----iklan---- Ketika Pengadilan Agama Jadi Solusi Sengketa Warisan … - JEJAK KHALIK
Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Ketika Pengadilan Agama Jadi Solusi Sengketa Warisan …

Satu keluarga di Kab. Sergai harus bertelagah, karena persoalan warisan. Sebidang tanah warisan orang tua yang kini di atasnya berdiri gedung sekolah, menjadi pangkal persoalan. Lima ahli waris berbeda pandangan, tiga saudara perempuan versus dua saudara lainnya masing-masing meminta dan mempertahankan haknya. Sengketa warisan itu, tak bisa diputus Pengadilan Agama Kota Tebingtinggi. Kasus itu, harus berlanjut hingga ke tingkat banding dan kasasi. Pada akhirnya, sengketa warisan itu berakhir dengan lelang atas lahan yang sudah terkait dengan masyarakat.

Itulah salah satu sengketa ahli waris yang pernah ditangani PA Tebingtinggi yang dipandang paling berat dan lama, kata Ketua PA H. Nandang Hasanuddin, SH, Selasa (21/12), di ruang kerjanya.

Dikatakan, kasus-kasus sengketa warisan selama ini, jumlah dan frekwensinya sangat kecil, jika dibanding kasus lain yang ada dalam wewenang PA. Sebagai perbandingan, pada 2009 hanya ada tujuh sengketa waris yang diputus dari 370 kasus yang ditangani. Sedangkan pada 2010, hingga pertengahan Desember, terdapat 13 kasus warisan, dari 422 kasus yang terdaftar. Lima di antaranya sengketa warisan dan delapan menyangkut penetapan.

Menurut H. Nandang Hasanuddin, SH, rendahnya penanganan kasus sengketa warisan, terkait erat dengan mulai tumbuhnya kesadaran umat Islam atas persoalan warisan dalam keluarga. “Umumnya masalah warisan selalu diselesaikan melalui jalan musyawarah keluarga. Sehingga tak sampai ke pengadilan,” ujar Hasanuddin.

Cara pembagian pun umumnya tidak menggunakan hitungan faraidh sesuai syariat Islam. Kebanyakan, berdasarkan pengalaman empiris, satu keluarga yang hendak membagi warisan akan menemui tokoh agama di lingkungan masing-masing. Melalui saran tokoh agama (ustadz) itulah pembagian warisan antar keluarga dilakukan. “Umumnya, pembagian dilakukan merata antara laki-laki dan perempuan,” ujar Ketua PA itu.

Pun demikian, meskinya setiap umat Islam didorong untuk mengetahui persoalan mendasar sistem faraidh Islam. Alasannya, sistem faraidh disamping merupakan sarana ibadah juga bagian terpenting dalam muamalah Islam. “Paling tidak walau pun mereka membagi warisan itu atas dasar musyawarah, tapi masing-masing ahli waris tahu haknya sesuai faraidh,” tegas dia.

Dalam posisi kultur umat Islam yang masih menjunjung tinggi asas musyawarah dalam pembagian warisan, keberadaan PA justru jadi penting ketika terjadi sengketa antar ahli waris, terhadap satu objek warisan. Pada umumnya, sengketa waris muncul di antara keluarga, jika ego masing-masing lebih dikemukakan dari nilai-nilai kekeluargaan. Kalau sudah demikian kondisinya, antara penggugat dan tergugat akan sama mengalami kerugian, baik moril maupun materil, ungkap Nandang Hasanuddin. Resiko itulah yang diperkirakan jadi perhatian keluarga muslim.

Karena itu, wajar saja jika kasus sengketa warisan yang sampai ke PA persentasenya sangat kecil. Dengan latar belakang demikian, harus diakui bahwa sengketa warisan di kalangan umat Islam tidak sampai memunculkan konflik yang berlarut-larut. Hal demikian, diakui Ketua PA sebagai nilai-nilai positif dalam kehidupan sosial Islam.

Selain sengketa warisan, kasus-kasus lainnya terkait waris juga kecil, misalnya penetapan hak waris, hak waris anak dan pembatalan hibah atau pengangkatan anak. Pada 2009 hanya ada 28 kasus penetapan waris dari 370 kasus yang diselesaikan melalui putusan.

Meningkat

Sementara itu, Ketua PA mengakui tingkat perceraian dari kalangan pasangan menikah umat Islam untuk Kota Tebingtinggi dan sekitarnya, dari tahun ke tahun terus saja meningkat. Bahkan, motif kasus itu berkembang sesuai dengan kondisi yang ada di keluarga muslim. Misalnya, sudah ditemukan kasus perceraian akibat perkawinan paksa, kekerasan dalam rumah tangga, di bawah umur serta akibat krisis akhlak dan akibat dihukum.

Penyebab perceraian tertinggi pasutri yang berperkara di PA Tebingtinggi, yakni karena tidak adanya keharmonisan rumah tangga. Menyusul tidak adanya tanggung jawab dalam rumah tangga, motif ekonomi, gangguan pihak ketiga (WIL/PIL), cacat biologis, kawin paksa, krisis akhlak, KDRT, dihukum dan perkawinan dibawah umur.

Motif perceraian karena tidak adanya keharmonisan rumah tangga diperkirakan menduduki posisi tertinggi mencapai 60 persen dari keseluruhan kasus perceraian. Demikian pula dengan tidak adanya tanggung jawab. Namun, yang mengejutkan, masih ditemukan motif kawin paksa. “Memang ada, awalnya mereka dijodohkan. Yang satu suka tapi pasangannya tak suka. Akhirnya berpisah,” terang Ketua PA.

Motif perceraian dengan alasan ekonomi juga dominan. Hal ini terkait dengan penghasilan yang timpang dan tak sesuai kebutuhan rumah tangga. Biasanya, kalau sudah demikian kondisinya, perceraian sulit untuk dihindari. Bahkan, muncul fenomena banyak wanita bekerja menuntut cerai suaminya, karena pendapatan yang tak seimbang di antara pasutri.

Terkait tingginya pendaftaran perceraian di PA Tebingtinggi, Hasanuddin, mengaku harus menyikapinya secara arif. Dalam satu bulan, majelis hakim paling bisa memutus rata-rata 30 kasus/bulan. Sehingga satu tahun maksimal memutus 360 kasus. Saat ini saja, sudah terdaftar 422 kasus. Ujung-ujungnya menjadi beban di tahun berikutnya. “Padahal, sudah ada ketentuan Mahkamah Agung, setiap tahunnya hanya dibenarkan sisa kasus yang belum diputus 10 persen saja,” keluh dia.

Pada akhirnya, PA memang menjadi solusi akhir di kalangan umat Islam, khususnya menyelesaikan masalah rumah tangga mereka. PA ke depan memang harus jadi lembaga solusi bagi persoalan umat Islam…

Post a Comment for "Ketika Pengadilan Agama Jadi Solusi Sengketa Warisan …"