----iklan---- Aspek Sosial Sungai Padang Dan Sejarah Pemanfataannya - JEJAK KHALIK
Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Aspek Sosial Sungai Padang Dan Sejarah Pemanfataannya




I. Pendahuluan

Mata air , laut dan sungai, adalah anugerah terbesar yang dititipkan Allah SWT kepada makhluknya di permukaan bumi. Betapa tidak, mata air, laut dan sungai dalam pemaknaannya yang hakiki, merupakan bagian terpenting dari perbendaharaan kenikmatan surga yang diberikan kepada makhluk yang beriman dan beramal sholeh, semasa di dunia. Ketika membicarakan surga, Allah tidak pernah meninggalkan kata mata air, laut dan sungai dalam firmannya, untuk menggambarkan kenikmatan tertinggi yang merupakan anugerah buat hambanya yang taat. Sehingga pantas, jika kita katakan mata air, laut dan sungai merupakan bagian surga yang dititipkan Ilahi di dunia ini.

Allah menggambarkan mata air, laut dan sungai, sebagai bagian dari taman firdaus, di mana jika tanpa kehadiran ketiganya, surga sebagai sumber kenikmatan akan kehilangan maknanya yang terdalam. Hasil penyelusuran penulis pada ayat-ayat Al Qur’an, menemukan beberapa hal mengagumkan. Dari sekira 6.634 ayat Al Qur.an, terdapat 154 ayat yang berbicara tentang mata air, 116 ayat berbicara tentang air, 55 ayat berbicara soal sungai dan 30 ayat yang berbicara mengenai laut.

Lebih dari itu, ketika Al Qur’an bicara tentang sungai yang terdapat pada 55 ayat kitab suci itu, sebanyak 27 ayat di antaranya berbicara tentang sungai dalam hubungannya dengan kenikmatan surgawi. Sebuah informasi yang mengagumkan bagaimana Allah mengistimewakan sungai dalam terminologi firmannya. Perhatikan salah satu di antara ayat yang berbicara tentang surga dan sungai, misalnya, Q.s. Al Maidah: 85. “Maka Allah memberi mereka pahala terhadap perkataan yang mereka ucapkan, (yaitu) surga yang mengalir sungai-sungai didalamnya. Dan itulah balasan bagi orang-orang berbuat kebaikan. (yang ikhlas dalan beriman).”

Memaknai sungai dalam pemahaman spiritual ini, menunjukkan betapa pentingnya sungai dalam kehidupan umat manusia. Tanpa sungai, bisa jadi bumi ini tak akan sempurna. Karena sungai hakikatnya merupakan sumber kehidupan dan keberlangsungan umat manusia di permukaan bumi. Sungai dengan air tawarnya, merupakan sumber minuman yang melepaskan manusia dari dahaga. Sehingga tanpa keberadaan sungai, salah satu kebutuhan terpenting manusia untuk bertahan hidup akan hilang dan manusia pada hakikatnya akan musnah. Air tawar, juga menjadi sumber kehidupan makhluk lain, khususnya di daratan. Maka bayangkan apa jadinya jika sumber air tawar itu mengering dan hilang dari permukaan bumi. Mengerikan !!!.


Sungai Padang, Ceritamu Dulu

Sungai Padang yang berhulu di Gunung Simbolon, Kab. Simalungun dan bermuara di Selat Malaka, merupakan salah satu sungai yang keberadaannya sangat penting dalam ranah kehidupan masyarakat di sekitarnya, selama berabad-abad. Sebagai ‘sepotong surga’ di dataran pantai timur Sumatera, keberadaan sungai Padang telah terdeteksi sejak adanya interaksi peradaban antar berbagai suku bangsa di masa lalu hingga era peradaban modern saat ini. Sungai Padang, semula bernama sungai Arau/Harau, telah berperan peting ketika dataran (Padang) dan perbukitan (Bukit Barisan) Sumatera (Utara) mulai dihuni manusia. Setidaknya, hunian manusia di sekitar dataran (Padang) dan perbukitan (Bukit Barisan) diperkirakan telah ada sekira Abad 5 M dengan terjadinya migrasi Proto Melayu (India Belakang) yang menghuni dataran di sekitar Selat Malaka. Kedatangan suku bangsa yang jadi nenek moyang berbagai etnis itu, diyakini menempati areal dataran luas mulai dari Sungai Wampu di Langkat hingga Sungai Asahan, di Asahan. Beberapa petunjuk untuk itu yang bisa jadi dasar, misalnya keberadaan Bukit Kerang di Langkat.

Se Abad kemudian, gelombang migrasi kedua muncul dengan kehadiran Deutro Melayu yang mendesak imigran pertama Proto Melayu. Desakan itu, memaksa imigran pertama yakni Proto Melayu memasuki wilayah pedalaman Sumatera. Perpindahan mereka dari dataran menuju perbukitan itulah, diyakini menggunakan aliran sungai sebagai jalur transportasi. Sealah satu di antara jalur transportasi penting di areal itu adalah sungai Padang, disamping sungai Wampu, Deli, Ular, Bah Bolon dan Asahan. Petunjuk keberadaan masyarakat awal di perbukitan bisa dilihat dengan adanya sejumlah peninggalan peradaban batu, di Simalungun. Salah satu di antara kerajaan tertua yang ada di Simalungun, yakni Kerajaan Nagur (diperkirakan berpusat di Nagaraja) berdiri sekira Abad 5 M.

Lebih ke ujung, sejarah pemanfaatan sungai juga terjadi sekira Abad 12 M, ketika Kerajaan Singosari di Jawa melakukan penaklukan di Sumatera, melalui ‘Ekspedisi Pamalayu.’ Than 1275. Prof.DR. Slamet Muljana dalam bukunya “Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa dan Tersebarnya Islam di Nusantara (2005)” mencatat sekira 1293 M, pasca runtuhnya Kerajaan Sriwijaya, seorang pembesar Kerajaan Singasari bernama Adityawarman diutus mendirikan kerajaan di Minangkabau berpusat di Pagaruyung. Sebelumnya di Sumatera telah ada dua kerajaan Hindu, yakni Darmacraya di Jambi dan Kerajaan Palembang.

Ketika Singasari runtuh dan digantikan Kerajaan Majapahit, ketiga kerajaan itu tunduk ke Majapahit. Tapi, ada salah seorang panglima Singasari yang menduduki muara sungai Asahan bernama Indrawarman tak mengakui kekuasaan Majapahit. Panglima yang membangkang itu bersama pengikutnya kemudian menyingkir ke pedalaman Simalungun dan mendirikan Kerajaan Silau (Silo) dengan pelabuhannya utama bernama Indrapura (sekarang kota di Batubara). Indrawarman kemudian berinteraksi dengan tetua penduduk yang telah ada di wilayah itu, bermarga Siregar.

Selama Kerajaan Silau berdiri, sebanyak tiga kali Patih Gajah Mada mengirimkan ekspedisi penaklukan ke Simalungun, sekira tahun 1389 M. Kali pertama, Kerajaan Silau hancur dan Indrawarman gugur. Namun keturunannya kemudian mendirikan dua kerajaan yakni Kerajaan Dolog Silau dan Raya Kahaean. Sedangkan di atas reruntuhan Kerajaan Silau berdiri pula Kerajaan Tanah Jawa.. Pada ekspedisi ketiga, buku sejarawan UGM itu mencatat, bala tentara Majapahit menyusuri sungai Padang untk menaklukkan Kerajaan Raya, dan sungai Ular untuk menaklukkan Kerajaan Dolog Silau serta sungai Bah Bolon untuk menaklukan Kerajaan Tanah Jawa. Tapi gagal.

Sebabnya, ketika ekspedisi itu memasuki muara sungai Padang, mereka dihadang pasukan gabungan dari Kerajaan Pasai (Aceh), Dolog Silau dan Raya Kahaean di Bandar Khalifah, sehingga mereka kalah dan pulang. Demikian pula halnya ketika akan menaklukan Kerajaan Dolog Silau, mereka mengalami kekalahan di Kota Galuh, Serdang, sedangkan upaya menaklukkan Kerajaan Tanah Jawa, ekspedisi Majapahit itu tertahan di Perdagangan.(Tuanku Rao, 1973).

Sejarah juga mencatat, di sepanjang sungai Padang ada dua kerajaan yang pernah tumbuh dan berkembang serta memiliki sejarahnya sendiri di masa lalu, yakni Kesultanan Bandar Khalifah berada di muara sungai serta Kesultanan Padang berada di hulu sungai. Sedangkan Kerajaan Raya yang berada di perbukitan Simalungun menjadikan sungai Padang sebagai jalur transportasi perdagangan hasil bumi mereka.

Dari catatan buku ‘Sejarah Berdirinya Kerajaan Padang’ ditulis Putra Praja, kedua kerajaan itu merupakan taklukan kerajaan besar. Kesultanan Bandar Khalifah merupakan kerajaan yang berasal dari keturunan Kerajaan Darul Qamar di Aceh. Di mana salah seorang keturunan dari Kerajaan Darul Qamar bernama Baginda Saleh Qamar bersama pengikutnya mendirikan Kesultanan Bandar Khalifah di muara sungai Padang sekira Abad 15. Kesultanan itu, selain menjadi bandar perdagangan juga menjadi pusat penyebaran Islam. Di bandar itu banyak terdapat tempat persulukan yang dipimpin khalifah suluk. Itu sebabnya bandar itu disebut Bandar Khalifah.

Sedangkan Kerajaan Padang diperkirakan berdiri pada pertengahan Abad 16, merupakan keturunan dari Kerajaan Bandar Khalifah. Saat terjadi penyerangan Kerajaan Siak atas Kerajaan Deli, Kesultanan Bandar Khalifah turut dihancurkan. Beruntung salah satu keturunannya dilarikan ke hulu sungai dan dipelihara pihak Kerajaan Raya. Keturunan raja Kesultanan Bandar Khalifah itu bernama Tuan Umar Baginda Saleh Qamar. Dia, diberi marga Saragih oleh Kerajaan Raya dan mendirikan Kerajaan Padang, sekira tahun 1656 di Kampung Bajenis pinggiran sungai Padang.

Pasca keruntuhan Kesultanan Bandar Khalifah, Kerajaan Padang menjadi pengganti dari pentingnya sungai Padang. Sekira Abad 17 di masa Tengku Tebing Pengeran berkuasa, dia membangun satu pangkalan untuk perdagangan yang disebut dengan ‘pangkalan Tebing’ di muara sungai Bahilang. Keberadaan pangkalan itu sangat penting karena menjadi transit perdagangan hasil bumi. Jalur sungai Padang pada akhirnya dikunjungi berbagai suku bangsa dunia. Salah satu situs menggambarkan pentingnya sungai Padang, yakni vihara Mahadana di Kel. Tebing Tinggi Lama, Kec. T.Tinggi Kota. Vihara itu diperkirakan berdiri pada awal Abad 18. Salah satu peninggalannya yang hingga kini masih ada, yakni lonceng vihara dengan tahun pembuatan 1809. Pangkalan itulah yang disebut-sebut sebagai cikal bakal Kota Tebing Tinggi sekarang.

Di masa Kolomialisme Belanda, barulah peranan sungai Padang surut sebagai jalur transportasi, karena dibangunnya jalan penghubung di daratan untuk pembukaan perkebunan. Namun, upaya Belanda membangun jalan dan perkebunan, mendapat kecaman keras dari kerajaan-kerajaan di wilayah itu. Kerajaan Raya dibantu Kerajaan Padang misalnya pernah melakukan perlawanan terhadap pembukaan jalan dan perkebunan di dataran Padang dan Simalungun sekira tahun 1887. Salah satu perlawanan yang sengit terhadap kolonial, adalah Perang Raya dipimpin Tuan Rondahaim. Salah seorang keturunan kesultanan Padang gugur dalam Perang Raya, yakni Tengku Syah Bokar. Makamnya masih bisa dilihat di Afd. I Kebun Bandar Bejambu. Sedangkan pemimpin pasukan Kerajaan Raya juga gugur di tepian sungai Padang dikenal bernama Tobiyas dengan sebutan Panglima Dolog. Makamnya masih ada di areal Kebun Gn. Pamela.

Beberapa penutur, mengatakan penolakan keras terhadap pembukaan perkebunan di sekitar dataran Padang, disamping dipandang sebagai bentuk penjajahan terhadap tanah tumpah darah mereka, juga adanya kesadaran bahwa perkebunan akan mengakibatkan rusaknya alam. Karena selama ini, etnis yang mendiami dataran Padang sangat menjaga keharmonisan lingkungan. Dataran Padang, semula merupakan area persawahan serta perladangan sebagai lahan bercocok tanam untuk kebutuhan masyarakat. Sedangkan hasil hutan menjadi sumber mata pencarian tambahan yang diambil untuk dijual kepada pedagang. Tidak hanya itu, sungai juga menjadi sumber kehidupan, karena hasil sungai dalam bentuk ikan, udang menjadi sajian istimewa perjamuan masyarakat.

Salah satu sajian makan istimewa dari Kerajaan Padang dan Raya, disebutkan, yakni disediakannya jenis ikan jurung dan udang galah untuk perjamuan tamu kehormatan kerajaan. Kedua jenis lauk pauk itu, diambil dari sungai Padang yang kala itu memiliki persedian melimpah. Ikan jurung yang hidup di hulu sungai, hingga kini telah hampir punah habitatnya. Meski terkadang, penduduk di sekitar Sipispis masih menemukannya. Sedangkan udang galah, keberadaannya telah punah dan jarang ditemukan di aliran sungai Padang.

Saat ini, dalam hitungan sekira 2 Abad sejak adanya perkebunan di sekitar sungai Padang, aliran sungai mengalami kerusakan lingkungan yang sangat parah. Erosi lahan yang berlangsung masif telah mengakibatkan dasar sungai Padang mengalami pendangkalan hingga jutaan ton. Diperkirakan, penyebab utama dari pendangkalan itu, adalah akibat terjadinya replanting yang berlangsung dalam kurun waktu tertentu di berbagai perkebunan di sekitar aliran sungai Padang. Disamping pembukaan lahan tanpa pertimbangan keseimbangan alam, oleh masyarakat di sekitar sungai.

Buku M. Lah Husny, “Lintasan Sejarah Peradaban dan Budaya Melayu Pesisir Deli, Sumatera” (1978) mengungkapkan bahwa dulunya sungai Padang bisa dialiri kapal berbobot 30 ton hingga 10 Km ke hulu sungai. Bahkan, dengan sampan dan tongkang, sungai Padang bisa dilintasi hingga ke Bandar roli (sekarang Pabatu) dan Gn. Pamela untuk mengangkut minyak sawit.

Dengan kondisi yang sekarang ini, diperkirakan sungai Padang akan mengalami kepunahan total dalam tempo 1 Abad lagi jika tak ada upaya untuk melakukan perbaikan terhadap lingkungannya. Tanda-tanda ke arah kepunahan sudah terlihat jelas dalam kurun 30 tahun belakangan. Intensitas banjir yang tinggi setiap tahunnya, menjadi indikasi bahwa aliran sungai Padang sudah rusak dan mengalami pendangkalan parah.. Jika 30 tahun lalu, banjir hanya akan datang bila terjadi kondisi curah hujan luar biasa di hulu sungai. Tapi sekrang ini, dengan hujan beberapa jam saja di hulu sungai, luapannya mampu menggenangi wilayah di hilir sungai, khususnya Kota Tebing Tinggi. Sebagai contoh, untuk September 2009 saja, telah terjadi lima kali banjir dengan volume sedang dan kecil. Sedangkan banjir besar, berdasarkan pengalaman sebelumnya terjadi dalam kurun dua kali setahun.

Membalikkan Waktu

Kesadaran untuk membalikkan waktu ke masa lalu, mungkin hanya merupakan utopia. Tapi untuk mengembalikan kesimbangan lingkungan hidup, termasuk didalamnya sungai kembali ke masa lalu dan belajar dari sana, adalah kewajiban dan tugas prophetic. Semua kita menyadari, alam semesta termasuk didalamnya sungai bukanlah warisan nenek moyang kita dengan makna untuk dihabiskan. Tapi alam semesta ini, termasuk sungai merupakan titipan anak cucu kita, agar mereka bisa hidup nyaman di lingkungannya.

Sungai Rheins yang melintasi jantung London, Inggris, oleh banyak ahli lingkungan diakui sebagai contoh paling menarik tentnag sungai yang berhasil dikembalikan pada fungsinya semula, setelah mengalami kerusakan parah selama berabad-abad akibat Revolusi Industri. Kini sungai Rheins itu, menjadi kebanggaan masyarakat London. Tapi untuk bisa sampai pada kondisi seperti saat ini, mereka butuh waktu hingga 100 tahun.

Hemat kami, ada beberapa langkah yang harus dilakukan dalam upaya mengembalikan keberadaan sungai Padang seperti sedia kali, saat di mana sungai itu menjadi sahabat bagi manusia di sekitarnya. Pertama, saat ini telah tumbuh kesadaran di kalangan elit negara dan masyarakat tentang dampak pembangunan yang telah merusak lingkungan termasuk sungai. Kesadaran itu telah dilakukan dengan memperkuat UU Lingkungan Hidup seta berbagai perangkat pendukungnya. Kesadaran itu, semestinya diketuk tularkan kepada masyarakat untuk menjadikan lingkungan sungai sebagai sahabat. Langkah itu memerlukan pendekatan lintas dimensi dan tidak hanya menjadi ‘macan kertas.’

Kedua, sudah saatnya perusahaan-perusahaan yang selama ini menjadi sumber kerusakan lingkungan sungai, melakukan upaya-upaya recovery terhadap lingkungan sungai. Adanya ketentuan RSPO (Roundtable Sustainable Palm Oil) meskinya menjadi cemeti agar perusahaan perkebunan melakukan perbaikan lingkungan sungai dengan menyediakan dana yang cukup dalam CSR perusahaan.

Ketiga, masyarakat sekitar sungai yang selama ini sering menjadi ‘kambing hitam’ dan korban bencana sudah seharusnya diberikan kesadaran untuk turut serta melakukan langkah-langkah perbaikan kondisi sungai. Misalnya, menumbuhkan kepedulian untuk tidak membuang limbah rumah tangga ke sungai dan pindah dari jalur hijau, disamping melakukan gerakan reboisasi di bantaran sungai. Pemko Tebing Tinggi telah mulai melakukan kebijakan itu dengan membangun Rusunawa yang khusus diperuntukkan bagi warga di bantaran sungai. Meski belum diketahui hasilnya ke depan.

Penutup

Forum DAS Padang yang digagas kali ini, merupakan satu langkah luar biasa yang telah dilakukan instansi terkait. Dari pembentukan Forum DAS Padang ini, ada sebersit harapan bahwa kelak nasib sungai Padang tidak akan bernasib tragis dan menjadi beban alam serta sumber bencana bagi manusia, akibat kesalahan kita.

Dalam penutup makalah ini, kami mengingatkan satu ayat dalam Q.s. Al Isra : 44 berbunyi : “Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada didalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada satu pun melainkan bertasbih dengan memujiNya. Tapi kamu sekalian tak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dialah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.”

Jika alam semesta saja bertasbih memuji Allah, kenapa kita yang berada di permukaan bumi justru berbuat kemungkaran dengan melakukan perusakan atas ciptaanNya. Pantas lah jika kerusakan yang kita buat menjadi penyebab bumi marah, karena jengkel. Sehingga akhirnya bumi menumpahkan kemarahannya pada kita melalui bencana yang datang silih berganti. Gempa, banjir, longsor, kemarau, penyakit, semua merupakan bencana, karena bumi muak dengan maksiat yang kita buat dipermukaannya. Saatnya, kita bertaubat dan menata kembali alam dengan kesadaran dan keikhlasan pada Sang Khalik. Wallahu a’lamu bi as shawab.

* Tulisan ini, disampaikan pada acara Temu Forum DAS Padang di Emplasment Kebun Pabatu PTPN IV, Jum’at 16 Oktober 2009. Semua isi naskah merupakan tanggung jawab sepenuhnya dari penulis.

Post a Comment for "Aspek Sosial Sungai Padang Dan Sejarah Pemanfataannya"