----iklan---- Memimpikan Anak Tebing Di Altar Oxford Dan Cambridge University - JEJAK KHALIK
Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Memimpikan Anak Tebing Di Altar Oxford Dan Cambridge University




Jika Anda pernah membaca novel tetralogi ‘Laskar Pelangi’ karya Andrea Hirata. Dalam karya masterpiece itu, tokoh utama Ical, anak pedalaman Pulau Belitung yang ayahnya cuma buruh di pertambangan timah, ternyata mampu menjejakkan kakinya di altar suci Sarbonne University Paris, Perancis. Ical menapaki semua cita-cita itu, dimulai dari mimpi-mimpi serta perburuan cintanya pada amoy sekampungnya yang menjadi inspirasi petualangannya.

Tak banyak orang mampu seperti Ical. Seorang anak kampung, dengan selaksa tekad didada, mampu menjejakkan kakinya di kampus terkenal Eropa itu. Sarbonne University yang berada di jantung Paris, merupakan salah satu tempat yang jadi laboratorium peradaban modern. Ical, kini menjadi inspirasi banyak orang, betapa untuk menembus pusat peradaban dunia itu, orang terlebih dulu harus punya mimpi

Usai membaca novel terkenal itu, sempat terpikirkan awak, jika anak pulau terpencil saja bisa berdiri di altar suci perguruan tinggi prestisius Eropa itu, adakah anak Kota Tebing Tinggi yang kelak mampu menjejakkan kakinya altar sains Oxford atau Cambridge University? Inilah dua perguruan tinggi kelas dunia di Amerika dan Inggris yang telah malang melintang sebagai pusat peradaban sains abad modern.

Lebih dari satu jam awak melacak di mesin pencari google, apa mungkin ada anak Tebing di sana. Tapi sia-sia, karena belum ada satu pun anak kelahiran Kota Tebing Tinggi yang mampu menjejakkan kakinya, di dua perguruan tinggi itu. Malah, mungkin hal itu belum pernah terpikirkan, baik oleh para pengambil kebijakan di Dinas Pendidikan maupun di kalangan orang tua siswa.

Padahal, kesempatan untuk bisa menimba ilmu di perguruan tinggi kelas dunia itu, telah terbuka lebar dengan keberadaan sekolah bertitel RSBI (Rintisan Sekolah Berstandard Internasional) di SMAN 1 Kota Tebing Tinggi. Tahun ajaran 2009-2010 ini, usia RSBI SMAN 1 telah menapak tahun ketiga. Artinya, pada tahun ini pula, alumni pertama dari kelas RSBI itu menyelesaikan studinya.

Niat untuk mengarah ke sana, sebenarnya telah muncul dalam pikiran Kasek SMAN 1 Drs. M. Syarif, MPd, MSi. Hal itu terungkap, saat berbincang. Kamis lalu, di ruang kerjanya. Namun, tak ada jawaban dari siswa, ketika niat itu dilontarkan. “Mereka diam saja,” kata Syarif. Kasek itu, mengajukan tawaran pada siswanya untuk mengikuti ujian SBI yang dilaksanakan beberapa perguruan tinggi elit dunia, di antaranya Oxford dan Cambridge University. Ujian SBI itu, merupakan salah satu persyaratan untuk bisa menjadi mahasiswa di sana.

Dikatakan, siswa RSBI yang duduk di kelas III saat ini berjumlah 64 orang dan secara akademis mereka memiliki kemampuan sebagai siswa bertaraf internasional. Jika mereka disertakan dalam ujian SBI itu, Syarif yakin, paling tidak akan ada 10 siswa RSBI yang mampu menghadapi soal-soal ujian itu. “Dari semuanya, saya yakin 20 persen di antaranya akan lolos,” kata dia. Itu sebabnya, diamnya mereka ketika tawaran itu diajukan, bukan berarti mereka tak mampu. Ada kendala teknis yang mereka hadapi dan itu membutuhkan penyelesaian.

Kendala teknis itu, aku Syarif, adalah soal biaya dalam mengikuti ujian SBI. Di mana dana yang dibutuhkan untuk itu sangat besar jika diukur dengan pendapatan rata-rata wali murid di kota itu. Untuk satu mata ujian SBI dibutuhkan dana Rp2 juta. Padahal, ada lima mata ujian wajib SBI, yakni matematika, bahasa Inggris, kimia, fisika dan biologi. Dengan demikian, biaya wajib yang harus dikeluarkan mencapai Rp10 juta. Belum lagi biaya lain tak terduga. Pastilah nilai rupiah itu sangat besar dan wali murid akan berpikir untuk mengeluarkannya.

Kendala teknis itu pernah disampaikan ke Dinas Pendidikan, tapi belum terlihat respon serius dari pengambil kebijakan di sana. Andai saja, biaya untuk mengikuti ujian SBI itu bisa ditanggulangi melalui APBD Kota Tebing Tinggi, niscaya jalan menuju perguruan tinggi elit kelas dunia, akan terbuka selangkah. “Yang terberat, memang mengeluarkan uang cash. Pasti semua orang tua akan berpikir seribu kali. Tapi jika didukung dana Pemko, mungkin akan lain ceritanya,” terang Syarif.

Dukungan dana dari APBD Pemko Tebing Tinggi dalam membuka sekat-sekat peradaban memang harus segera dilakukan. Dorongan agar anak Tebing bisa bersekolah di perguruan tinggi elit dunia, meskinya dimulai dari sekolah dan mendapat dukungan penuh dari pengambil kebijakan di sektor pendidikan. Sinergi antar sekolah, wali murid dan Pemko Tebing Tinggi dalam membuka sekat psikologis dan financial pada siswa pribumi sangat diperlukan dalam hal ini.

Jika kita mau jujur, andai upaya itu dimulai pada tahun ini, sebenarnya kita telah terlambat satu dekade lebih, dibanding beberapa perguruan swasta, khususnya dari kalangan etnis Tionghoa. Banyak dari siswa-siswi perguruan swasta yang dikelola etnis Tionghoa, telah melangkah jauh dengan mengarahkan siswa mereka untuk bersaing meraih kursi di perguruan tinggi elit dunia. Tidak mengherankan, jika kini anak Tionghoa dari berbagai kota di Sumut, telah menjangkau berbagai perguruan tinggi elit di Singapura, Malaysia, Jepang, Korea, Taiwan, Australia, Selandia Baru, bahkan hingga ke Amerika, Inggris dan Prancis.

Pun demikian, pepatah mengatakan ‘lebih baik terlambat ketimbang tidak sama sekali.’ Pepatah itu, bisa menjadi tolok ukur bagi semua kalangan yang terlibat dalam pendidikan anak Tebing. Adanya RSBI di SMAN 1, meskinya tidak dibiarkan berlalu begitu saja. Tapi, harus menjadi salah satu sarana untuk membuka jendela dunia dengan merebut kursi-kursi akademik di altar sains perguruan tinggi elit dunia, seperti Oxford dan Cambridge University. Jika hal itu kesampaian, siapa bisa mengira bila kelak ada anak Tebing yang memimpin Indonesia di masa mendatang, sebagai hasil dari kerja kita hari ini. Semoga saja.

Post a Comment for "Memimpikan Anak Tebing Di Altar Oxford Dan Cambridge University"