----iklan---- Kue Bakul, Panganan Imlek Yang Menyimpan Nilai-Nilai Kekerabatan - JEJAK KHALIK
Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kue Bakul, Panganan Imlek Yang Menyimpan Nilai-Nilai Kekerabatan


Kue bakul atau kue keranjang, merupakan panganan istimewa menyambut Imlek. Kue paduan antara pulut/ketan dengan gula aren itu dalam bahasa aslinya disebut nien kao atau ni kwee yang berarti kue tahunan. Penamaan itu dihubungkan dengan kebiasaan pembuatannya hanya dibuat satu tahun sekali, ketika etnis Tionghoa merayakan Imlek (Tahun Bulan). Dalam dialek Hokkian disebut tii kwee berarti kue manis.

Kue bakul itu memiliki sejarahnya sendiri, seperti dituturkan Ketua Paguyuban Masyarakat Tionghoa Indonesia (PMTSI) Kota Tebingtinggi Bambang Santoso, Rabu (2/2), di kediamannya.

Dulu di negeri China, saat masyarakatnya berada dalam cengkeraman penjajahan, rakyat tak bisa berkomunikasi satu dengan lainnya. Bahkan, untuk berbicara dengan tetangga saja, hal itu tidak diperbolehkan oleh penguasa penjajah. Kondisi demikian memunculkan ide ditengah warga untuk membangun media yang bisa digunakan sebagai alat komunikasi. Salah satu ide itu dengan membuat kue yang bisa diberikan kepada tetangga dan siapa saja, tepatnya di hari raya Imlek.

Singkat cerita, dicarilah kue apa yang bisa mewakili aspirasi warga dalam menyuarakan ketulusan hati mereka. Para tetua etnis Tionghoa, kemudian menciptakan kue yang dibuat dengan persyaratan ketat yang dalam prosesnya mengandung nilai-nilai luhur tentang kekerabatan, kebersamaan dan keikhlasan.

Setelah kue selesai, setiap warga pun saling memberikan pada siapa saja, sambil menyelipkan sepusuk surat untuk saling berkomunikasi. “Dulu pemberian kue bakul ini, selalu menyelipkan sepucuk surat pesan. Tapi sekarang sudah tak ada lagi,” kata tokoh muda Tionghoa Tebingtinggi itu.

Proses pembuatan kue bakul juga sangat unik, terkadang diluar logika. Subagio alias Giok, 56, warga kel. Bandar Sono, Kec. Padang Hulu, banyak tahu soal pembuatan kue bakul itu, karena mertuanya etnis Tionghoa.

Suami dari Tan Me Khu alias Siti Aisyah itu, mengisahkan dulunya persiapan untuk membuat kue bakul sudah dilakukan tiga bulan sebelum hari raya Imlek. Bermula dari memilih bulir pulut yang baik. Para ibu, setiap hari harus memilih bulir pulut yang bagus dari yang ada. “Caranya dipisahkan satu-satu. Jangan sampai ada bulir pulut yang sompel atau patah. Kalau ada, pasti kue tak jadi,” cerita Giok.

Setelah proses memilih bulir pulut selesai, dilanjutkan dengan menumbuk dan mengayak tepung pulut. Selama proses itu berlangsung, pulut pilihan itu tak boleh bercampur dengan benda apapun. Sehingga prosesnya dilakukan steril dan tak bisa dilakukan sembarang orang. “Perempuan yang halangan tak bisa membuatnya,” tegas Giok, yang lama tinggal bersama mertuanya.

Demikian juga dengan gula aren (merah), harus berasal dari sumber yang murni. Karena itu, biasanya warga Tionghoa yang hendak membuat kue bakul, harus memesan dulu langsung kepada pembuat gula merah, agar menjaga keasliannya.

Setelah semua bahan diperoleh, proses pembuatannya juga sangat rumit dan hati-hati. Bermula dari perasaan pembuat kue bakul. Si pembuat sudah harus menjaga hatinya dari penyakit hati, seperti iri, dengki dan serakah. Selanjutnya, dengan memakai pakain bersih, si pembuat akan masuk ke kamar khusus yang tak boleh di masuki orang lain, walau keluarga sekali pun. Proses memasak kue bulan biasanya berlangsung selama 12 jam non stop.

Saat proses memasak, si pembuat harus nengisolasi dalam kamar. “Selama itu, tak boleh ada yang menanya dia, apalagi harus menanya apakah kue sudah masak atau belum,” terang Giok. Jika sampai itu dilanggar, maka kue bakul tak akan jadi. Kue bakul yang tak jadi, biasanya tak bisa mengeras dan tetap encer. Tapi, jika semua persyaratan terpenuhi, kue bakul itu pun bisa selesai dibuat.

Kue bakul itu sendiri menyimpan nilai-nilai luhur, terang pria Jawa yang mengislamkan istrinya saat menikah. Mengambil penuturan mertuanya, kue bakul berbahan dasar pulut dan gula aren punya nilai filosofis tinggi. Pulut itu mengandung zat perekat, sedangkan gula zat pemanis. Gabungan kedua unsur itu, mengisyaratkan kekerabatan yang kuat itu bisa muncul, jika tata pergaulan dihiasi dengan tindakan dan perilaku yang manis terhadap sesama. “Karena itu kue bakul harus diberikan pada siapa saja, tanpa membedakan agama, ras, suku atau golongan,” terang Giok.

Terimbas Ekonomi

Namun diakui, dekade belakangan ini makin banyak rumah tangga Tionghoa yang tak lagi membuat langsung kue bakul itu. Umumnya, ketika hari raya Imlek datang, seperti saat ini, warga Tionghoa langsung membelinya di pasar, karena sudah banyak diperjual belikan.

“Memang membuatnya rumit. Karena itu lebih banyak yang beli langsung,” aku Bambang Santoso, jebolan Fak.Hukum salah satu PTS Medan itu. Menjelang Imlek 2562 harga kue bakul per kilo di pasaran Rp30 ribu. Dari jumlah itu bisa diperoleh empat bagian kue bakul. Diakui, dalam ibadat Imlek kue bakul merupakan syarat wajib, sehingga setiap rumah keluarga Tionghoa harus membeli kue bakul itu.

Pun demikian, nilai ekonomi pembuatan kue bakul mejadi pertimbangan penting. Membuat kue bakul, secara ekonomis sangat berat, karena biayanya besar. Untuk pembuatan kue bakul, dibutuhkan minayk tanah dalam jumlah besar. Jika memasak dengan kompor, selama 12 jam, paling tidak dibutuhkan 35 liter minyak. “Nah kalikan dengan harga minyak tanah Rp9.000/liter saat ini. Berapa jumlahnya,” cerita Subagio.

Atas dasar itu pula, keduanya, mengkhawatirkan proses pembuatan kue bakul itu, kian lama akan hilang dari generasi muda Tionghoa. Nasib kue bakul akan seperti kue-kue tradisional lainnya di negeri ini yang sudah dimassifikasi oleh industri panganan. “Kalau sudah demikian, kelak akan semakin sedikit orang yang tahu nilai-nila luhur disebalik pembuatan kue bakul ini,” ujar Bambang Santoso.

Pantauan di Pajak Hongkong Kota Tebingtinggi, Rabu (2/2), kue bakul yang dijual dimasukkan dalam kotak kue berwarna merah. Harganya per kotak sebesar Rp30 ribu. Modelnya juga sudah beragam. Ada di antaranya kue bakul berbentuk ikan mas yang dipaket semenarik mungkin. Beberapa pembeli mengakui harga kebutuhan ibadah untuk Imlek, tidak naik. “Harganya biasa saja macam tahun lalu,” ujar pembeli yang membeli Ce Lung (Lampion).

Suasana penyambutan hari Raya Imlek 2562 di Kota Tebingtinggi, terasa berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Ribuan lampion terlihat bergantungan di jalan-jalan inti kota itu, selain di rumah warga Tionghoa. Pj. Walikota Drs.H.Eddy Syofian, MAP, menginstruksikan pawai Imlek pada Rabu (2/2) malam. Pawai Imlek itu, merupakan kegiatan yang baru pertama kali dilakukan di kota lemang itu. Etnis Tionghoa di Kota Tebingtinggi dari data BPS 2007, berjumlah sekira 8 persen dari 145 ribu penduduk kota lintasan itu…

SAMBUT IMLEK : Warga Tionghoa memenuhi Pasar Hongkong Tebingtinggi untuk menyambut Imlek 2562. Terlihat, warga membeli lampion dan kue bakul di salah satu toko, Selasa(1/2).

Post a Comment for "Kue Bakul, Panganan Imlek Yang Menyimpan Nilai-Nilai Kekerabatan"