----iklan---- Busung Lapar? Jangan Sampai Terjadilah Di T.Tinggi - JEJAK KHALIK
Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Busung Lapar? Jangan Sampai Terjadilah Di T.Tinggi




Busung lapar atau honger oedema atau salah satu dari simtoma marasmus dan kwashiorkor, adalah fenomena penyakit di Indonesia yang diakibatkan oleh kekurangan protein kronis pada anak-anak. Umumnya, penyebab penyakit itu, karena anak tidak mendapatkan asupan makanan bergizi yang cukup, anak tidak mendapat asuhan makanan bergizi yang memadai atau anak mungkin menderita infeksi penyakit. Penyebab langsung dari busung lapar, bisa jadi karena bencana alam, daya beli masyarakat yang rendah, tingkat pendidikan, kondisi lingkungan atau pelayanan kesehatan yang buruk.

Dampak busung lapar, akan berakibat pada menurunnya tingkat kecerdasan anak, rabun senja serta rentan terhadap penyakit terutama infeksi. Penyakit ini akan mengakibatkan hilangnya satu generasi dari suatu bangsa yang dikenal dengan istilah lost generation. Secara politis, busung lapar yang dikenal juga dengan istilah gizi buruk, merupakan isyarat awal terjadinya kegagalan dalam proses pembangunan kesehatan pada suatu daerah. Penyakit itu tidak hanya dialami daerah-daerah yang minim sumber daya alam, tapi pada daerah kaya seperti Jawa, hal itu bisa saja terjadi. Intinya, persoalan itu terkait dengan kepedulian pemerintah daerah dalam pembangunan kesehatan.

Salah satu indikasi gagalnya pembangunan kesehatan, bisa diukur dengan seberapa besar pemerintah daerah/kota menyediakan fasilitas kesehatan beserta perangkat pendukungnya dalam APBD daerah itu, sehingga busung lapar tidak muncul. Artinya, jika busung lapar tidak ada, maka pembangunan kesehatan relatif berhasil. Demikian juga sebaliknya.

Harus diakui, tingkat balita penderita busung lapar dan semacamnya di Indonesia, belakangan cukup mengkhawatirkan. Misalnya, pada 2009 penderita gizi buruk mencapai 110.891 balita, busung lapar 891 balita, kwashiorkor 40 balita, markwash mencapai 87 balita, non klinis 25.483 balita dan meninggal sebanyak 100 balita.

Bahkan, di Prov.Sum. Utara penderita busung lapar sejak 2005 telah menjangkau banyak daerah. Di Nias Selatan misalnya ditemukan 1.463 balita mengalami gizi buruk. Hal serupa ditemukan di Kab. Dairi, Langkat, Sergai, Deli Serdang, Asahan, Sibolga maupun Tanjung Balai. Demikian pula di daerah-daerah pantai Barat Sumut, kejadian busung lapar bukan merupakan hal luar biasa, karena hampir setiap tahun hal demikian ditemukan. Bahkan, Medan yang jadi pusat pemerintah Sumut, masih ditemukan kasus gizi buruk dengan jumlah relatif besar mencapai 163 penderita (Waspada, 17/2). Kasus-kasus gizi buruk terus saja bermunculan di berbagai daerah.

Tapi, dalam satu dekade belakangan, kasus gizi buruk dan busung lapar memang menjauh dari Kota Tebingtinggi. Tak terdengar adanya laporan terkait dengan penyakit yang seringkali membuat rejim Orde Baru di masa lalu menjadi berang. Karena, memang penyakit itu, dipandang sebagai indikasi kegagalan penguasa ideologi developmentalism itu dalam mengayomi kesehatan masyarakat.

Kadis Kesehatan Kota Tebingtinggi Dr.H.Syawaluddin Nasution, M.Kes, dalam satu perbincangan dengannya, mengakui fakta itu. Saat ini, tidak lagi ditemukan adanya kasus busung lapar dan gizi buruk di Kota Tebingtinggi. Menurut Syawaluddin, kasus busung lapar yang saat ini banyak ditemukan di berbagai daerah Sumut, termasuk Medan harus diwaspadai. Terutama dalam pengelolaan kesehatan yang langsung menyentuh masyarakat lapisan bawah.

Untuk Kota Tebingtinggi, ungkap Syawaluddin, meski pada APBD TA 2010 anggaran kesehatan hanya sekira Rp4 milyar lebih, pengelolaannya dilakukan secara terpadu dan sistematis. Saat ini, aku dia, program jaminan kesehatan masyarakat telah menyentuh hingga ke level terendah, yakni lingkungan rumah tangga. Program jaminan kesehatan itu dimulai dari Jamkesmas (berupa jaminan kesehatan untuk masyarakat tidak mampu yang dibiayai Pemerintah pusat), Jamkesda (dibiayai Pemerintah daerah) disamping Askes (untuk PNS dan pekerja). Demikian pula dengan pemberian makanan tambahan yang terus berlangsung tanpa putus kepada Balita melalui Posyandu.

Selain itu, jaringan kesehatan juga diperkuat dengan keberadaan instansi kesehatan yang dekat dengan masyarakat, mulai dari Puskesmas, Pustu hingga bidan kelurahan. “Saat ini, kita memiliki 35 bidan kelurahan bersifat mobil,” kata Syawaluddin. Artinya, keberadaan bidan di kelurahan berfungsi sebagai pengawas dan pemantau kesehatan di lingkungan keluarga. Dari para bidan inilah, bisa diperoleh data kesehatan masyarakat kelurahan per minggu. Jika dari pengawasan dan pemantauan para bidan ada indikasi penurunan kesehatan pada keluarga, maka bidan sebagai petugas akan segera melaporkan hal itu ke atasan.

Kalau selama ini, bidan hanya berada di kantor kelurahan untuk menunggu laporan, maka kebijakan baru yang dilakukan Dinas Kesehatan, para bidan kelurahan harus menjemput bola. Dengan pola yang diterapkan satu tahun belakangan ini, kasus-kasus kesehatan di lingkungan keluarga, dapat segera ditangani lebih dini.

Selain itu, jelas Syawaluddin, setidaknya ada beberapa program kesehatan yang digulirkan kepada masyarakat guna memberikan jaminan rasa aman menghadapi masalah kesehatan. Program itu, yakni ketersediaan obat-obatan pada seluruh fasilitas kesehatan, mulai dari Puskesmas hingga ke Pustu serta praktek bidan. Demikian pula dengan beroperasinya apotik yang beroperasi hingga pukul 20.00 di inti kota. Kemudian, karena Tebingtinggi merupakan daerah endemik nyamuk DBD, Dinas Kesehatan selalu melakukan program foggingisasi terhadap daerah-daerah yang kedapatan penderita DBD. “Meski sepanjang tahun penderita DBD tetap ada, tapi diusahakan terjadi penurunan,” ujar Syawaluddin.

Menjauhnya kasus busung lapar di Kota Tebingtinggi, diakui Kepala RSUD Dr.H.Kumpulan Pane Dr.H.Vive Kananda, Sp.THT, di mana sepanjang 1,5 tahun masa tugasnya tidak ada satu pun kasus busung lapar yang ditangani rumah sakit itu. “Tidak ada kasus itu yang masuk ke sini,” ujar Vive Kananda, saat hal itu dikonfirmasi kepadanya. Dia, mengakui pananganan di tingkat kelurahan, khususnya unit-unit PKK dan Posyandu berjalan baik dan berhasil. Menurut Kananda, kasus busung lapar itu, lebih pada keteledoran terhadap perkembangan anak. Baik keteledoran keluarga, maupun keteledoran petugas kesehatan.

Terkait hal itu, sejumlah Camat yang dikonfirmasi, mengakui tidak ada kasus busung lapar atau gizi buruk ditemukan diwilayahnya. Camat Tebingtinggi Kota Sri Imbang Jaya, AP, MSi, mengatakan sepengetahuannya tidak pernah ditemukan ada warganya yang mengalami busung lapar atau gizi buruk. “Seingat saya ada kasus kurang gizi di Kel. Bandar Utama tahun 2008. Tapi segera ditangani. Sesudah itu tak ada lagi,” kata dia.

Pengalaman sama dirasakan Camat Bajenis Muhammad Fahri, S.STP, di mana selama dua than bertugas, tak ditemukan ada warganya yang mengalami busung lapar atau gizi buruk. “Memang kalau kurang gizi pada Balita ada,” ujar Fahri. Tapi, biasanya setelah diketahui segera mendapat penanganan melalui pemberian makanan tambahan oleh PKK di Posyandu, tandas dia.

Menjauhnya busung lapar dan gizi buruk di Kota Tebingtinggi, harus diakui merupakan keberhasilan atas program kesehatan yang digulirkan Walikota Tebingtinggi Ir.H.Abdul Hafiz Hasibuan selama dua periode kepemimpinannya.Prestasi itu, meski dipertahankan, sehingga Kota Tebingtinggi nantinya tidak mengalami petaka lost generation yang sangat ditakuti oleh suatu bangsa. Semoga saja…

RUANG ANAK : Ruang anak RSUD Dr.H.Kumpulan Pane Kota Tebingtinggi menjadi salah satu fasilitas kesehatan untuk menghindari terjadinya busung lapar atau gizi burik pada anak di kota itu. Foto direkam belum lama ini.

Post a Comment for "Busung Lapar? Jangan Sampai Terjadilah Di T.Tinggi"