Blusukan Hingga Ke Pura 3 Swarga
AKHIR September lalu, aku berkesempatan menjadi salah satu peserta studi banding BPDAS Wampu-Ular bersama DPRD Sumut ke Prov. Bali. Kunjungan itu, terkait Ranperda Pengelolaan DAS Terpadu yang segera disahkan. Bak mengulang cerita beberapa waktu lalu, kesempatan itu menuntun aku untuk kembali mengeksplorasi keelokan tanah para dewata itu.
Usai melakukan pertemuan dengan Dinas PU, BPDAS dan Forum DAS Bali sebagai mitra dialog, selama dua hari, keinginan untuk masuk lebih jauh ke jantung Bali, terbuka lagi. Bersama sahabat kecil yang sudah 17 tahun tinggal di Denpasar, aku merambah sejumlah daerah wisata Bali menggunakan sepeda motor. Tak tanggung-tanggung, dalam satu hari aku bisa mengunjungi tiga pusat pariwisata Bali, mulai dari Ubud, Danau Batur/Kintamani hingga Pura Besakih yang dikenal sebagai pura 3 swarga (surga).
Sebelum blusukan ke lokasi-lokasi di atas, pagi hari aku masih sempat berdiri tegak menyaksikan matahari terbit di pantai Kuta dengan pemandangan ratusan bule berpakaian renang yang berkejaran dengan deburan ombak pantai berpasir putih itu. Satu hal yang kutahu, pantai Kuta dan Bali memang menjadi ‘surga dunia’ bagi wisatawan mancanegara.
Saat matahari sepenggalahan di atas kepala, teman kecil yang menemaniku sudah menanti di depan penginapan di kawasan Legian. Menggunakan sepeda motor jenis matic, kami memulai perjalanan sepanjang sekira 120 km ke tiga lokasi yang belum kukunjungi itu.
Di tengah jalan, khawatir bekal makanan ‘halal’ akan sulit dicari di lokasi tujuan, Kami pun membeli nasi Padang sebagai bekal di jalan. Tak sulit mencari kedai nasi padang di Bali, hanya saja rasanya tergantung selera, apakah nasi padang pesisir (Pariaman dan Padang), atau nasi padang darat (Bukittingi dan Solok), tergantung siapa penjualnya. “Di Bali ini, persatuan orang Minang kuat, sampai mereka punya masjid, sekolah dan kuburan sendiri,” ujar temanku Agusman.
Ubud dan Kintamani
Menuju Ubud, kami memutuskan tidak mengikuti jalan umum yang lazim dilalui wisatawan, tapi memotong jalan melalui pedesaan yang lebih lengang dan pemandangan alami. Blusukan pun dimulai.
Perkampungan Bali yang khas, ditandai udara yang berbau tanah dan kotoran hewan, gemericik air, sawah yang hijau serta halaman rumah yang disesaki pura (tempat ibadah). Dari Denpasar menuju Ubud, jarak yang ditempuh menggunakan sepeda motor hanya dalam kisaran 30 menit saja. Meski demikian, Kami mengalami dua suasana. Saat di Denpasar cuaca cukup menyengat dan gerah, tapi perlahan bersamaan dengan jalan menanjak, sejuknya udara mulai menyapu kulit badan. Jalan pun terasa nyaman.
Jalan-jalan Bali harus diakui lintasannya sempit. Jika terjadi selisih antara bus wisatawan berbadan besar dengan kenderaan lain, bagian jalan dipinggir akan termakan dan seringkali menimbulkan macat. Kami sempat mengalami itu, ketika salah satu truk pengangkut batu terperosok di perbatasan Denpasar. Dua jalur lintasan macat, sehingga harus mencari jalur alternatif lain.
Setibanyak di pusat bisnis Ubud, Kami memarkirkan kenderaan di jalan protokol sambil mengaso sejenak. Tak sengaja kaki melangkah menuju pasar Ubud. Memasuki pasar Ubud yang telah direnovasi pasca gempa beberapa waktu lalu, selera belanja siapapun akan terpancing. Seluruh produk hasil kerajinan dan kreatifitas Bali ada di sana. Mulai dari harga paling murah hingga jutaan, terpampang manis di los-los pasar.
Tak puas menikmati suasana pasar dan produk kerajinan yang dijajakan hanya dari luar bangunan, kaki pun melangkah memasuki bangunan modern bertingkat dua itu. Di bagian dalam bangunan keadaannya lebih beragam. Setiap los menjual berbagai produk khas yang khusus. Mulai dari pakaian batik khas Bali, ukiran, lukisan, pahatan, pernak-pernik hiasan, kerajinan kulit, kayu, hingga berbagai hasil kerajinan lainnya.
Aku tergoda dengan relief batik asli Bali, kocek di saku melayang membeli enam potong bahan batik dengan berbagai motif sebagai oleh-oleh. Harganya cukup kompetitif antara Rp50 ribu hingga Rp100 ribu/potong.
Di seputaran Ubud, memang susah mencari makanan halal. Sebagian besar pertokoan dihuni café ala resto Eropah. Jika pun ada resto tradisional, maka dipastikan kaki takkan melanggkah ke sana, karena di etalase depan resto itu, terpampang kepala hewan yang haram dikonsumsi umat muslim.
Melaju lamban, kami menikmati suasana lembab alam Ubud, karena cuaca mendung. Teman perjalanan mengingatkan aku pada sebuah panorama yang ditampilkan stasiun TVRI saat akan mengakhiri siaran. Panorama itu, berupa susunan sawah di bibir jurang, sejak dari puncak hingga ke dasar jurang diselingi nyiur melambai. Areal itu dikenal dengan sawah terasering atau berundak. Lokasinya terletak di Desa Tegalalang. Dari Ubud, jarak Tegalalang hanya 20 menit saja. Tegalalang, juga salah satu surga kerajinan, terutama ukiran.
Berseberangan dengan sawah berundak itu, atau tepat di tepian jalan lintas, berjejer puluhan warung makanan dan pusat penjualan kerajinan. Mulai dari pahatan hewan, topeng dan berbagai bentuk kerajinan dari kayu dan besi hingga tas, sampai vas bunga dan aneka piring. Jejeran warung yang bertengger dibibir jurang menghadap sawah itu, juga menjadi café yang menjual aneka makanan. Siap memanjakan lidah.
Sayangnya,waktu itu bibit padi di sawah berundak itu baru saja ditanami, sehingga tak bisa menikmati petani menanam. Meski demikian, gemericik air masih terdengar syahdu ditelinga, saat kami pergi menuju Kintamani.
Diperjalanan, aku sempat tercekat. Pasalnya, ada sejumlah anak sungai yang terlihat mengering. Aliran anak sungai itu, kabarnya bermuara di sungai Ayung, salah satu lokasi river rafting (berperahu di aliran sungai) yang banyak mengundang minat wisatawan. Ayung River Rafting, salah satu lokasi wisatawan andalan di sekitar Ubud, keberadaannya mulai terancam, karena debit air terus menyusut tiap tahun.
Aku teringat pernyataan Ketua Forum DAS Bali Prof. Dr. I Nyoman, dalam 10 tahun ke depan Bali terancam kekeringan. Pasalnya, dari 309 sungai di pulau dewata itu, separuh diantaranya sudah kering. Hal itu, kata dia, akibat eksploitasi air permukaan dan bawah tanah yang tinggi untuk melayani dunia pariwisata.
Merekam ingatan itu, sepeda motor kami melaju tenang. Sekira pukul 14.00 puncak gunung Batur terlihat angkuh dari Desa Penelokan, Kec. Kintamani, Kab. Bangli. Di atas sadel sepeda motor, aku membidikkan kamera mengabadikan puncak gunung api itu dari kejauhan. Memang menakjubkan panorama di kawasan itu. Mata kita disuguhkan panorama separuh kaki gunung yang kering kerontang, karena terjangan lahar hingga menghitam. Tapi sebagian lagi merupakan lereng dengan kawasan hutan pinus. Di kaki gunung itu terdapat danau Batur. Danau Batur merupakan kaldera yang terjadi dari letusan gunung berapi berabad-abad lampau.
Pada salah satu sudut danau itu, terdapat desa Trunyan yang terkenal dengan pemakaman unik mayat-mayat tak ditanam, tapi diletakkan saja di bawah pohon Taru Menyan. Uniknya mayat-mayat tanpa dikubur tidak berbau busuk, karena diyakini pohon itulah yang jadi penawarnya. Tradisi warisan Hindu Bali Aga itu dikenal dengan istilah sema wayah.
Ingin rasanya mendatangi lokasi itu, namun waktu tak mengizinkan kami untuk pergi. Pasalnya, jarak antara desa Penelokan dengan Trunyan berkisar 60 menit, ditempuh melalui jalan darat dan melintasi danau.
Usai menyantap perbekalan yang Kami bawa dari Denpasar, kamera masih sempat
mengabadikan pemandangan indah gunung dan danau Batur dari berbagai sisi. Tak
ada buah khas di dataran tinggi Bangli itu, kecuali jeruk yang rasanya tak beda
dengan jeruk Brastagi.
Matahari mulai menurun menuju puncak Batur, saat sepeda motor Kami kembali mengarungi jalan-jalan mulus Bali yang sempit. Kali ini tujuan Kami menggapai pura Besakih yang dikenal sebagai pura paling keramat dan tertinggi di antara seluruh pura dan bangunan yang ada di pulau antara Jawa dan Lombok itu.
Jarak tempuh antara Kintamani dengan pura Besakih sekira 30 menit juga. Tapi tentu dengan sepeda motor. Jika dengan menggunakan bus wisata agaknya akan memakan waktu lebih lama, karena jalannya memang sempit meski lengang.
Pura Besakih terletak di Desa Besakih, Kec. Rendang, Kab. Karangasem. Komplek pura besakih terdiri atas 1 pura induk (Panataran Agung Besakih) dengan 18 pura pendamping. Satu diantarnya pura Basukian yang diyakini sebagai pura tempat diturunkannya ‘wahyu’ kepada pendiri Hindu Bali Hyang Resi Markandeya.
Memanggil Roh Ke Rumah
Aku tiba di komplek pura Besakih dalam suasana awan mendung. Tapi aku bersyukur, karena setibanya di sana, sedang ada upacara keagamaan yang bisa diabadikan. Upacara keagamaan itu, yakni tata cara mengajak roh keluarga (leluhur) yang bersemayam di pura untuk kembali ke rumah keluarga sebagai sesembahan. Upacara ini dikenal dengan istilah ‘woro masyaraka.’
Ada puluhan umat Hindu Bali tengah mengaso di taman paling bawah dari pura Besakih, ketika Kami menjejakkan kaki di komplek itu. Beberapa warga menawarkan selendang sebagai syarat untuk masuk pura, tapi kami abaikan. Ada juga ‘guide’ yang menawarkan menemani Kami memasuki pura, tapi juga kami tolak, karena ingin mendapatkan keterangan asli dari yang punya upacara.
Dari halaman pura, kami merangsek masuk ke pelataran pura menaiki sekira 10 anak tangga. Selanjutnya langsung ke arah bangunan kedua yang luas. Di areal itu kami menemukan ratusan arca di sisi kiri dan kanan tangga, berupa patung-patung Pandawa dan patung-patung Rahwana. Di sebelahnya, sejumlah patung dari berbaga hewan suci dalam tradisi Hindu Bali, terpacak artisitik.
Tak ingin ketinggalan upacara woro masyaraka, aku segera menaiki 64 anak tangga menuju pura utama dari pura Besakih. Lepas dari anak tangga yang tinggi, Kami masih harus bergegas menaiki beberapa anak tangga lagi, sebelum sampai di lokasi upacara. Agak sungkan langsung, masuk, karena ada sejumlah mata menatap. Ketika ditanya apa boleh masuk, seorang warga menyarankan untuk melepas sepatu dan memakai selendang sebagai syarat memasuki arena upacara..
Sayangnya, acara sudah sampai di penghujung, sehingga hanya bisa mengabadikan kegiatan seorang Mangku (pemimpin upacara) melakukan penyiraman air suci kepada keluarga yang hari itu melaksanakan upacara woro masyaraka.
Ditengah iringan umat Hindu yang usai melakukan upacara, Kami beruntung bisa bertemu dan berbincang langsung dengan salah seorang pemimpin upacara ibadah Hindu Bali. Pria berusia 40 tahun itu hanya mau dipanggil dengan nama Mangku. Dari Mangku lah, kami mendapatkan cerita seputar upacara itu.
Dalam tradisi Hindu Bali, ujar Mangku memulai cerita, seluruh orang yang mati rohnya akan berkumpul di pura Besakih, sesuai dengan kastanya. Bagi mereka yang berkasta Brahmana, rohnya berada di puncak tertinggi pura, kasta Ksatria dan Waisya berada di pura kedua dan kasta Sudra berada di pura dasar. Para roh leluhur itu tinggal di tiga swarga sesuai dengan kasta masing-masing hingga menjadi suci, sebelum dijadikan sesembahan.
Bagi keluarga yang ingin memanggil roh leluhur mereka yang berkumpul di pura Besakih, bisa mengajaknya kembali ke rumah keluarga untuk menjadi sesembahan. Itu sebabnya, lanjut Mangku, di setiap halaman rumah umat Hindu Bali ada pura yang berfungsi sebagai tempat tinggal roh yang sudah dipanggil dan menjadi sesembahan keluarga.
Untuk menyelenggarakan upacara woro masyaraka, membutuhkan dana yang besar. Bagi umat yang kaya mungkin tidak masalah, namun bagi umat yang miskin menjadi kesulitan yang besar. Namun, ada kebijakan yang dilakukan para Mangku, upacara itu bisa dilakukan secara bersama-sama oleh beberapa keluarga. “Misalnya, kegiatan itu butuh dana Rp100 juta, maka beberapa keluarga bisa urunan untuk membiayainya,” terang Mangku.
Hari itu, ada beberapa keluarga yang melaksanakan woro masyaraka. Mereka ditandai dalam rombongan-rombongan keluarga. Saat meninggalkan pura, rombongan keluarga itu berbaris rapi dengan membawa sesajian dan roh leluhur mereka, untuk ditempatkan di rumah masing-masing sebagai sesembahan.
Sinar matahari kian meredup. Perlahan pura Besakih pun sepi, karena ditinggalkan umatnya, Kami pun bergerak meluncur kembali menuju Denpasar. Kawan seperjalanan saya sempat menawarkan untuk menuju pantai Uluwatu yang eksotisme alamnya sangat memikat. Sayangnya, waktu tak memberikan peluang untuk mengekplorasi keindahannya.
Kami meluncur deras di jalan turunan menuju Denpasar melalui tepian pantai Bali. Sekira pukul 19.00 sepeda motor kami kembali menjejak Denpasar dan terus menuju Jalan Legian. Saat itu dentuman keras musik cadas dari deretan café sudah dimulai. Meski sunyi, tapi kabarnya malam itu, akan ada party (pesta semalam suntuk) yang dilakukan wisatawan mancanegara di sana. Tubuh yang kelelahan tak mempedulikan itu. Aku segera terlelap di kamar penginapan, setelah sahabat waktu kecilku itu permisi pulang. Esok hari aku harus pulang, karena tugas telah selesai. Selamat tinggal Bali, mungkin aku akan ke sana lagi untuk menikmati eksotisme berikutnya. Abdul Khalik
Post a Comment for "Blusukan Hingga Ke Pura 3 Swarga "