----iklan---- Mesti Menolak Ahmadiyah, Warganya Masih Dikebumikan Di Kuburan Muslim - JEJAK KHALIK
Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Mesti Menolak Ahmadiyah, Warganya Masih Dikebumikan Di Kuburan Muslim


Desa Bah Damar, merupakan salah satu desa terpencil dan tertinggal di Kec. Dolok Merawan, Kab. Serdang Bedagai. Desa itu, dikelilingi areal Kebun Pabatu PTPN IV dan berbatasan dengan Kebun Dolok Ilir, di Kec. Dolok Batu Nanggar, Kab. Simalungun. Jaraknya dari Kota Tebingtinggi via Kebun Sibulan PT Lonsum sekira 15 Km, sedang via Bajalingge (Dolok Merawan) sekira 10 Km. Akses menuju desa itu hanya bisa dilalui oleh sepeda motor atau truk. Sedangkan bila hujan turun, jalan menuju desa itu, sulit dilintasi.

Di tengah kondisi geografis yang sulit itulah, ternyata ada 32 jiwa atau 7 kepala keluarga penganut Ahmadiyah, berbaur di antara 178 KK penduduk desa Bah Damar. Warga Ahmadiyah itu, memiliki rumah ibadah, yakni Masjid Baitul Islam serta sepetak rumah kediaman ustadz Ahmadiyah.

Keseharian warga Ahmadiyah di desa itu, berjalan sebagaimana warga desa lainnya. Kebanyakan mereka bekerja sebagai buruh kebun dan lainnya peladang. Rumah tinggal mereka pun berdampingan dengan warga lain serta mengikuti aktifitas kemasyarakatan, seperti gotong royong. “Kemarin kami baru ikut gotong royong merehab masjid desa,” ujar ustadz Ahmadiyah di desa itu Kamal Yusuf.

Namun, sejak lama dalam hal kegiatan-kegiatan keagamaan, warga Ahmadiyah memang terasing dan diasingkan umat Islam di desa itu. Misalnya, kegiatan wirid yasin kaum bapak/ibu/remaja, tak bisa diikuti warga Ahmadiyah, meski mereka ingin ikut bergabung. Demikian pula dengan sholat Jum’at, sholat Idul Fithri/Idul Adha dan beberapa kegiatan ibadah lainnya. “Memang mereka ingin ikut, tapi karena berbeda dengan umat Islam di sini, kita sepakat tidak menerimanya,” terang salah seorang warga.

Tapi ditengah penolakan itu, muncul hal yang melegakan. Hingga saat ini, bagi warga Ahmadiyah yang meninggal dunia, umat Islam di desa itu masih mengijinkan jasad warga Ahmadiyah dikebumikan di pekuburan Muslim desa. “Memang kami ijinkan,” ujar warga lain. Warga beralasan, karena lahan untuk kuburan memang tak ada lagi. Meski jika ditolak warga Ahmadiyah bersedia mencari tempat lain.

Warga Ahmadiyah sendiri, melaksanakan berbagai kegiatan keagamaan di Masjid Baitul Islam, mulai dari sholat lima waktu hingga kegiatan keagamaan lainnya, tanpa gangguan umat Islam. Di masjid itu, sebelum terjadinya rentetan peristiwa Cikeusik, Banten, azan berkumandang dalam lima waktu. Mereka mengusahakan sholat berjamaah, meski dalam jumlah kecil. “Kalau sholat jemaah yang ramai, biasanya Maghrib dan Isya,” terang penganjur Ahmadiyah asal Tasikmalaya itu. Kamal Yusuf, mengakui tak ada perbedaan peribadatan antara Ahmadiyah dengan umumnya umat Islam di desa itu.

Diterangkan, Ahmadiyah dalam penerapan syariat Islam menekankan dua prinsip, yakni sholat dan infak. Bagi warga Ahmadiyah, sholat tidak bisa ditinggalkan dalam situasi dan kondisi apapun. Demikian pula dengan infak. Artinya, siapapun warga Ahmadiyah yang bisa mencari makan, harus berinfak. “Di jemaah ini ada infak harian,” tegas alumni Al Jam’iyah Ahmadiyah Indonesia (Perguruan Tinggi Ahmadiyah) Bogor itu.

Pun demikian, dalam tiga tahun membina jamaah Ahmadiyah di desa Bah Damar, Yusuf, mengakui jamaahnya baru satu kali melaksanakan qurban, berupa seekor kambing. “Karena terbatas, tak bisa diberikan kepada yang lain, hanya untuk kalangan intern saja,” cetus dia. Kamal Yusuf, menyebutkan alasan tidak melakukan qurban, karena warga Ahmadiyah kebanyakan dari keluarga kurang mampu.

Hal menarik dari pengikut Mirza Ghulam Ahmad Al Qodiyani itu, adalah penampilan mereka yang terkesan sangat Islami. Kaum perempuannya, memakai jilbab seharian, baik ketika di rumah maupun di luar rumah. Sedangkan prianya, menunjukkan simbol-simbol Keislaman secara baik. Secara keseluruhan, Kamal Yusuf, mengakui hingga kini dirinya dan warga Ahmadiyah di desa Bah Damar, merasa aman dan tidak terpengaruh dengan suasana rusuh di Jawa.

Terkait adanya seruan agar warga Ahmadiyah kembali ke ajaran Islam, penganjur Ahmadiyah itu, mengatakan menghormati saran MUI dan tidak menghilangkannya. Namun, untuk menerima harus melalui proses pemikiran yang matang. “Saran MUI itu kan bersifat fatwa, maka sepanjang namanya fatwa masih memiliki banyak pikiran-pikiran lain,” tegas dia.

Pernah Konflik

Kepala desa Bah Damar Mislan, Sabtu (5/3), mengakui warga Ahmadiyah telah ada di desa itu, sejak lama. Seingat Kades itu, ajaran Ahmadiyah masuk ke desa Bah Damar sekira 1985, melalui dakwah penganjur Ahmadiyah bernama Syafii dan seorang pendatang lainnya yang kemudian menetap di desa itu.

Kala itu, terang sejumlah warga yang mengetahui, Syafii bersama temannya mengadakan pengajian untuk warga desa, semula dari rumah ke rumah. Jamaah pengajian itu semakin bertambah, hingga mencapai sekira 60 orang pria/wanita. Karena jamaah bertambah, disepakati membangun masjid sederhana dengan cara gotong royong. Namun, dalam proses pengajian itu, muncul silang pendapat, ketika Syafii meminta jamaahnya untuk berbai’at (pengambilan sumpah setia). Tidak sampai di situ, sosok yang semula dipanggil ustadz oleh warga membukan tabir dirinya sebagai penganut Ahmadiyah.

Akibatnya, memang fatal. Jamaah pengajian binaan penganjur Ahmadiyah itu pecah belah. Sebagian besar menyatakan keluar dari pengajian. Namun ada juga di antaranya yang bertahan ikut pengajian itu. Berbagai cerita pilu mengiringi perpecahan jamaah. Salah seorang warga, mengungkapkan dirinya hampir bercerai dengan istrinya, karena ikut dalam pengajian. “Saya bilang sama istri, kalau tetap ikut mengaji kami bercerai. Syukur istri saya patuh dan tak ngaji lagi,” ujar warga yang tinggi berjarak dua rumah dari Masjid Baitul Islam. Tapi, ada beberapa di antaranya harus berpisah, karena mempertahankan paham masing-masing.

Tak sampai di situ, perpecahan itu juga berbuntut penghancuran masjid tempat pengajian jamaah Ahmadiyah, karena warga Muslim memandang pengajian itu sesat. Penghancuran masjid itu terjadi, meski tanpa adanya korban. Sedangkan pelaku penghancuran walau di panggil aparat keamanan tidak sampai di hukum.

Selang beberapa tahun kemudian, jamaah Ahmadiyah yang bertahan, membangun tempat ibadah mereka secara permanen. Masjid Baitul Islam itu berdiri setelah mendapat restu kepala desa setempat. Restu itu diberikan, karena sang Kades punya hubungan saudara dengan salah seorang penganut Ahmadiyah. “Mereka dirikan masjid waktu itu tanpa ijin warga. Tapi bisa berdiri karena Kades waktu itu mengijinkan,” ujar Kades Mislan.

Perkembangan Ahmadiyah di Desa Bah Damar, belakangan cenderung stagnan bahkan mundur. Banyak warga Ahmadiyah kembali ke pelukan Islam, baik melalui proses penyadaran maupun proses asimilasi, semisal perkawinan. Anak-anak dari keluarga Ahmadiyah yang menikah dengan anak-anak dari warga Muslim, kemudian meninggalkan keyakinan orang tua mereka. “Yang seperti itu memang ada,” ujar warga.

Namun upaya bertahan tetap dilakukan, misalnya melalui metode perjodohan antara sesama anak keluarga Ahmadiyah. Banyak, anak keluarga Ahmadiyah di desa Bah Damar dicarikan jodohnya dari keluarga Ahmadiyah di luar desa, guna menghindari model berpacarann ala generasi muda saat ini.

Saat ini, kondisi keyakinan mereka menguat, karena PP Jamaah Ahmadiyah Indonesia mengirimkan seorang ustadz untuk mereka, yakni Kamal Yusuf. Pria Sunda dengan satu istri dan satu anak itu, telah bersama warga Ahmadiyah desa Bah Damar sejak tiga tahun lalu. “Saya diutus untuk membina jamaah dan diberi dana makan dari Pusat,” tandas pria berjenggot tebal yang mengaku berasal dari keluarga berpaham Ahmadiyah di Tasikmalaya. Dia yakin, perbedaan paham antara Ahmadiyah dan umat Islam di desa itu takkan berujung konflik, karena masing-masing sudah punya pengalaman dalam berinteraksi satu dengan lainnya…

MASJID AHMADIYAH : Masjid Ahmadiyah di desa Bah Damar, sebagai simbol keberadaan aliran Islam yang dipandang sesat. Di desa itu, mereka hidup tenang tanpa ada gangguan warga lain. Terlihat penganjur Ahmadiyah Kamal Yusuf di teras masjid, Sabtu (5/3).

Post a Comment for "Mesti Menolak Ahmadiyah, Warganya Masih Dikebumikan Di Kuburan Muslim"