----iklan---- RSBI SMAN 1 T.Tinggi, Berlabel Internasional Tapi Menyimpan Mentalitas Inlander - JEJAK KHALIK
Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

RSBI SMAN 1 T.Tinggi, Berlabel Internasional Tapi Menyimpan Mentalitas Inlander


Tiga alumni Rintisan Sekolah Berstandar Internasional SMAN 1 Kota Tebingtinggi, oleh kepala sekolah ditawarkan untuk melanjutkan pendidikan mereka di Australia. Tawaran itu layak diberikan kepada ketiganya, melihat prestasi belajar mereka selama ini. Ada keyakinan sang Kasek Drs. Mhd. Syarif, MSi, MPd, satu siswa pria dan dua siswa perempuan itu, akan bisa belajar di salah satu perguruan tinggi negeri Kanguru itu.

Bahasa Inggris yang jadi momok selama ini telah mereka kuasai. Mata pelajaran wajib, Fisika, Kimia, Biologi dan Matematika ketiga siswa itu berada pada rangking paling atas dari 68 siswa satu angkatan. Pokoknya tak ada hambatan dalam soal kualitas ketiga siswa itu.

Albert Marbun, siswa rangking satu itu, bersama dua siswi lainnya ketika ditawarkan sang Kasek melanjutkan pendidikan di Australia, tanpa berpikir panjang, langsung menjawab; “tidak.” Penolakan itu bersifat klasik, tidak ada biaya dan takut jika putus kuliah akan terlantar di negeri orang. Tak hanya ketiga siswa menyatakan enggan kuliah di luar negeri, keluarga mereka pun justru menyatakan ketidak setujuannya. Ayah Albert yang berprofesi tukang, serta ayah kedua rekannya yang berprofesi pengusaha kecil dan karyawan perkebunan itu, menolak jika anaknya sekolah ke luar negeri.

Albert Marbun dan dua rekannya, memutuskan ikut seleksi PMP yang dilaksanakan sejumlah perguruan tinggi. Dua dari tiga siswa terbaik itu, masuk ke Universitas Indonesia dan lainnya ke Institut Pertanian Bogor. Episode perjalanan pendidikan ke tiga siswa RSBI SMAN 1 itu pun berakhir, mereka terpental dari mengecap pendidikan Internasional, justru karena sikap mental yang tak siap.

Diakui, Kasek SMAN 1 Drs. Mhd. Syarif, MPd, MSi, Selasa (27/7), faktor mental merupakan salah satu hambatan besar bagi siswa RSBI untuk mengecap pendidikan di perguruan tinggi Internasional. Salah satu sikap mental yang diidap siswa RSBI SMAN 1, adalah asumsi bahwa perguruan tinggi luar negeri ini sangat jauh letaknya. Asumsi jarak itu, telah memunculkan mentalitas “breakdown” tentang jarak geografis di kalangan siswa. Padahal, faktanya jarak tempuh pesawat antara Medan-Jakarta dan Medan-Melbourne, hanya berbeda beberapa jam saja.

Kasus penolakan ketiga siswa RSBI SMAN 1 Kota Tebingtinggi itu untuk kuliah di perguruan tinggi Australia, jika dilihat dari berbagai sudut pandang, akan terasa kompleks. Namun, satu hal yang penting disadari, ternyata label Internasional yang disandang RSBI, tidak memberikan jaminan mentalis siswanya akan berubah ke arah manusia Internasional pula. Masa pendidikan tiga tahun itu, tidak bisa mengubah mentalitas pribumi (inlander) siswa, menjadi sosok siswa yang punya wawasan serta sikap mental sesuai standard Internasional. Pantas pula, jika belakangan banyak kalangan menyoroti keberadaan RSBI yang lebih banyak berdampak negatif dari pada dampak positif pada dunia pendidikan kita, saat ini.

Beberapa dampak negatif yang jadi sorotan terhadap RSBI, adalah kecenderungan terjadinya stratifikasi di dunia pendidikan kita melalui keberadaan RSBI. Standard pendidikan RSBI yang cenderung bersifat manipulatif, karena tak sesuai antara harapan dan kenyataan. Bahkan, adanya kecenderungan status RSBI justru menjadi ajang bisnis di kalangan pengelola pendidikan kita. Padahal, tujuan semula dari dibangunnya RSBI, adalah agar lulusan RSBI bisa memasuki perguruan tinggi elit dunia.

RSBI SMAN 1 Kota Tebingtinggi, jika diukur berdasarkan standard yang ada, keberadaannya sejujurnya tidak layak menyandang status itu, kata Kasek Mhd. Syarif. Hingga tahun ketiga dari operasionalnya, sarana dan prasarana RSBI SMAN 1 hanya baru terpenuhi 50 persen dari yang seharusnya. Begitu pula dengan kualitas tenaga guru yang mengelola pendidikan itu, masih jauh dari harapan.

Dicontohkan, untuk sejumlah mata kuliah ada ketentuan bahasa pengantar yang digunakan harus bahasa Inggris. Tapi faktanya, dari 22 guru yang mengajar Fisika, Kimia, Biologi dan Matematika, hanya ada tujuh guru yang bisa menggunakan bahasa Inggris di dalam kelas. Selebihnya, masih harus menjalani pendidikan/les guna mempelajari bahasa pengantar itu. Jenjang pendidikan formal para guru RSBI juga, masih dibawah standard, hanya beberapa guru saja diantaranya yang berpendidikan strata (S2) atau masih melanjutkan kuliah. Kebanyakan masih berpendidikan strata (S1).

Dampak dari sarana dan prasarana yang belum memenuhi standard itu, dari 68 lulusan pertama RSBI SMAN 1, hanya 23 lulusan yang bisa masuk ke perguruan tinggi nasional melalui jalur PMP. Selebihnya belum diketahui, karena belum ada laporan bagaimana keberadaan mereka, pasca menyelesaikan pendidikan.

Untuk tahun ke 2, Syarif optimis, ada sejumlah siswa yang bisa dicalonkan melanjutkan pendidikan tingginya di luar negeri. Namun, hambatannya tetap saja persoalan mental siswa dan keluarga serta asumsi biaya tinggi jika berlajar di luar negeri. Karena itu, persoalan utamanya apakah mereka siap menuju ke sana, atau justru gagal sebelum tunas harapan itu disemaikan.

Studi Tour

Hemat penulis, ada beberapa upaya yang mesti dilakukan oleh RSBI SMAN 1 dalam meretas mental inlander, di kalangan siswa yang ada. Pertama, sudah saatnya mentalitas “breakdown” terkait asumsi jarak luar negeri yang jauh itu, dipupus melalui pelaksanaan studi tour ke luar negeri. Kegiatan studi tour itu nantinya akan membuka cakrawala siswa, betapa luar negeri ini tak jauh dan suasananya bisa dihadapi layaknya di negeri sendiri. Model studi tour ke luar negeri itu, sejak lama telah dilaksanakan sejumlah sekolah swasta elit Tionghoa. Faktanya, mereka berhasil menggerakkan siswanya bercita-cita melanjutkan pendidikan ke luar negeri.

Kedua, sejak awal meskinya suasana sekolah harus didesain sesuai kondisi dan situasi Internasional. Sebagai contoh, mestinya seluruh informasi yang diterima siswa tidak lagi bersifat lokal tapi berstandard Internasional, apakah itu berita maupun sumber ilmu pengetahuan, harus mengacu ke manca negara. Televisi berlangganan yang menyiarkan berita internasional semacam CNN, BBC, FOX dan Reuters, atau Al Jezeera, sudah harus terpasang di ruang lobi, tempat jajan, atau ruang praktek siswa, sebagai wahana penciptaan suasana sekolah..

Ketiga, mengatasi sikap mental inlander keluarga, sejak awal keluarga siswa sudah harus diberi pemahaman bagaimana visi dan misi sekolah, bahwa setiap siswa memiliki target maksimal, bisa bersekolah di perguruan tinggi luar negeri. Pemahaman demikian akan sangat berguna untuk memberikan kesiapan pada keluarga, jika kelak anaknya harus “merantau” ke negeri orang.

Keempat, terkait tingginya biaya pendidikan, sudah saatnya RSBI SMAN 1 memberikan warning ke Pemko Tebingtinggi, DPRD dan kalangan stake holders lainnya, agar memperjuangkan dan memberikan porsi anggaran khusus di APBD untuk menopang kegiatan RSBI itu, dalam rangka menjangkau perguruan tinggi elit dunia.

Kini, sudah saatnya, pengelola RSBI SMAN 1 Kota Tebingtinggi menjadikan kasus Albert Marbun dan kawan-kawannya, sebagai pelajaran berharga. Mentalitas yang tidak siap menghadapi kondisi global, akan membunuh mimpi-mimpi kita untuk dapat melihat anak Tebing bisa menuntut ilmu di perguruan tinggi elit dunia, seperti Cambridge University maupun Oxford University. Mimpi-mimpi itu, masih tetap bersemayam, seperti mimpinya Ical si anak “Laskar Pelangi” yang bisa mendudukkan bokongnya di altar suci Sarbonne University Paris, Perancis. Semoga saja…Abdul Khalik

MENAPAK IMPIAN : Sejumlah suswa SMAN 1 Kota Tebingtinggi, tengah menapak jalan seusai sekolah. Mereka tengah berupaya menapak perguruan tinggi elit dunia dengan tertatih-tatih. Dibutuhkan sikap mental global menghadapi itu melalui bantuan semua pihak. Foto direkam, belum lama ini.

Post a Comment for "RSBI SMAN 1 T.Tinggi, Berlabel Internasional Tapi Menyimpan Mentalitas Inlander"