Stadion Kp. Durian T.Tinggi, Harus Diselamatkan Dari Mafia Tanah!
SATU bulan belakangan, stadion bola Kampung Durian, di Jalan A. Yani, Link.02, Kel. Durian, Kec. Bajenis, Kota Tebingtinggi, suasananya setiap sore kembali dihiasi hiruk pikuk penonton si kulit bundar. Kompetisi sepak bola antara klub se Kota Tebingtinggi dan sekitarnya, kembali menggeliat, setelah hampir 20 tahun, suasana itu tak pernah kedengaran lagi.
Belasan klub dari dalam dan luar kota ikut meramaikan kompetisi yang digelar Pengcab PSSI kota Tebingtinggi itu. Panitia pun membagi klub peserta dalam dua peringkat, yakni divisi utama dan divisi 1. Diperkirakan, roda kompetisi akan berlangsung satu bulan lebih guna penyusunan klasemen di antara klub-klub yang ada. Kompetisi itu, bak membalas kerinduan belasan tahun, karena setiap hari disaksikan penonton yang terus bertambah, memenuhi arena yang terlihat sekarat.
Jujur, tak pantas sebenarnya jika kompetisi antar klub sepak bola dilaksanakan di stadion itu, karena fasilitasnya tak layak. Lapangannya yang telah puluhan tahun tanpa perbaikan. Demikian pula dengan stadion yang hanya tinggal puing-puing tak karuan. Serta fasilitas pendukung yang sama sekali tak ada. Stadion Kp Durian itu, pantasnya disebut sebagai lapangan tempat lembu, kerbau dan kambing di angon.
Stadion Kp. Durian yang sejak lama jadi lapangan sepak bola kebanggaan Kota Tebingtinggi, jejak historisnya menyimpan sejuta kenangan manis dan teramat sulit dilupakan masyarakat. Itulah satu-satunya lapangan yang pernah melahirkan dua kapten tim nasional PSSI, yakni Ramlan Yatim di era 1950-an dan Anshari Lubis di era 1990-an. Selain sejumlah nama pesepak bola yang pernah memperkuat tim nasional maupun Sumut dan klub-klub ternama lainnya.
Dari sejumlah keterangan, stadion Kp. Durian dibangun sekira tahun 1930 oleh Tengku Alamsyah menjabat sebagai raja Kerajaan Padang. Tengku Alamsyah, menjadikan lapangan bola itu sebagai basecamp klub sepak bola Padang Sport Club yang didirikan dan dipimpinnya. Lapangan bola itu dilengkapi dengan stadion mini, sedangkan di belakang stadion itu, terdapat juga lapangan tenis, dengan pembatas dua jalan. Sekarang menjadi Jalan A. Yani dan Jalan Dr.H.Kumpulan Pane.
Sebelum membangun lapangan sepak bola Kampung Durian itu, Tengku Alamsyah sempat membangun lapangan bola di Kampung Sawo (sekarang berada di belakangan Perguruan Diponegoro, masuk dalam wilayah Kel. Durian, Kec. Bajenis). Selanjutnya berpindah ke Kampung Bandar Sakti (tepatnya di pabrik ubi, Link.03, Kel. Bandar Utama, Kec. T.Tinggi Kota). Beberapa tahun kemudian, atau tepatnya 1936, lahan penonggol milik perusahaan asing diminta Tengku Alamsyah untuk dijadikan stadion standar.
Sayangnya ketika lapangan bola itu dibangun dari tanah penonggol Kebun Bahilang, pengagasnya tak memperhatikan konsep modern, sehingga lapangan itu tak memiliki santel ban. Bahkan, lahan itu sendiri saat ini dalam kondisi memprihatinkan, karena berada dalam status hukum tak jelas. Di mana ada oknum-oknum tertentu yang mengklaim bahwa lahan itu, milik dari keluarga mereka.
Dari sejumlah keterangan, lahan dari lapangan itu awalnya merupakan tanah penonggol (penunggu) yang menyatu dengan lahan Kampung Kurnia dan Durian, bagian dari lahan perkebunan miik Inggris bernama Horison Crossfil. Setelah ditanami tembakau, lahan itu kemudian diistrirahatkan dari penanaman untuk mengembalikan keaslian lahan. Oleh perusahaan pemilik lahan, diizinkan masyarakat untuk menggarapnya. Sedangkan Raja Negeri Padang Tengku Alamsyah, menjadikan areal itu sebagai lahan untuk kegiatan olah raga.
Selain itu, penuturan dari zuriat Tengku Alamsyah, mengatakan lapangan itu milik masyarakat dan tidak boleh diperjual belikan. Hak publik itu ada sepanjang lahan itu digunakan untuk kepentingan publik, yakni untuk kegiatan olah raga. "Jadi tidak benar jika ada yang mengklaim lahan itu milik keluarga tertentu," ujar pemangku adat Negeri Padang Tebingtinggi Tngku Nurdinsyah Al Haj gelar Mahraja Bongsu Negeri Padang Tebingtinggi, dalam suatu pertemuan.
“Saya pernah dengar Padang Sport Club itu dari orang tua,” ujar saksi sejarah stadion Kp. Durian, Aswad Asmara, 73, disela-sela keterlibatannya sebagai panitia kompetisi Pengcab PSSI itu. Pria yang lahir pada 1939 itu, mengakui stadion itu awalnya memang milik kesultanan Padang dan tidakmasuk dalam Gementee Tebingtinggi.
Di era pasca kemerdekaan, tutur Aswad Asmara, stadion Kp. Durian masuk wilayah Kewedanaan Padang Bedagai, Kabupaten Deli Serdang. Lapangan itu, di era 1950-an menjadi basecamp Persatuan Sepakbola Kewedanaan Padang Bedagai (PSKPB) yang berinduk ke Deli Serdang. Bonden PSKPB, membawahi sejumlah klub di Kewedanaan Padang Bedagai yang umumnya merupakan klub sepak bola perkebunan dan desa. Misalnya, Paya Pinang, Tanah Besih, Pabatu, Sibulan, Bandar Bejambu, Gunung Pamela, Bajalingge (Dolok Merawan), Dolok Masihul hingga Rambung Sialang. Sedangkan klub sepak bola Gementee Tebingtinggi, misalnya Muda Sebaya, Tebing Putra dan beberapa klub yang dia lupa namanya.
Kesemua klub itu, sekira 1974 ketika terjadi pemekaran Kota Tebingtinggi, jadi cikal bakal berdirinya Persatuan Sepak Bola Tebingtinggi Sekitarnya, dikenal dengan akronim PSKTS. Berdirinya PSKTS dengan dukungan sejumlah klub desa dan perkebunan itu membuat bonden ini disegani di tingkat Sumut. Rutinitas kompetisi yang digelar, juga melahirkan sejumlah pemain sepak bola yang cukup handal. Misalnya, kiper Taufik Lubis dan penyerang Effendi Maricho di era pertengahan 1980-an.
Tak hanya melahirkan sejumlah pesepak bola handal. Stadion Kp Durian juga, di masa lalu, memiliki kapasitas sebagai stadion yang layak tanding untuk tingkat nasional. Kompetisi Galatama era 1980-an, misalnya pernah mengambil lokasi bertanding di stadion itu. Beberapa pertandingan yang masih diingat, misalnya klub Sari Bumi Raya Bandung dan Pardedetex Medan, pernah merasakan empuknya merumput di stadion Kp. Durian.
Namun, di era 1990 aroma harum stadion Kp Durian mulai meredup, setelah Pemko Tebingtinggi kurang merespon dinamika sepak bola di kota itu. Ditambah lagi dengan terjadinya stagnasi di organisasi PSKTS setelah bonden jadi ajang untuk kepentingan pribadi pengurusnya. Sejak itu, sejumlah klub perkebunan pun pindah dan mencari bonden lain, diantaranya PS Rambung Sialang. Kondisi itu berlangsung hingga kini, di mana PSKTS tak pernah melakukan aktifitas dan klub-klub pun tiarap, karena berbagai persoalan melilitnya.
Keberadaan Pengcab PSSI pun, awalnya tak menunjukkan greget menggembirakan. Namun, belakangan kepengurusan baru, mulai menunjukkan i’tikad baik untuk memajukan sepak bola kota kue kacang yang telah mati suri. Roda kompetisi antar klub Pengcab PSSI itu, selayaknya diapresiasi positif. Satu pesan yang harus diingat, menghindari kepentingan politik olah raga jangka pendek. Akhirnya, selamat berkompetisi untuk melahirkan pesepak bola tangguh di Kota Tebingtinggi tercinta.
Saat ini, pada 2015, banyak kalangan mulai mengklaim bahwa lapangan sepak bola itu merupakan milik keluarga tertentu. Terihat, ada sebuah plank di hadapan lapangan yang kini tak terurus itu. Bunyi plank itu, 'Tanah Ini Milik Ahli Waris OK Aliviyah.' Tak jelas bagaimana klaim it bisa dilakukan oleh oknum-oknum dimaksud. Padahal, sejarah lapangan itu membuktikan, bahwa sejak awal dibangunnya lapangan itu, merupakan andil besar dari Raja Kerajaan Negeri Padang Tengku Alamsyah.A.Khalik
Post a Comment for "Stadion Kp. Durian T.Tinggi, Harus Diselamatkan Dari Mafia Tanah!"