10 Tahun Ke Depan, Bakteri E-Coli Mengancam Warga T.Tinggi
Bakteri E-Coli, dikenal sebagai bakteri yang berasal dari kotoran manusia alias tinja. Bakteri dengan nama asli Escherishia Coli itu merupakan bakteri speises utama dari bakteri gram negatif. Bakteri itu ditemukan oleh Theodore Escherich, biasanya hidup pada kotoran manusia alias tinja. Mereka yang dimasuki bakteri itu, akan mengakibatkan diare, muntah berak (muntaber) dan penyakit pencernaan lainnya.
Penyebaran bakteri e-coli terutama terjadi pada pemukiman padat di perkotaan yang sarana sanitasinya buruk. Jakarta merupakan kota yang sudah mengalami ancaman bakteri e-coli. Dari penelitian di Jakarta Barat, sekira 60 persen air di daerah itu diperkirakan sudah tercemar bakteri itu. Beberapa daerah di kota besar dan kota-kota lainnya, hal sama juga terjadi.
Lalu bagaimana dengan Kota Tebingtinggi? Diperkirakan dalam 10 tahun ke depan, kota lintasan itu juga akan mengalami nasib yang sama. Jika tidak dilakukan penanganan terpadu dan lebih awal oleh pemerintah kota bersama masyarakat. Bayangkan saja, dengan jumlah penduduk sekira 141 ribu jiwa lebih, saat ini, produksi tinja warga kota itu per hari mencapai sekira 3,5 ton. Perkiraan itu berdasarkan hasil riset, bahwa setiap orang umumnya memproduksi tinja antara 250 gram hingga 300 gram per hari. Jika produksi itu dikalikan dengan jumlah penduduk, maka itulah hasilnya. Hal yang membuat merinding, ternyata dari setiap 1 gram tinja terdapat 100 juta bakteri hidup yang siap melakukan penetrasi. Bayangkan, berapa jumlah bakteri e-coli yang hidup dalam tinja sebanyak 3,5 ton per hari. Itulah problema terbesar kesehatan yang akan dihadapi kota ini.
Ancaman itu, nyatanya belum pernah terpikirkan. Jumlah kumulatif tinja sebanyak 3,5 ton itu, saat ini keadaannya tanpa dikelola sama sekali. Umumnya tersimpan dalam septic tank keluarga yang masih manual. Selebihnya, tinja itu mencemari tanah, drainase dan sungai. Syukur saja, hingga kini lingkungan masih mendaur ulangnya secara alamiah. Jika nanti lingkungan sampai pada titik jenuh, diperkirakan kasus Jakarta hanya tinggal menunggu waktunya.
Buruknya masalah sanitasi di inti kota, sudah diakui Kadis Kebersihan dan Pertamanan Kota Tebingtinggi Syaiful Fachri, SP, MSi, saat berbincang dengannya, Senin (18/1). Menurut Fachri, buruknya kondisi sanitasi di inti kota, terutama menyangkut limbah rumah tangga, meliputi air buangan cucian dan masak, kotoran tinja dan sampah keluarga. Kemudian drainase yang buruk dan tidak sesuai standard serta sampah yang penanganannya dalam skala terbatas dan tidak tuntas. Semua limbah itu, umumnya dibuang ke badan sungai, terutama sungai Bahilang dan Padang. “Bayangkan jika tinja dibuang langsung ke sungai,” ungkap Alumni S2 PWD USU itu..
Seiring dengan perkembangan kota serta tingkat hunian yang terus naik, maka penanganan persoalan lingkungan, kata Fachri, sudah harus mulai dipikirkan secara terpadu dan sistemik. “Semua limbah itu mesti dikelola agar tidak menimbulkan efek negatif tapi berdampak positif,” tegas dia. Salah satu pemikiran yang tengah digodok adalah pembuatan limbah komunal ditengah kota berpenduduk padat.
Fachri, menyontohkan proyek limbah komunal itu harusnya dimulai di komplek perumahan. Misalnya, sudah ada beberapa sanitasi masyarakat alias Sanimas pada beberapa lingkungan padat penduduk sebagai pilot project, misalnya di Kel. Lalang, Bandar Utama dan Satria. Menyusul di Kel. Mandailing dan Durian.
Masalah lain muncul, kata dia, saat ini pertumbuhan real estat di Kota Tebingtinggi, semakin tinggi. Tentu saja, pembangunan komplek perumahan harus memenuhi standard hunian sehat dan ramah lingkungan, sesuai ketentuan yang ada. Salah satunya, bagaimana pihak pengembang mengelola limbah mereka. Namun diakui, hingga kini tidak ada satu pun pengembang di Kota Tebingtinggi yang coba memperhatikan penanganan limbah rumah tangga itu.
Tidak hanya menyangkut hunian, problem lingkungan perkotaan juga akan semakin komplek, seiring dengan laju pertumbuhan kehidupan warganya. Penataan lingkungan yang mengabaikan aspek keberlanjutan (sustainability) sering terjadi di perkotaaan, akibat tidak adanya policy yang serius terkait itu.
Harus diakui, hingga kini Kota Tebingtinggi belum memiliki Perda terkait dengan lingkungan hidup. Padahal, persoalan lingkungan semakin hari kian membesar. Pertumbuhan sektor jasa dan perdagangan yang ada di Kota Tebingtinggi, ternyata tidak didukung dengan adanya ketentuan untuk pelestarian lingkungan. Lebih parah lagi, secara struktural, persoalan lingkungan hidup hanya ditangani instansi setingkat kantor dengan posisi eselon III. Tiadanya regulasi terkait lingkungan hidup dan lemahnya kelembagaan birokrasi, ternyata dalam beberapa tahun ini telah berdampak luar biasa.
Salah satu dampak yang dirasakan saat ini adalah pencemaran massif yang dilakukan berbagai perusahaan terhadap sungai yang melintasi inti kota. Tanpa beban, para pengusaha itu membuang limbah dari kegiatan mereka ke badan sungai. Padahal, jelas-jelas perbuatan itu melanggar undang-undang. Terdapat puluhan perusahaan di dalam kota yang membuang limbah mereka ke badan kedua sungai itu. Hal sama, juga dilakukan masyarakat yang seenaknya melakukan tindakan merusak lingkungan, tanpa takut mendapat hukuman.
Lebih parah lagi, Kota Tebingtinggi dalam dua dekade belakangan telah kehilangan ribuan pohon, terutama aneka pohon buah-buahan yang dulu sempat menjadi icon kota. “Kota Tebingtinggi, selain dikenal sebagai kota lemang, dulunya juga berpredikat sebagai kota sawo, rambutan dan manggis,” kata Sulaiman, 65, warga Kampung Sawo, Kel. Bandar Sakti, Kec. T.Tinggi Kota. Dikatakan, sekira 20 tahun lalu, kualitas sawo dan manggis Tebingtinggi sangat baik dan digemari mereka yang datang ke kota itu. Bahkan, dulunya ada kebun sawo mencapai puluhan hektar hingga dikenal sebagai kampung sawo, kata warga itu. Buah rambutan Tebingtinggi juga dulunya tidak kalah dengan rambutan Binjai, kenang orang tua itu. Tapi kondisi saat ini terbalik, banyak warga kota yang harus membeli sawo, mangga dan rambutan dari daerah lain.
Revitalisasi Kelembagaan
Mencermati persoalan itu ke depan, sudah saatnya Pemko Tebingtinggi, berpikir progresif terkait penanganan dan penataan lingkungan hidup perkotaan. Sebelum semuanya terlambat. Penanganan dan penataan yang baik tidak hanya akan menyelamatkan lingkungan kota dari kehancuran, bahkan bisa melahirkan dampak positif dalam bentuk peningkatan pendapatan asli daerah.
Salah satu langkah terpenting, adalah melakukan revitalisasi kelembagaan, dalam bentuk menaikkan status Kantor Lingkungan Hidup menjadi Badan Lingkungan Hidup. Status itu sangat penting, karena perubahan kelembagaan itu akan meningkatkan kinerja dan tanggung jawab kelembagaan. Terutama dalam upaya peningkatakan penataan dan pengawasan terhadap lingkungan hidup.
Kepala Kantor Lingkungan Hidup Ir. Leo Lopulisa H, MSi, Senin (18/1), menyambut baik pemikiran jika lembaga yang dipimpinnya dinaikkan statusnya dari kantor menjadi badan. Menurut dia, status kantor untuk penanganan lingkungan hidup, mengakibatkan panjangnya birokrasi dalam menangani persoalan yang ada. Padahal, berbagai kasus terkait LH intensitasnya setiap hari terus meninggi dan penanganannya menuntut kesegeraan. Dia, menyontohkan bagaimana banyak perusahaan yang mencemari sei Bahilang dan Padang, seringkali memandang aparat lingkungan sebelah mata. “Sukur saja, ada komitmen media massa mendukung, kalau tidak kita tak berkutik,” ungkap Alumni S2 PSL USU itu.
Selain itu, kata dia, dengan status kelembagaan sekarang ini, seringkali terjadi kelemahan koordinasi antar instansi. Saat ini, kata Lopulisa, untuk pengeluaran surat ijin di KP2T, aspek lingkungan dipandang tidak penting. Kalau pun ada hanya didelegasikan ke dinas tertentu. Padahal, dasarnya ketentuan ijin gangguan (HO) misalnya, sangat erat kaitannya dengan lingkungan. Dengan dinaikkannya status dari kantor menjadi badan, maka kewenangannya akan menjadi besar. “Kita berani mengatakan, dari lingkungan hidup ini akan bisa mengjhasilkan PAD yang besar,” tegas Lopulisa.
Selain revitalisasi kelembagaan, tuntutan pembuatan Perda Lingkungan Hidup tidak bisa lagi ditunda-tunda. Salah satu contoh mendesaknya kehadiran Perda itu, adalah kecenderungan sejumlah dinas yang membuat rencana strategis (Renstra) mereka berkaitan dengan pelestarian LH. Dinas Pendidikan, misalnya dalam Renstra Pendidikan 2010-2015 mereka, memberikan perhatian serius terhadap pelestarian LH. Misalnya, pembentukan green school (sekolah hijau) Demikian pula dengan dinas-dinas lain.
Jika saat ini, posisi untuk menangani kebersihan dan keindahan sudah berstatus dinas, melalui Dinas Kebersihan dan Pertamanan. Maka akan jadi sinkron jika persoalan lingkungan hidup ditangani lembaga berstatus badan. Persoalan revitalisasi kelembagaan dan pembuatan regulasi lingkungan, harus menjadi pekerjaan rumah bagi kandidat pasangan walikota Tebingtinggi periode 2010-2015. Dan siapa yang peduli dan mengerti dengan persoalan itu, tentu saja ada pada sosok teknokrat. Ke depan, hal itu akan menjadi penilaian tersendiri bagi masyarakat apakah Pemko Tebingtinggi punya kepedulian yang tinggi terhadap lingkungan hidup atau cuma lip servis belaka. Masyarakat menunggu langkah itu.
IPAL PERCONTOHAN : Instalasi pengolahan limbah rumah tangga milik Rusunawa Tebingtinggi, bisa jadi pilot project menjaga pencemaran dari limbah rumah tangga. Fasilitas bernama ‘Biotechnology System’ itu hanya senilai Rp300 juta per unit. Foto direkam, Kamis (21/1).
Post a Comment for "10 Tahun Ke Depan, Bakteri E-Coli Mengancam Warga T.Tinggi"