----iklan---- Ternyata, Makkah Al Mukarramah Kian Materialistis - JEJAK KHALIK
Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Ternyata, Makkah Al Mukarramah Kian Materialistis

Jemaah Umrah Menjelang Tahun Baru 2015 di Masjidil Haram
SEKIRA pukul 15.00 , Rabu (24/12), pesawat air bus milik Saudi Arabia, sedang memuat ratusan penumpang dari bandar udara internasional Kuala Namu. Pesawat ini akan mengantar jemaah umrah dari berbagai travel di Medan dan sekitarnya langsung menuju Madinah, dengan jarak tempuh sekira delapan jam. Maskapai penerbangan Saudi Arabia, Assaudia, sejak Desember 2014 telah membuka rute langsung KNIA-Madinah, setelah sebelumnya maskapai itu membuka rute Jakarta-Madinah via Bandara Sukarno Hatta ke Madinah serta beberapa kota besar lainnya, seperti Surabaya. Hal itu mengindikasikan tingginya kuantitas penumpang dari Indonesia menuju ke dua tanah haram Makkah dan Madinah. Data tidak resmi yang berhasil diperoleh menyebutkan, setelah terjadi kuota haji yang hingga kini, para pendaftar harus menunggu 10 tahun ke depan, arus keberangkatan umrah meningkat tajam. Travel umrah dan haji paspor hijau tumbuh pesat, seperti juga peminat umrah yang kian membesar. Ada yang menyebut, per harinya sekira 600 ribu umat Islam Indonesia berangkat dengan berbagai travel menuju Makkah dan Madinah untuk umrah. Keberangkatan itu berlangsung sepanjang tahun, tak meperhitungkan bulan dan waktu. Jika dua tahun sebelumnya, ujar Muhammad Yazid, pemandu dari travel PT Siar Haramain Internasional, Medan, kepadaWaspada, saat-saat usai bulan haji Makkah dan Madinah akan sepi, tapi kini tidak lagi. Justru menjelang akhir tahun Masehi itu, jutaan jemaah haji dari berbagai penjuru dunia malah berharap bisa berada di dua tanah haram itu. Termasuk umat Islam negeri ini. Hebatnya, jumlah jemaah umrah terbesar sepanjang tahun, berasal dari negeri di lintasan khatulistiwa itu. Tapi tahukah kita, ternyata modernisasi fasilitas haji di dua tanah haram Makkah dan Madinah itu, kian tidak ramah terhadap orang Indonesia. Upaya memperbaiki fasilitas publik yang dilakukan secara besar-besaran oleh Kerajaan Arab Saudi, hampir-hampir tidak menyentuh kepentingan umat Islam Indonesia sebagai jemaah umrah yang terbesar dan menghasilkan devisa terbesar bagi kerajaan itu. Bayangkan saja, ada puluhan hotel Internasional yang beroperasi di sekeliling Masjid Nabawi Madinah dan Masjidil Haram Makkah, dengan ribuan kamar yang dipersiapkan untuk jemaah umrah dan haji. Hotel Internasional sekelas Hilton, Marriot, Movenpick serta berbagai hotel kelas Internasional lainnya, disamping hotel-hotel pengusaha Arabia sendiri, seperti Al Rayyan, persis berada di tepian kedua masjid suci itu. Bagi jemaah yang mampu membayar sewa mahal kamar hotel berkelas itu, dipastikan mereka akan mudah menjalankan umrah dan haji, karena berbagai faktor. Misalnya kedekatan antara hotel dimaksud dengan kedua masjid, paling jauh sekra 50-100 meter saja. Belum lagi berbagai fasilitas publik lainnya, mulai dari jalan, kamar mandi hingga rumah makan, pasar belanja maupun fasilitas lainnya, yang semuanya terlihat serba modern dan mewah. Namun, kemewahan dan modernitas fasilitas hotel-hotel itu bagi kebanyakan jemaah Indonesia menimbulkan berbagai masalah, bahkan berujung keluhan saat menggunaan fasilitas publik itu. “Masalahnya dalam menggunakan faslitas ini, umumnya tak ada petunjuk dalam bahasa Indonesia,” ujar Taufik, seorang pejabat di Pemkab Asahan yang ikut rombongan umrah PT Siar Haramain Internasional. Akibat minimnya penggunaan bahasa Indonesia pada fasilitas-fasilitas publik di dua tanah haram itu, banyak jemaah asal Indonesia yang harus menggunakannya secara meraba dan serampangan. Timbullah berbagai pengalaman menggelikan dan lucu dari masing-masing jemaah. Misalnya, dalam penggunaan ruang kamar mandi di dalam kamar hotel. Syofian Ramlan, warga Tanjung Morawa yang baru pertama kali ikut umrah, mengaku susah menggunakan kran air di hotel Movenpick, Makkah Al Mukarramah, karena tidak adanya tanda mana air panas dan mana dingin. “Semestinya ada kode soal air panas dan dingin. Saya takut menggunakannya,” ujar pria yang telah punya beberapa cucu itu. Beberapa jemaah umrah lain mengaku kesulitan menggunakan fasilitas modern berbagai hotel Internasional itu, karena tidak menggunakan bahasa Indonesia sebagai petunjuk. Termasuk dalam masalah ini, minimnya penggunaan bahasa Indonesia di ruang publik di dua tanah haram itu. Umumnya, pengumuman terhadap fasilitas publik menggunakan bahasa Arab dan Inggris. Dalam soal makanan minuman, jemaah umrah Indonesia juga mengalami kesulitan menyesuaikan selera dengan yang disediakan hotel-hotel Internasional itu. Di seluruh hotel Internasional, misalnya sulit mencari nasi dan lauk pauk yang sesuai dengan selera Indonesia. Hidangan internasional yang ada, umumnya menyediakan makanan ala Eropah atau Arabia. Akibatnya, selama masa umrah banyak jemaah yang makan ‘terpaksa’ dengan jenis makanan tak sesuai lidah. Bahkan, tak jarang jemaah mengalami masalah pencernaan karena asupan makanan yang tak biasanya. Madinah Lebih Ramah Lain lagi soal keramahan dan sifat royal jemaah umrah Indonesia yang seringkali dimanfaatkan secara salah oleh masyarakat Arab maupun migran lainnya di sana. Banyaknya jemaah umrah yang tertipu saat belanja di berbagai pasar Madinah dan Makkah, jadi cerita yang sering kita dengar. Itu sebabnya diharapkan jika hendak berbelanja harus lebih dulu memasang sikap hati-hati terhada penipuan dan. Waspada sendiri hampir mengalami penipuan saat berbelanja di kawasan Balad di Jeddah, namun karena kejelian dan sikap hati-hati, hal itu bisa dihindari. Jika dirunut ke belakang, sebenarnya masalah ini tidak terjadi pada satu dekade sebelumnya, ketika Madinah dan Makkah belum mengalami proses modernisasi seperti saat ini. “Kalau dulu di Makkah ini enak, mau belanja murah tempatnya ada, kalau sekarang para mukimin (orang yang menetap) saja payah mencari tempat belanja murah,” ujar Muchtar pemandu ibadah di Makkah dan Madinah. Dikatakan, sebelum adanya pembangunan besar-besaran di Makkah, ada komplek Pasar Seng (semacam pasar tradisional) yang menjual berbagai barang dengan harga murah. Jemaah asal Indonesia, menjadikan Pasar Seng sebagai tempat untuk membeli oleh-oleh yang akan dibawa ke tanah air dengan harga yang bisa dijangkau. Namun, saat ini pasar murah itu sudah hilang dan tak ada penggantinya. Pasar Makkah al Mukarramah telah menjadi pasar modern yang hanya melayani jemaah berkantong tebal. Toko-toko penjual berbagai barang kebutuhan umumnya berada di lantai dasar hotel-hotel Internasional itu, dengan harga-harga selangit. “Makkah sekarang kian materalistis,” ujar rekan sesama peserta umrah. Hal lain, mulai hilangnya rasa tenang dalam beribadah di Makkah, karena suasana yang tercipta, berupa kedekatan antara pasar jual beli dengan Masjidil Haram. Bagi mereka yang ingin beribadah dengan tenang dan tidak terganggu apapun, harus berjihad menghadapi godaan barang-barang duniawiyah. Bagaimana tidak, ketika turun dari penginapan menuju Masjidil Haram, maka mata setiap orang akan disuguhi berbagai barang dagangan, begitu pula ketika akan kembali ke penginapan. “Soal ini memang berbeda jika dibanding 10 tahun lalu. Dulu ibadah kita tenang tak diganggu apapun,” ujar Taufan Gama Simatupang, bupati Asahan yang tergabung dalam rombongan umrah kami. Godaan barang-barang mewah yang terpampang di etalase komplek pertokoan, memang tak tanggung-tanggung, karena banyak orang justru kehilangan control dengan membalik keadaan dari semula berniat untuk ibadah secara khusus, tapi malah terjebak ke dalam suasana berbelanja barang. Maka tidak mengherankan, jika belakangan banyak jemaah umrah dan haji, ketika kembali ke tanah air, membawa barang-barang belanjaan hingga melimpah. Seperti dikisahkan Muhammad Yazid, dia pernah harus membayar hingga 2000 rial hanya untuk membayar kelebihan barang jemaah yang harus diangkut pesawat pulang ke tanah air. Kelebihan barang itu terjadi hampir setiap kepulangan jemaah umrah dan haji dengan jumlah denda yang variatif, aku Yazid. Pihak maskapai penerbangan sendiri hanya menanggung berat barang hingga 30 kg. Selebihnya harus ditanggung bayar oleh penumpang. Dari cerita itu, mengindikasikan adanya perilaku yang bergeser, di mana umrah dan haji telah ditulari oleh budaya shopping yang gila-gilaam. Begitupun, suasana tenang dalam beribadah, diakui sejumlah jemaah umrah, masih bisa diperoleh di Madinah. Masjid Nabawi, memberikan waktu longgar bagi jemaah untuk beribadah, misalnya pengaturan waktu antara adzan dengan sholat. Masjid Nabawi memberikan tenggang waktu sekira satu jam antara adzan dengan sholat. Bahkan, pada sholat Shubuh ada dua kali adzan yang membuat jemaah dari tempat paling jauh sekalipun bisa datang ke masjid untuk sholat berjamaah. Sedangkan di Makkah hal itu tidak diperoleh lagi. Madinah juga masih memberikan ruang kepada jemaah berkantong tipis untuk berbelanja oleh-oleh. Misalnya, ada pasar kaget di luar pagar Masjid Nabawi yang menjual berbagai barang dengan harga miring. Pada pasar ini, jemaah yang usai beribadah bisa nyantai memperhatikan aktifitas pedagang, sehingga kedekatan bisa dijalin dengan mereka. Pedagang pasar kaget Madinah juga cukup ramah dan mau bertegur sapa dengan jemaah, sehingga jemaah at home dengan kondisi yang ada. Sedangkan di Makkah, hal-hal semacam itu tidak terjadi, karena modernisasi tanah suci itu, mulai mengarahkan orang menjadi individualistik. Culture shock atau keterkejutan budaya. Inilah agaknya yang tengah dialami oleh Makkah dan Madinah di mata jemaah umrah dan haji asal Indonesia. Dua tanah haram itu, dirasakan kian tidak ramah dengan orang Indonesia yang kini banyak warganya masih dalam tahap budaya transisi dari era tradsional menuju era modernisme. Di mana banyak orang Indonesia yang berangkat umrah dan haji itu, adalah dari kalangan berusia di atas 40 tahun, sehingga modernisasi Makkah dan Madinah membuat mereka merasa terasing di sana. Hal yang terpenting agaknya mereka harapkan, adalah petunjuk dalam bahasa Indonesia pada fasilitas publik di dua tanah haram itu, agar mereka bisa menggunakan fasilitas modern itu dengan maksimal. Hal demikian harus diakui merupakan urusan Pemerintah Indonesia. Abdul Khalik.

Post a Comment for "Ternyata, Makkah Al Mukarramah Kian Materialistis"