----iklan---- Menembus Eksotisme Barus Hingga Singkil - JEJAK KHALIK
Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Menembus Eksotisme Barus Hingga Singkil

     
 BARUS Raya terdiri dari Kec. Barus, Sorkam, Andam Dewi dan Manduamas, Kab. Tapanuli Tengah, ternyata tidak hanya harus dikenal karena situs sejarah Islam 44 auliya yang telah mendunia. Barus Raya sebagai emporium tua yang telah berusia 6.000 tahun, ternyata juga menyimpan magnet pesona alam yang menarik dan jarang dibicarakan.
       Ketika wisatawan datang ke Tapteng, maka tawaran dan orientasi wisatawan, ke sana adalah menikmati keindahan pantai Pandan terdiri dari pantai Kalangan, Kahona dan Binasi. Atau ke Pulau Unggas, Putih, Putri dengan pantai pasir putih dilengkapi terumbu karangnya serta pulau Mursala dengan air terjun yang langsung jatuh ke laut.
       Entah terealisasi atau belum, kabupaten bersemboyan ‘Negeri Wisata Sejuta Pesona’ itu khabarnya sedang membangun patung ‘kapal Nabi Noah/Nuh’ untuk dijadikan sebagai ikon pariwisata daerah itu. Patung ini jadi proyek wisata prestisius, karena direncanakan dengan ketinggian 80 meter, sehingga kelak akan jadi patung tertinggi di dunia mengalahkan patung Jesus di Rio de Jeneiro, Brazil. Biaya yang dianggarkan juga kabarnya tak tanggung-tanggung mencapai Rp450 milyar.
      Terlepas dari itu, pesona pantai-pantai Tapteng memang bisa membuat mata pengunjung terkagum-kagum. Pasalnya, dengan pasir putih dan pantai landai serta deburan ombak yang kencang dilengkapi air laut membiru, akan mampu membuat pengunjung berlama-lama tinggal di sana.
      Pantai Barus, adalah salah satu pesona alam Tapteng yang tersembunyi dan jarang dijamah pengunjung. Ketika pengunjung datang ke sana, mereka hanya fokus pada berbagai makam tua peninggalan masa lalu di berbagai perbukitan di pinggiran Barus. Jarang orang mau menyempatkan diri menikmati deburan ombak pantai Barus. Ada beberapa pantai yang bisa dikunjungi di sana, misalnya pantai Sirandorung, pantai Sibintang, pantai indah Kedai Gedang dan pantai Kahona.
      Pantai Kahona, adalah salah satu nama pantai yang menawarkan pesona deburan air laut nan menarik.  Pantai yang berada di Kec. Andam Dewi dan berdekatan dengan Lobu Tua masih jarang di jamah pengunjung, padahal  daya pikat alamnya bisa membuat mulut berdecak kagum. Menikmati sunset di pantai ini merupakan salah satu cara eksplosif merasakan eksotisme pantai yang pernah jadi salah satu lokasi penggalian enskripsi sejarah Barus.
      Pantai Indah Kedai Gedang persis berada di Barus. Pantai ini dikenal dengan areal pantai yang luas dan panjang dengan pasir pantai yang putih dan bersih dihiasi pohon-pohon cemara peneduh suasana sekitarnya. Di pantai ini, pengunjung bisa menikmati ikan bakar yang masih segar serta gulai ikan khas Barus yang renyah.  Belum lagi sambal teri Barus yang bikin selera meledak. Salah satu rumah makan yang bisa direkomendasikan untuk menikmati gulai ikan laut Barus, adalah RM Sulthan di pekan Barus.
Sedangkan pantai Sibintang yang masih berada di jajaran panjang pantai Barus, merupakan lokasi penambatan perahu-perahu nelayan usai melaut. Kesibukan mereka ketika akan berangkat dan pulang melaut, memperbaiki jaring yang koyak atau teriakan anak-anak mandi yang bergelantungan di perahu yang tertambat, menjadi pesona lain. Di pantai ini kita bisa memotret keseharian anak negeri Barus yang sederhana dan bersahaja.
      Kian sempurna keindahan pantai Barus, ketika kita tegak di muara sungai Aek Siatas. Meski air yang tiba di muara sungai sudah keruh dan menguning, tapi deru air tawar yang bertemu air asin itu, sungguh membuat kita betah memandangnya berlama-lama. Pokoknya pesona pantai Barus yang diperkirakan memiliki panjang antara 10-20 km tak ada habisnya, jika kaki kita kuat untuk melangkah menyusurinya.
Tak hanya pesona pantainya yang menawan, Barus juga menyimpan eksotisme daratan. Hamparan sawah berteras, salah satu sudut pandang menawan yang bisa dinikmati. Di sekitar Lobu Tua, Kec. Andam Dewi, hamparan sawah menjadi pemandangan yang menyejukkan mata, dibatasi aliran sungai yang jernih serta gerombolan kerbau yang lagi merumput, mata kita akan menikmati pesona alam yang asri.
      Pada areal persawahan bertingkat itu, ada hal yang unik. Lahan persawahan itu terdiri atas tanah bercampur pasir. Selain itu, di batas cakrawala persawahan itu, ada jejeran pohon kelapa yang terlihat seolah-olah memagari areal persawahan dan perkampungan. Kabarnya, tanah sawah bercampur dengan pasir itu, diasumsikan sebagai kondisi di mana Barus dan sekitarnya pernah ditenggelamkan oleh topan tsunami sekira Abad 12 seperti yang terjadi di NAD, April 2006 lalu. Sedangkan pagar pohon kelapa sebagai kearifan lokal menghadapi bencana tsunami.
      Ada cerita menarik soal asumsi ini.  Dari catatan kompas.com, Claudie Guillot sejarahwan Prancis yang pernah melakukan penelitian di Barus, menyebutkan pada Abad 12, tiba-tiba nama Barus hilang dari peredaran. Dalam bukunya ‘Barus 1000 Tahun Lalu’ (2008) menyebutkan  hilangnya nama itu dari peredaran sejarah, karena saat itu Barus diserang pasukan gergasi (raksasa) sehingga hancur berantakan dan rata dengan tanah.  Namun, setelah hilang, sekira empat abad kemudian atau tepatnya abad 16, nama Barus kembali muncul dalam catatan perjalanan para pengelana.
      Selama hilangnya Barus dari peredaran sejarah, menimbulkan banyak tafsir. Misalnya, Sony CH Wibisono, peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Arkenas), mengatakan kala itu Barus dihancurkan oleh bajak laut yang menguasai lautan Nusantara. Tapi hasil penelitian Kerry Sieh dari California Institute Of Technology pada 1994 menemukan wilayah subduksi pantai barat Sumatera memiliki riwayat panjang pernah diserang gempa dan topan tsunami. Menurut Sieh, wilayah pantai barat Sumatera pernah diterjang gempa dan tsunami pada tahun 1381, 1608, 1797 dan terakhir 1833 sebelum terjadinya gempa dan topan tsunami Aceh pada 2006. Diperkirakan, itulah penyebab Barus musnah meninggalkan sejumlah tanda, misalnya pasir laut bercampur lumpur serta barisan pagar tanaman kelapa sebagai bentuk kearifan lokal masyarakat menghadapi kemungkinan tsunami.

Singkil Dibawah Permukaan Laut
      Singkil, juga emporium tua yang namanya selalu disebut dalam sejarah pantai barat Sumatera. Berada di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Singkil menjadi ibu kota kabupaten Aceh Singkil yang dimekarkan dari Kabupaten Aceh Selatan. Singkil, terletak paling ujung dari semenanjung pantai barat NAD. Dari Barus, jarak Singkil mencapai 120 km dan dapat ditempuh sekira empat jam.
      Dari Barus menuju Singkil, kita akan melintasi jalanan yang relatif bagus, khususnya di wilayah NAD. Sedangkan d wilayah Sumut, seperti daerah-daerah terpencil lainnya, jalan provinsi di Kec. Andam Dewi hingga Manduamas, kondisinya masih buruk. Kecamatan paling ujung barat Sumut, yakni Manduamas, kondisi jalannya cukup membuat supir yang membawa kami ekstra hati-hati.
      Manduamas, kecamatan itu punya kesan tersendiri bagi penulis. Saat itu 1990, penulis pernah menjadi da’i pembangunan dari Majelis Dakwah Islamiyah (MDI) Sumut yang ditugaskan selama dua bulan mendamping warga transmigran asal pulau Jawa. Selama dua bulan itu, banyak kesan yang jadi kenangan. Misalnya, makanan yang sederhana dan alam yang masih asri dan bersahabat. Tapi kondisi 24 tahun lalu itu, sangat berbeda dengan kondisi kini. Kota kecamatan itu terkesan tak terurus, karena telihat sumpek dan kumuh.
      Menjauh dari Manduamas menuju perbatasan NAD, sempat juga berhayal sepanjang perjalanan akan menikmati panorama hutan, tapi tak terwujud, karena hutan asli itu telah berubah jadi hutan sawit. Berkhayal juga saat diperjalanan akan menikmati deburan ombak. Itupun tak terwujud, karena lintasan jauh dari pantai.
Sepanjang perjalanan Kami hanya menikmati jejeran bukit barisan di kejauhan.  Ada rasa kecewa, karena keindahan alam pegunungan itu tercemar oleh perkebunan sawit yang merampok hutan perawan di sepanjang perjalanan. Sebelum Singkil, kami menyinggahi dari beberapa daerah transmigrasi yang sudah berkembang, misalnya Rimo. Kota kecil ini hanya berjarak sekira 35 km sebelum tiba di Singkil.  Inilah kota kecamatan yang jadi nadi perekonomian Kab. Singkil sebagai kabupaten pemekaran dari Kab. Aceh Selatan.
      Tapi jangan salah, untuk Kab.Singkil ini ada hal yang aneh, karena sebagian besar penduduknya bukan orang Aceh atau Gayo. Kebanyakan etnis Phakpak dengan bahasa daerah yang kental, selain pendatang dari berbagai daerah. Pasar Rimo, menjadi ujung tombak ekonomi Kab. Singkil, bahkan jumlah penduduk terbesar di kabupaten terujung NAD itu, lebih banyak di Rimo ketimbang Singkil.
      Akan halnya kota Singkil yang jadi pusat pemerintahan Kab. Singkil, dari Rimo harus menempuh jalan menuju tepi lautan. Sepanjang jalan, mata kita akan disapu oleh areal rawa-rawa hutan bakau (mangrove) yang luas dan mulai diusahakan penduduk setempat. Sepanjang perjalanan itu, kita akan menemukan perkantoran Pemda Singkil berserak di tepian lintasan. Salah satu sarana Pemda Singkil yang cukup menarik, adalah lapangan terbang perintis yang dikunjungi pesawat-pesawat kecil yang punya jadwal terbang rutin ke KNIA Medan.
      Salah satu sarana pariwisata Kab. Singkil yang bisa dinikmat pengunjung dari luar daerah, adalah pantai Gosong. Pantai ini terkenal dengan tepian pantai yang panjang dan berpasir putih. Beberapa pedagang, mengaku tepian pantai berpasir putih itu panjangnya berkisar 5 km. Pemkab Singkil, sejak lama telah mengelola pantai berpasir putih itu. Di mana setiap hari libur dan akhir pekan, Pemkab menetapkan retribusi kepada pengunjung yang datang sesuai dengan Perda Kab. Singkil.
      Sebagai lokasi wisata yang dikelola Pemkab, Pantai Gosong memiliki sarana wisata yang cukup baik. Misalnya, bagi pengunjung yang enggan menikmati air laut disiapkan water park di sekitar pantai dengan bayaran tertentu. Selain itu, sarana olah raga juga terdapat di komplek wisata pantai Gosong itu.
Dari pantai juga, pengunjung bisa melihat pulau Bira, salah satu pulau di lepas pantai Gosong. Pulau itu, meski tidak berpenduduk, ujar Salbiah pedagang makanan/minuman di pantai Gosong, tapi di sana terdapat usaha kerambah ikan laut. “Jika pengunjung ke sana, mereka bisa mancing dan menikmati ikan segar,” ujar pedagang yang mengaku pendatang itu. Di pulau itu, ada juga areal perkebunan kelapa yang diperuntukkan sebagai bahan kopra. Menuju ke pulau Bira, banyak nelayan yang bersedia mengantar dengan tarif yang disepakati bersama.
      Dari semua pesona itu, ada kondisi alam yang tak biasa di kota Singkil. Jika selama ini kita mengenal sejumlah kota di Belanda berada di bawah permukaan laut. Ternyata Singkil juga berada di bawah permukaan air laut. Itu sebabnya, di sepanjang kota Singkil yang menghadap laut, dipasang turab beton untuk menghadang arus laut jika masa pasang datang. Meski demikian jika terjadi air pasang tinggi, tak jarang sebagian besar areal perkotaan Singkil tergenang banjir rob itu. Pemkab Singkil sendiri sudah membuat parit-parit penampung yang lebar dan dalam, mengatasi kondisi alam.
      Bagi pengunjung yang datang ke kota Singkil, sudah tersedia sejumlah hotel dan penginapan yang siap melayani. Mulai dari hotel kelas homestay hingga hotel bintang 1 dengan harga variatif dan terjangkau. Meski harus diakui, sebagai kabupaten pemekaran, belum ada tempat-tempat pelesiran untuk memanjakan diri, selain dari warung-warung sekelas café di tepian pantai.
      Sayangnya kami tak sempat bermalam di kota Singkil. Pun demikian impian yang lama terpendam untuk mengetahui kondisi Singkil sesungguhnya telah terpenuhi. Sebab, dari cerita-cerita yang sampai ke telinga, sekira 20 tahun lalu, Singkil tidak bisa dikunjungi dari jalan darat, tapi harus melalui jalan laut dengan menaikan kapal dari Sibolga. Tapi, kini Singkil dengan mudah bisa dikunjungi dari darat. Cukup dengan waktu tempuh 6 jam dari Medan, kita akan tiba di sana. Abdul Khalik

Post a Comment for "Menembus Eksotisme Barus Hingga Singkil"