Kota Nabi, Taman Kurma, Tempat Pelesiran dan Orang Gila
PERGI umroh di akhir tahun
atau setidaknya sehabis musim haji, diharapkan akan berlangsung tenang, karena
kondisi kedua tanah haram, Makkah Al Mukrramah dan Madinatul Munawwarah akan
sunyi, karena puncak ibadah, yakni haji sudah terlewati. Begitulah pikiran
kebanyakan para peziarah selama ini. Begitu pula yang kami dengar. Atas dasar
itu pula, penulis dan puluhan jemaah pergi umroh di akhir tahun bersama PT.
Siar Haramain Internasional.
Namun, faktanya berkata lain. Kedua kota itu tetap saja penuh
sesak oleh ratusan ribu peziarah dari berbagai negeri. Secara kasat mata saja,
dari informasi tak resmi setiap harinya sekira 600 ribu umat Islam Indonesia
menjejakkan kakinya di kedua kota itu. Belum lagi dari berbagai negara muslim
semisal Malaysia, Pakistan, Turki dan belasan negara lainnya. Saat berada di
Masjid Nabawi dan bertemu dengan sejumlah orang Indonesia, mereka mengaku dari
berbagai pelosok negeri, mulai dari Aceh hingga ke Maluku. Setiap hari Masjid
Nabawi dipadati jemaah yang jadi makmun sholat lima waktu. Sekira setengah
areal masjid terbesar kedua itu sesudah Masjidil Haram, terisi penuh.
Di Masjid Quba’ yang jadi tempat berziarah jemaah umroh, Kamis
(18/12), kondisinya juga demikian. Untuk buang air kecil saja tak bisa, karena
jemaah penuh sesak. Areal parkir di Jabal Uhud tempat rombongan perjalanan
umroh dari berbagai negara, juga terlihat padat rapat oleh kenderaan bus.
Diperkirakan kondisi Makkah Al Mukraamah juga tak akan jauh berbeda dengan yang
ada di Madinah.
“Memang sekarang tak bisa lagi berharap Makkah dan Madinah
sunyi. Kalau dua tahun lalu memang, tapi sekarang, sepanjang tahun tetap saja
ramai,” ujar M. Yazid, kepala rombongan kami dari Siar Haramain, saat
berbincang soal kondisi itu. Menurut Yazid, kondisi itu dipicu oleh pandangan
selama ini, bahwa pasca musim haji Makkah dan Madinah akan sunyi, sehingga enak
untuk beribadah. Entah bagaimana asumsi itu merebak, sehingga banyak orang yang
mendaftar untuk berangkat di akhir tahun. Kelompok-kelompok itulah kemudian
yang menyatu saat ini, sehingga kondisinya tetap saja ramai.
Pasar di sekitar Masjid Nabawi juga penuh sesak oleh
pedagang dan pembeli. Suara-suara pedagang pinggir jalan menghiasi halaman luar
masjid tempat di mana jasad Rasulullah Saw disemayamkan. “Tapi tak terdengar
lagi suara khamsah (lima) lira, sekarang ganti jadi 10 lira,”
ujar Pak Prabudi Said, saat kami menikmati suasana pasar kaget ala Madinah
itu. Setahun lalu, suara padagang penjual jilbab memang menarik perhatian kami,
sehingga menjadi arena hiburan melepas kepenatan usai beribadah. Di tepi pasar
itulah, sejumlah wartawan Waspada kala itu, asik menghabiskan waktu menunggu
panggian adzan.
Kini di perjalan umroh kedua bersama Pemred Waspada, ada
pengalaman menarik ketika Yazid mengajak kami untuk mengunjungi ‘Pasar Kurma’
sebuah pasar makanan dan minuman yang banyak dikunjungi orang Indonesia. Pasar
itu, berada di sebuah areal yang tidak jauh dari jalan menuju gerbang utama
Masjid Nabawi. Sebelum menuju ke sana, kam menyempatkan menikmati pahitnya Tukish
Coffee, seharga 10 rial. Dengan kopi di tangan kami menuju lokasi Taman
Kurma itu.
Taman Kurma, tidak terlalu luas, hanya terdiri atas sejumlah
pondok untuk pengunjung jika ingin bersantai dan menghabiskan makanan dan
minuman yang di beli di komplek itu. Tapi, bagi banyak orang Indonesia, taman
itu jadi istimewa, karena di sana dijual berbagai makanan khas Indonesia. Mulai
dari nasi goreng, mie rebus, misop dan bakso atau sejumlah panganan lain yang
akrab di lidah kita. Harganya juga tidak terlalu mahal, karena memang kelas
pedagang makanan di komplek Taman Kurma, bak kelas pedagang di warung
kecil. Tapi selain makanan Indonesia, bagi pengunjung yang ingin menikmati
berbagai makanan dari negeri lain, juga tersedia di lokasi ini, misalnya
berbagai makanan khas India, Mesir maupun dari Pakistan serta China. Ice
Cream Turki yang terkenal juga terlihat disuguhkan kepada pengunjung.
Tapi di tempat itu pula, penulis tidak mengira ternyata ada
patologi sosial kota yang tak tertangani. Sesosok orang gila dengan pakaian
kumal serta rambut gondrong yang semrawut ternyata terlihat berkeliaran bebas
di kota Nabi itu. Meski tidak menganggu pengunjung Taman Kurma, tapi penulis
berfikir, bagaimana pemerintah Saudi Arabia yang begitu kaya masih menyisakan
orang kurang waras bebas berkeliaran di kota suci itu.
Jika Taman Kurma, adalah tempat penjualan makanan minuman bagi
kebanyakan. Maka dapat dipastikan Madinah adalah kota yang ramah terhadap
pedagang mikro dan kecil. Seputaran Masjid Nabawi, merupakan bukti bagaimana
pedagang asongan bebas menjual barangnya kepada jemaah masjid. Namun, aktifitas
pedagan asongan pun tidaklah bebas, karena setiap saat polisi selalu mengusir mereka.
Pedagang asongan ini menjual segala hal yang dijual pula oleh toko-toko di
hotel sekitar Masjid Nabawi, tapi tentu saja dengan harga miring.
Di antara sekian banyak pedagang mikro yang beraktifitas,
penulis tertarik dengan pedagang Alquran di pintu masuk Masjid Nabawi.
Bagaimana tidak, dengan penuh keyakinan mereka menawarkan Alquran dengan cara
simpatik, yakni minta agar kitab suci itu diwakafkan ke masjid. Tapi, ketika
ditanya berapa harga satu eksemplar Alquran mereka menjawab 50 rial. Hitung
saja berapa harganya, jika kurs 1 rial sama dengan Rp3.500. Tentu harga yang
cukup mahal, jika dibanding dengan harga Alquran di sini.
Madinah Al Munawwarah sejak lama dipandang sebagai kota Nabi.
Cap yang melekat itu, memang dijaga secara baik oleh pendudukan setempat.
Banyak orang Indonesia yang mengakui Madinah jauh lebih ramah dari penduduk
Makkah. Agaknya, karena seringkali orang-orang Madinah ramah terhadap pendatang
yang ingin beribadah dan berziarah ke sana, misalnya dengan manyapa atau paling
tidak melalui senyum yang sering mereka lakukan kepada orang asing . “Soal
keramahan mungkin Madinah lebih ramah dari Makkah,” ujar seorang jemaah di
Masjid Nabawi, saat menunggu waktu Zhuhur masuk.
Post a Comment for "Kota Nabi, Taman Kurma, Tempat Pelesiran dan Orang Gila"