Asing (China, Tamil, Arab) masing-masing memiliki pemimpin yang disebut kapitan. Tugas kapitan salah satunya sebagai pengutip pajak bagi kaumnya untuk disetorkan kepada Belanda. Sedangkan pribumi dikepalai pengulu pekan.
Pemukiman Belanda bertumpu di Kampung Tebingtinggi, China, Tamil dan Arab berada di sentra ekonomi, yakni Kampung Pasar Baru dan Badak Bejuang. Sedangkan pribumi yang mengabdi pada Belanda atau pribumi pendatang membentuk enclave (lingkungan tersendiri) di pinggiran keempat kampung. Kapitan China bermukim di Pasar Baru (kediamannya kini masih terlihat di Jalan Iskandar Muda sekira 20 meter dari jembatan), juga didiami pengulu pekan, sedangkan kapitan Tamil/Keling bermukim di Kampung Tebingtinggi (eks pertapakan ruko “Semangat” di Jalan Veteran.
Kenangan Historis
Wilayah Tebingtinggi sebagai daerah khusus, hingga kini masih menyimpan sejumlah kenangan historis yang seharusnya dilestarikan, seperti pada fasilitas keagamaan dan pendidikan. Pada keempat kampung yang dikuasai Belanda, ada gereja dan vihara yang berusia cukup tua. Yakni gereja Methodist (Methodist Episcopal Kerk) di Jalan Gereja/Balai Kota yang dibangun pada 1927, tapi diperkirakan pembangunan pertamanya lebih awal lagi, dan vihara Mahadana di Jalan Veteran yang diperkirakan dibangun pada 1889. Sedangkan masjid tertua yang dibangun di keempat kampung itu, diperkirakan Masjid Jamik di Jalan Batubara. Usia masjid itu, bisa dideteksi dari penamaan “Jamik” yang biasanya menjadi masjid besar suatu kampung.
Dua rumah ibadah Kristen dan Buddha di atas, masih meninggalkan sejumlah kenangan masa lalu. Sayangnya, Masjid Jamik yang ada sekarang telah kehilangan keasliannya. Meski beberapa tahun, lalu masih menyisakan podium khatib dari masa lalu, tapi kini diperkirakan telah hilang. Ada juga rumah ibadah kaum Sikh (Sikh Gurdwara) di Jalan Imam Bonjol yang belum diketahui tahun pendiriannya serta masjid kaum Ahmadiyah “At Thahir” di Jalan Batubara, berjarak 200 meter dari Masjid Jamik. Ketiga rumah ibadah itu, diperkirakan dibangun pada masa Belanda atau paling tidak di awal kemerdekaan.
Selain sejumlah rumah ibadah, terdapat juga bangunan historis yang kini perlahan mulai dilupakan, misalnya SMPN 1 (Europeschool) dan SDN 1 (Holland Inlandseschool) di Jalan Sutomo. Sayangnya, bangunan tempo dulu itu telah hilang beberapa tahun lalu, ketika dilakukan renovasi total atas bangunan. Bahkan menimbulkan ironi, ketika model bangunannya yang asli telah lenyap tak berbekas digantikan arsitektur masa kini. Demikian pula dengan SMPN 2 (Velks school) di Jalan Imam Bonjol. Atau SMPN 3 (Hoa Kio) di Jalan Thamrin yang diperuntukkan bagi warga Timur Asing (China).
Saat ini, jika kita berkeliling ke Gementee Tebingtinggi (Kel. T.Tinggi Lama, Badak Bejuang, Rambung dan Pasar Baru) hanya ada sejumlah bangunan masa lalu yang masih berdiri, itu pun dalam kondisi sekarat dan siap disantap para developer yang haus tanah pertapakan. Misalnya, gedung kantor pos di Jalan Sutomo, eks Balai Kota yang kini jadi Kantor Dinas Pendidikan di Jalan Balai Kota, rumah dinas Kapolres Tebingtinggi di Jalan Pahlawan serta stasiun kereta api dan sejumlah bangunan perumahan Deli Spoor Maschapij (DSM) di Jalan Imam Bonjol, jejeran rumah pecinan di Jalan Patriot dan Bedagai serta jejeran ruko di Jalan Thamrin simpang Jalan Iskandar Muda. Bisa jadi, itulah bangunan yang tersisa dari masa lalu Kota Tebingtinggi.
Persoalannya kini, ketika usia Kota Tebingtinggi mencapai 94 tahun adakah niat Pemko Tebingtinggi dan masyarakat kota untuk menjaga bahkan melestarikan sisa kehidupan masa lalu itu. Jika perhatian ke arah itu tidak ditumbuhkan sejak kini, maka ada kekhawatiran semua aset sejarah itu akan lenyap seiring dengan perkembangan kota yang terus berpacu dengan zaman. Pemerintah sendiri telah membuat UU No.11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya yang mewajibkan setiap aset sejarah yang ada untuk dilestarikan dan dijaga keberadaanya. Tinggal lagi siapa yang harus memulai, meski sudah ada Dinas Pemuda Olah Raga Budaya dan Pariwisata Pemko Tebingtinggi. Wallahu a’lamu bi as shawab.
Seperti Woodlands, sebenarnya banyak jembatan yang jadi batas teritorial suatu negara. Bahkan, hal demikian sudah lazim terjadi sejak dahulu, tak terkecuali di negeri ini, khususnya di masa Kolonial Belanda. Jembatan Sei Bahilang yang membelah kota Tebingtinggi, pernah memiliki sejarah demikian. Tiga jembatan awal yang
dibangun di masa lalu, berfungsi sebagai batas teritorial antara Gementee Tebingtinggi dengan Kerajaan Padang.
Hingga kini, ada tiga dari sembilan jembatan yang membelah sungai Bahilang dibangun di masa Belanda. Masing-masing jembatan ada di Jalan Iskandar Muda, Jalan Pattimura dan Jalan Suprapto. Ketiga jembatan itu, layak disebut sebagai monumen bisu tentang dinamika dan perjalanan sejarah Kota Tebingtinggi. Tapi, dua jembatan telah kehilangan bangunannya yang asli dan hanya satu jembatan yang masih menyisakan sepotong bangunan asli sebagai kenangan.
Melintaslah di Jalan Iskandar Muda, Kel. Pasar Baru, Kec. T.Tinggi Kota. Jika Anda sedikit teliti, akan ditemukan sepotong tembok/pagar jembatan yang diperkirakan sudah berusia sama dengan umur Kota Tebingtinggi. Pagar jembatan, diperkirakan tingginya 1 meter dengan panjang sekira 4 meter dan lebar sekira 60 cm untuk pondasi dan cup atas. Bentuk tembok itu, bagai pilar tersusun 10 dengan posisi saling menguatkan. Pagar itu, jadi penghias pinggir jembatan pada keempat sisinya dan sering digunakan sebagai tempat mengaso warga di kala jam istirahat. Namun sayang dua unit pagar jembatan telah hancur, oleh tangan yang tak memahami makna historis suatu bangunan.
Tempo Doeloe
Pada 1881, Kesultanan Deli memberikan konsesi kepada Belanda untuk membangun perkebunan di wilayah Kerajaan Padang. Satu tahun kemudian Belanda melihat Kampung Tebingtinggi dan sekitarnya, sebagai lokasi yang cocok untuk dijadikan pusat administrasi perkebunan yang lepas dari kekuasaan kerajaan. Kecocokan itu, setelah memperhatikan posisi geografis kampung Tebingtinggi, Rambung, Badak Bejuang dan Pasar Baru yang berada di tanah tinggi serta dikelilingi oleh aliran sungai Bahilang dan Padang. Demikian pula dengan ketersediaan sumber daya alam yang mendukung untuk itu, misalnya air artesis (hangat).
Dua kampung, yakni Pasar Baru dan Badak Bejuang persis berada di tepian sungai Bahilang dan Padang, layak dijadikan sebagai pusat perdagangan dan pemukiman. Sedangkan Kampung Tebingtinggi dan Rambung yang berada di tanah tinggi dijadikan sebagai pusat pemerintahan. Meski demikian, kampung Pasar Baru dan Badak Bejuang, sejak sebelum kedatangan Belanda telah menjadi pusat perdagangan Kerajaan Padang dengan kerajaan-kerajaan lain.
Namun, rencana pembukaan perkebunan itu ditolak oleh raja Kerajaan Raya Tuanku Rondahaim dibantu keluarga Kerajaan Padang yakni Raja Syahbokar dengan mengangkat senjata (1885-1888). Sehingga, upaya pembangunan pusat administrasi dan pemukiman di keempat kampung itu sempat tertahan. Begitu pun, untuk mengatasi pemberontakan, Belanda dan Kerajaan Deli menjadikan keempat kampung itu, sebagai basis pertahanan dengan membangun tangsi militer (kini Mapolresta dan eks Markas Kodim (Great Market), rumah sakit (kini RS Bhayangkari) serta penjara (kini Lapas Kelas IIB) serta kuburan umum (kerkhof) di Jalan Cemara.
Ketika pemberontakan padam, Belanda pun meneruskan mengembangkan keempat kampung dengan membangun sejumlah fasilitas pemerintahan dan publik. Pembangunan berada disekeliling esplanade (kini lapangan Merdeka), diantaranya kantor pos, gedung controleur (kini kantor Dinas Pendidikian), rumah kediaman controleur (kini kediaman Camat Tebingtinggi, Sergai), rumah kepala polisi (rumah dinas Kapolres), landraad (kini PN), pegadaian, balai umum (kini perpustakaan umum) waterleiding (telah hilang) dan stasiun telephone dan telegraf serta pergudangan. Sebelumnya, pada 1883 telah pula dibangun stasiun kereta api.
Dalam proses pengembangan Tebingtinggi, ada hal menarik dikenang. Di mana sungai Bahilang dan Padang dijadikan batas teritorial antara dua pemerintahan. Sebelah kanan sungai Bahilang jika dibelah dari sisi utara, merupakan wilayah Tebingtinggi dan di sebelah Barat Kerajaan Padang dengan ibu kota Kampung Bandar Sakti. Sedangkan di arah timur, dibuat patok batas wilayah. Hingga kini patok tapal batas itu, masih bisa dilihat di Kel. Sri Padang, Kec. Rambutan.
Keempat kampung yang jadi wilayah administrasi Belanda, merupakan daerah khusus untuk pemukiman orang Belanda, ditambah Timur Asing dan pribumi yang bekerja untuk Belanda maupun pendatang. Sedangkan di luarnya, merupakan wilayah Kerajaan Padang dari warga pribumi. Antara kedua wilayah itu, Belanda membangun tiga jembatan penghubung di atas sungai Bahilang selain patok tapal batas. Kabarnya, di pinggir ketiga jembatan itu, dibangun pos penjagaan keluar masuk penduduk kedua wilayah itu.
Sebelum menjadi Gementee berdasarkan Ordonatie van Staatsblad 1917 tanggal 1 Juli 1917 maupun sesudahnya, kehidupan masyarakat Tebingtinggi diwarnai stratifikasi sosial yang ketat. Orang Belanda/Barat dan Timur Asing memiliki keistimewaan, berupa fasilitas publik, hukum dan pemerintahan sendiri, berbeda dengan pribumi. Orang Belanda tunduk kepada Controleur, sedangkan Timur Asing (China, Tamil, Arab) masing-masing memiliki pemimpin yang disebut kapitan. Tugas kapitan salah satunya sebagai pengutip pajak bagi kaumnya untuk disetorkan kepada Belanda. Sedangkan pribumi dikepalai pengulu pekan.
Pemukiman Belanda bertumpu di Kampung Tebingtinggi, China, Tamil dan Arab berada di sentra ekonomi, yakni Kampung Pasar Baru dan Badak Bejuang. Sedangkan pribumi yang mengabdi pada Belanda atau pribumi pendatang membentuk enclave (lingkungan tersendiri) di pinggiran keempat kampung. Kapitan China bermukim di Pasar Baru (kediamannya kini masih terlihat di Jalan Iskandar Muda sekira 20 meter dari jembatan), juga didiami pengulu pekan, sedangkan kapitan Tamil/Keling bermukim di Kampung Tebingtinggi (eks pertapakan ruko “Semangat” di Jalan Veteran.
Kenangan Historis
Wilayah Tebingtinggi sebagai daerah khusus, hingga kini masih menyimpan sejumlah kenangan historis yang seharusnya dilestarikan, seperti pada fasilitas keagamaan dan pendidikan. Pada keempat kampung yang dikuasai Belanda, ada gereja dan vihara yang berusia cukup tua. Yakni gereja Methodist (Methodist Episcopal Kerk) di Jalan Gereja/Balai Kota yang dibangun pada 1927, tapi diperkirakan pembangunan pertamanya lebih awal lagi, dan vihara Mahadana di Jalan Veteran yang diperkirakan dibangun pada 1889. Sedangkan masjid tertua yang dibangun di keempat kampung itu, diperkirakan Masjid Jamik di Jalan Batubara. Usia masjid itu, bisa dideteksi dari penamaan “Jamik” yang biasanya menjadi masjid besar suatu kampung.
Dua rumah ibadah Kristen dan Buddha di atas, masih meninggalkan sejumlah kenangan masa lalu. Sayangnya, Masjid Jamik yang ada sekarang telah kehilangan keasliannya. Meski beberapa tahun, lalu masih menyisakan podium khatib dari masa lalu, tapi kini diperkirakan telah hilang. Ada juga rumah ibadah kaum Sikh (Sikh Gurdwara) di Jalan Imam Bonjol yang belum diketahui tahun pendiriannya serta masjid kaum Ahmadiyah “At Thahir” di Jalan Batubara, berjarak 200 meter dari Masjid Jamik. Ketiga rumah ibadah itu, diperkirakan dibangun pada masa Belanda atau paling tidak di awal kemerdekaan.
Selain sejumlah rumah ibadah, terdapat juga bangunan historis yang kini perlahan mulai dilupakan, misalnya SMPN 1 (Europeschool) dan SDN 1 (Holland Inlandseschool) di Jalan Sutomo. Sayangnya, bangunan tempo dulu itu telah hilang beberapa tahun lalu, ketika dilakukan renovasi total atas bangunan. Bahkan menimbulkan ironi, ketika model bangunannya yang asli telah lenyap tak berbekas digantikan arsitektur masa kini. Demikian pula dengan SMPN 2 (Velks school) di Jalan Imam Bonjol. Atau SMPN 3 (Hoa Kio) di Jalan Thamrin yang diperuntukkan bagi warga Timur Asing (China).
Saat ini, jika kita berkeliling ke Gementee Tebingtinggi (Kel. T.Tinggi Lama, Badak Bejuang, Rambung dan Pasar Baru) hanya ada sejumlah bangunan masa lalu yang masih berdiri, itu pun dalam kondisi sekarat dan siap disantap para developer yang haus tanah pertapakan. Misalnya, gedung kantor pos di Jalan Sutomo, eks Balai Kota yang kini jadi Kantor Dinas Pendidikan di Jalan Balai Kota, rumah dinas Kapolres Tebingtinggi di Jalan Pahlawan serta stasiun kereta api dan sejumlah bangunan perumahan Deli Spoor Maschapij (DSM) di Jalan Imam Bonjol, jejeran rumah pecinan di Jalan Patriot dan Bedagai serta jejeran ruko di Jalan Thamrin simpang Jalan Iskandar Muda. Bisa jadi, itulah bangunan yang tersisa dari masa lalu Kota Tebingtinggi.
Persoalannya kini, ketika usia Kota Tebingtinggi mencapai 94 tahun adakah niat Pemko Tebingtinggi dan masyarakat kota untuk menjaga bahkan melestarikan sisa kehidupan masa lalu itu. Jika perhatian ke arah itu tidak ditumbuhkan sejak kini, maka ada kekhawatiran semua aset sejarah itu akan lenyap seiring dengan perkembangan kota yang terus berpacu dengan zaman. Pemerintah sendiri telah membuat UU No.11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya yang mewajibkan setiap aset sejarah yang ada untuk dilestarikan dan dijaga keberadaanya. Tinggal lagi siapa yang harus memulai, meski sudah ada Dinas Pemuda Olah Raga Budaya dan Pariwisata Pemko Tebingtinggi. Wallahu a’lamu bi as shawab.
4 comments for "94 Tahun Tebingtinggi, Kenangan Pada Sepotong Tembok Jembatan Sei Bahilang"
Memang sangat disayangkan peninggalan-peninggalan sejarah banyak yang dihancurkan. Kenapa tidak ada pihak yang peduli dengan peninggalan sejarah apalagi yg mencerminkan kejayaan masa lalu.
Keep writing.............
saya memang lahir di Tebing..sedikit banyak tahu sejarahnya dari berbagai wawancara dan survei di lokasi penulisan...tulisan itu setidaknya bisa jadi pengingat semua mrk yg cinta pada tebingtinggi...
http://www.kpdurian.co.nr
Tapi lebih baik disertakan juga foto bangunan masa lalu dan foto bangunan masa sekarang agar pembaca lebih tau dimana pastinya peninggalan sejarah itu sehingga dapat diketahui dan dijaga bersama sama..