Menembus Eksotisme Barus Hingga Singkil
Ketika wisatawan datang ke Tapteng, maka tawaran dan
orientasi wisatawan, ke sana adalah menikmati keindahan pantai Pandan terdiri
dari pantai Kalangan, Kahona dan Binasi. Atau ke Pulau Unggas, Putih, Putri
dengan pantai pasir putih dilengkapi terumbu karangnya serta pulau Mursala
dengan air terjun yang langsung jatuh ke laut.
Entah terealisasi atau belum, kabupaten bersemboyan
‘Negeri Wisata Sejuta Pesona’ itu khabarnya sedang membangun patung ‘kapal Nabi
Noah/Nuh’ untuk dijadikan sebagai ikon pariwisata daerah itu. Patung ini jadi
proyek wisata prestisius, karena direncanakan dengan ketinggian 80 meter,
sehingga kelak akan jadi patung tertinggi di dunia mengalahkan patung Jesus di
Rio de Jeneiro, Brazil. Biaya yang dianggarkan juga kabarnya tak
tanggung-tanggung mencapai Rp450 milyar.
Terlepas dari itu, pesona pantai-pantai Tapteng
memang bisa membuat mata pengunjung terkagum-kagum. Pasalnya, dengan pasir
putih dan pantai landai serta deburan ombak yang kencang dilengkapi air laut
membiru, akan mampu membuat pengunjung berlama-lama tinggal di sana.
Pantai Barus, adalah salah satu pesona alam Tapteng
yang tersembunyi dan jarang dijamah pengunjung. Ketika pengunjung datang ke
sana, mereka hanya fokus pada berbagai makam tua peninggalan masa lalu di
berbagai perbukitan di pinggiran Barus. Jarang orang mau menyempatkan diri
menikmati deburan ombak pantai Barus. Ada beberapa pantai yang bisa dikunjungi
di sana, misalnya pantai Sirandorung, pantai Sibintang, pantai indah Kedai
Gedang dan pantai Kahona.
Pantai Kahona, adalah salah satu nama pantai yang
menawarkan pesona deburan air laut nan menarik.
Pantai yang berada di Kec. Andam Dewi dan berdekatan dengan Lobu Tua masih
jarang di jamah pengunjung, padahal daya
pikat alamnya bisa membuat mulut berdecak kagum. Menikmati sunset di pantai ini
merupakan salah satu cara eksplosif merasakan eksotisme pantai yang pernah jadi
salah satu lokasi penggalian enskripsi sejarah Barus.
Pantai Indah Kedai Gedang persis berada di Barus.
Pantai ini dikenal dengan areal pantai yang luas dan panjang dengan pasir
pantai yang putih dan bersih dihiasi pohon-pohon cemara peneduh suasana
sekitarnya. Di pantai ini, pengunjung bisa menikmati ikan bakar yang masih
segar serta gulai ikan khas Barus yang renyah.
Belum lagi sambal teri Barus yang bikin selera meledak. Salah satu rumah
makan yang bisa direkomendasikan untuk menikmati gulai ikan laut Barus, adalah
RM Sulthan di pekan Barus.
Sedangkan pantai Sibintang yang masih berada di
jajaran panjang pantai Barus, merupakan lokasi penambatan perahu-perahu nelayan
usai melaut. Kesibukan mereka ketika akan berangkat dan pulang melaut,
memperbaiki jaring yang koyak atau teriakan anak-anak mandi yang bergelantungan
di perahu yang tertambat, menjadi pesona lain. Di pantai ini kita bisa memotret
keseharian anak negeri Barus yang sederhana dan bersahaja.
Kian sempurna keindahan pantai Barus, ketika kita
tegak di muara sungai Aek Siatas. Meski air yang tiba di muara sungai sudah
keruh dan menguning, tapi deru air tawar yang bertemu air asin itu, sungguh
membuat kita betah memandangnya berlama-lama. Pokoknya pesona pantai Barus yang
diperkirakan memiliki panjang antara 10-20 km tak ada habisnya, jika kaki kita
kuat untuk melangkah menyusurinya.
Tak hanya pesona pantainya yang menawan, Barus juga
menyimpan eksotisme daratan. Hamparan sawah berteras, salah satu sudut pandang
menawan yang bisa dinikmati. Di sekitar Lobu Tua, Kec. Andam Dewi, hamparan
sawah menjadi pemandangan yang menyejukkan mata, dibatasi aliran sungai yang
jernih serta gerombolan kerbau yang lagi merumput, mata kita akan menikmati
pesona alam yang asri.
Pada areal persawahan bertingkat itu, ada hal yang
unik. Lahan persawahan itu terdiri atas tanah bercampur pasir. Selain itu, di
batas cakrawala persawahan itu, ada jejeran pohon kelapa yang terlihat
seolah-olah memagari areal persawahan dan perkampungan. Kabarnya, tanah sawah
bercampur dengan pasir itu, diasumsikan sebagai kondisi di mana Barus dan
sekitarnya pernah ditenggelamkan oleh topan tsunami sekira Abad 12 seperti yang
terjadi di NAD, April 2006 lalu. Sedangkan pagar pohon kelapa sebagai kearifan
lokal menghadapi bencana tsunami.
Ada cerita menarik soal asumsi ini. Dari catatan kompas.com, Claudie Guillot sejarahwan Prancis yang pernah
melakukan penelitian di Barus, menyebutkan pada Abad 12, tiba-tiba nama Barus
hilang dari peredaran. Dalam bukunya ‘Barus 1000 Tahun Lalu’ (2008) menyebutkan
hilangnya nama itu dari peredaran
sejarah, karena saat itu Barus diserang pasukan gergasi (raksasa) sehingga
hancur berantakan dan rata dengan tanah. Namun, setelah hilang, sekira empat abad
kemudian atau tepatnya abad 16, nama Barus kembali muncul dalam catatan perjalanan
para pengelana.
Selama hilangnya Barus dari peredaran sejarah,
menimbulkan banyak tafsir. Misalnya, Sony CH Wibisono, peneliti dari Pusat
Penelitian Arkeologi Nasional (Arkenas), mengatakan kala itu Barus dihancurkan
oleh bajak laut yang menguasai lautan Nusantara. Tapi hasil penelitian Kerry
Sieh dari California Institute Of Technology pada 1994 menemukan wilayah
subduksi pantai barat Sumatera memiliki riwayat panjang pernah diserang gempa
dan topan tsunami. Menurut Sieh, wilayah pantai barat Sumatera pernah diterjang
gempa dan tsunami pada tahun 1381, 1608, 1797 dan terakhir 1833 sebelum
terjadinya gempa dan topan tsunami Aceh pada 2006. Diperkirakan, itulah
penyebab Barus musnah meninggalkan sejumlah tanda, misalnya pasir laut
bercampur lumpur serta barisan pagar tanaman kelapa sebagai bentuk kearifan
lokal masyarakat menghadapi kemungkinan tsunami.
Singkil
Dibawah Permukaan Laut
Singkil, juga emporium tua yang namanya selalu
disebut dalam sejarah pantai barat Sumatera. Berada di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam (NAD), Singkil menjadi ibu kota kabupaten Aceh Singkil yang
dimekarkan dari Kabupaten Aceh Selatan. Singkil, terletak paling ujung dari
semenanjung pantai barat NAD. Dari Barus, jarak Singkil mencapai 120 km dan
dapat ditempuh sekira empat jam.
Dari Barus menuju Singkil, kita akan melintasi
jalanan yang relatif bagus, khususnya di wilayah NAD. Sedangkan d wilayah
Sumut, seperti daerah-daerah terpencil lainnya, jalan provinsi di Kec. Andam
Dewi hingga Manduamas, kondisinya masih buruk. Kecamatan paling ujung barat
Sumut, yakni Manduamas, kondisi jalannya cukup membuat supir yang membawa kami
ekstra hati-hati.
Manduamas, kecamatan itu punya kesan tersendiri bagi
penulis. Saat itu 1990, penulis pernah menjadi da’i pembangunan dari Majelis
Dakwah Islamiyah (MDI) Sumut yang ditugaskan selama dua bulan mendamping warga
transmigran asal pulau Jawa. Selama dua bulan itu, banyak kesan yang jadi
kenangan. Misalnya, makanan yang sederhana dan alam yang masih asri dan
bersahabat. Tapi kondisi 24 tahun lalu itu, sangat berbeda dengan kondisi kini.
Kota kecamatan itu terkesan tak terurus, karena telihat sumpek dan kumuh.
Menjauh dari Manduamas menuju perbatasan NAD, sempat
juga berhayal sepanjang perjalanan akan menikmati panorama hutan, tapi tak
terwujud, karena hutan asli itu telah berubah jadi hutan sawit. Berkhayal juga
saat diperjalanan akan menikmati deburan ombak. Itupun tak terwujud, karena
lintasan jauh dari pantai.
Sepanjang perjalanan Kami hanya menikmati jejeran
bukit barisan di kejauhan. Ada rasa
kecewa, karena keindahan alam pegunungan itu tercemar oleh perkebunan sawit
yang merampok hutan perawan di sepanjang perjalanan. Sebelum Singkil, kami
menyinggahi dari beberapa daerah transmigrasi yang sudah berkembang, misalnya
Rimo. Kota kecil ini hanya berjarak sekira 35 km sebelum tiba di Singkil. Inilah kota kecamatan yang jadi nadi
perekonomian Kab. Singkil sebagai kabupaten pemekaran dari Kab. Aceh Selatan.
Tapi jangan salah, untuk Kab.Singkil ini ada hal
yang aneh, karena sebagian besar penduduknya bukan orang Aceh atau Gayo.
Kebanyakan etnis Phakpak dengan bahasa daerah yang kental, selain pendatang
dari berbagai daerah. Pasar Rimo, menjadi ujung tombak ekonomi Kab. Singkil,
bahkan jumlah penduduk terbesar di kabupaten terujung NAD itu, lebih banyak di
Rimo ketimbang Singkil.
Akan halnya kota Singkil yang jadi pusat
pemerintahan Kab. Singkil, dari Rimo harus menempuh jalan menuju tepi lautan.
Sepanjang jalan, mata kita akan disapu oleh areal rawa-rawa hutan bakau
(mangrove) yang luas dan mulai diusahakan penduduk setempat. Sepanjang
perjalanan itu, kita akan menemukan perkantoran Pemda Singkil berserak di
tepian lintasan. Salah satu sarana Pemda Singkil yang cukup menarik, adalah
lapangan terbang perintis yang dikunjungi pesawat-pesawat kecil yang punya
jadwal terbang rutin ke KNIA Medan.
Salah satu sarana pariwisata Kab. Singkil yang bisa
dinikmat pengunjung dari luar daerah, adalah pantai Gosong. Pantai ini terkenal
dengan tepian pantai yang panjang dan berpasir putih. Beberapa pedagang,
mengaku tepian pantai berpasir putih itu panjangnya berkisar 5 km. Pemkab
Singkil, sejak lama telah mengelola pantai berpasir putih itu. Di mana setiap
hari libur dan akhir pekan, Pemkab menetapkan retribusi kepada pengunjung yang
datang sesuai dengan Perda Kab. Singkil.
Sebagai lokasi wisata yang dikelola Pemkab, Pantai
Gosong memiliki sarana wisata yang cukup baik. Misalnya, bagi pengunjung yang
enggan menikmati air laut disiapkan water park di sekitar pantai dengan bayaran
tertentu. Selain itu, sarana olah raga juga terdapat di komplek wisata pantai
Gosong itu.
Dari pantai juga, pengunjung bisa melihat pulau
Bira, salah satu pulau di lepas pantai Gosong. Pulau itu, meski tidak
berpenduduk, ujar Salbiah pedagang makanan/minuman di pantai Gosong, tapi di
sana terdapat usaha kerambah ikan laut. “Jika pengunjung ke sana, mereka bisa mancing
dan menikmati ikan segar,” ujar pedagang yang mengaku pendatang itu. Di pulau
itu, ada juga areal perkebunan kelapa yang diperuntukkan sebagai bahan kopra.
Menuju ke pulau Bira, banyak nelayan yang bersedia mengantar dengan tarif yang
disepakati bersama.
Dari semua pesona itu, ada kondisi alam yang tak
biasa di kota Singkil. Jika selama ini kita mengenal sejumlah kota di Belanda
berada di bawah permukaan laut. Ternyata Singkil juga berada di bawah permukaan
air laut. Itu sebabnya, di sepanjang kota Singkil yang menghadap laut, dipasang
turab beton untuk menghadang arus laut jika masa pasang datang. Meski demikian
jika terjadi air pasang tinggi, tak jarang sebagian besar areal perkotaan
Singkil tergenang banjir rob itu. Pemkab Singkil sendiri sudah membuat parit-parit
penampung yang lebar dan dalam, mengatasi kondisi alam.
Bagi pengunjung yang datang ke kota Singkil, sudah
tersedia sejumlah hotel dan penginapan yang siap melayani. Mulai dari hotel
kelas homestay hingga hotel bintang 1 dengan harga variatif dan terjangkau.
Meski harus diakui, sebagai kabupaten pemekaran, belum ada tempat-tempat
pelesiran untuk memanjakan diri, selain dari warung-warung sekelas café di
tepian pantai.
Sayangnya kami tak sempat bermalam di kota Singkil.
Pun demikian impian yang lama terpendam untuk mengetahui kondisi Singkil
sesungguhnya telah terpenuhi. Sebab, dari cerita-cerita yang sampai ke telinga,
sekira 20 tahun lalu, Singkil tidak bisa dikunjungi dari jalan darat, tapi
harus melalui jalan laut dengan menaikan kapal dari Sibolga. Tapi, kini Singkil
dengan mudah bisa dikunjungi dari darat. Cukup dengan waktu tempuh 6 jam dari
Medan, kita akan tiba di sana. Abdul
Khalik
Post a Comment for "Menembus Eksotisme Barus Hingga Singkil"