----iklan---- Masjid Al Jihad, Bah Tonang, 5 Kali Pindah Pertapakan, 10 Tahun Tak Selesai Dibangun - JEJAK KHALIK
Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Masjid Al Jihad, Bah Tonang, 5 Kali Pindah Pertapakan, 10 Tahun Tak Selesai Dibangun




Menjelang bulan Ramadhan 1430 H, Masjid Al Jihad Dusun Sorba Bandar, Nagori Bah Tonang, Kec. Raya Kahaean, Kab. Simalungun, sedikit berbenah. Dinding masjid yang sebelumnya terlihat menghitam, dipoles dengan cat berwarna hijau. Lantai beranda masjid, dipasang keramik putih. Sedangkan pagar halaman masjid dibuat dari bambu.

Biaya pembenahan itu mencapai Rp4 juta, bantuan dari seorang Caleg parpol menjelang Pemilu 2009 sebesar Rp2,5 juta, sisanya berasal dari kas masjid. kata pengurus masjid Erwin Saragih, 40, saat diajak berbincang, Sabtu (29/8), di kediamannya yang sederhana.

Selama 10 tahun sejak dicanangkan pembangunannya, terang Erwin, pertapakan masjid itu telah berpindah lokasi hingga lima kali. Awalnya, pertapakan masjid terletak di perbatasan nagori, berupa langgar sederhana. Seiring dengan pertambahan pemukim muslim di nagori itu, pertapakan dipindah untuk mendapatkan areal lebih luas. Terakhir, diperoleh lahan seluas dua rante di Kampung Rawang hasil dari tukar guling dengan penduduk. Di atas lahan itulah masjid sekarang ini dibangun.

Biaya pembangunan masjid seluruhnya mengandalkan kekuatan umat Islam di sana. Meski ada juga bantuan dari warga muslim dari luar, namun tak seberapa. Seingat dia, hanya ada satu kali bantuan dari Bazda Kab. Simalungun sebesar Rp1 juta, setelah itu tak ada lagi perhatian. Pernah juga ada niat dari Bupati Simalungun memberikan bantuan Rp5 juta, tapi tak teralisir karena, proposal yang diminta untuk pencarian tak pernah dibuat panitia. Minimnya bantuan umat Islam terhadap pembangunan masjid itu, menyebabkan kondisi masjid hingga kini terlunta-lunta, terang Erwin.

Masjid Al Jihad merupakan satu-satunya sarana ibadah bagi 100 kepala keluarga muslim di nagori berjarak sekira 45 Km dari Tebing Tinggi. Penduduk nagori paling ujung dari Kec. Raya Kahaean dan langsung berbatasan dengan Desa Tinokkah, Kec. Sipispis, Kab. Sergai itu, dari keterangan warga, dihuni sekira 400 KK dengan komposisi pemeluk agama mayoritas non muslim. Warga muslim, sebagian besar merupakan buruh tani, terdiri dari berbagai etnis, mulai dari Jawa, Simalungun, Batak, dan Mandailing

Warga sepuh Nagori Bah Tonang, Sumardilah, 62, mengatakan umat Islam di nagori itu umumnya warga pendatang. Sumardilah dan suaminya M. Luluk merupakan orang Islam pertama yang datang ke nagori itu, sekira 1966. Sekira 1970 an dia bersama suaminya berniat mendirikan mushalla di lahan belakang rumah mereka. Namun, atas rembuk warga yang kala itu sudah bertambah jadi 10 KK, dibuatlah mushalla di perbatasan desa.

Kehidupan keagamaan umat Islam di daerah minoritas itu, seperti laporan-laporan sebelumnya dari beberapa nagori minoritas muslim, cukup memprihatinkan. Khusus di Nagori Bah Tonang keadaannya lebih runyam. Diperkirakan, karena berasal dari latar belakang suku yang berbeda, kerap pula terjadi perselisihan antar sesama warga muslim hanya karena perkara-perkara sepele. Perselisihan itu pula yang berakibat pada lemahnya persatuan di antara mereka.

Situasi itu, diperparah dengan lemahnya pemahaman keagamaan di kalangan mereka, akibat minimnya pendakwah agama. Kegiatan syi’ar agama, misalnya Isra mikraj atau maulid nabi, dalam dua tahun belakangan tidak lagi dilakukan. Perwiridan kaum bapak dan ibu, meski berlangsung setiap minggu, terpecah dalam beberapa kelompok. “Perwiridan bapak saja ada empat kelompok,” terang Erwin.

Perwiridan itulah yang jadi sarana silaturrahmi, tanpa ada penambahan pengetahuan agama. Sedangkan kegiatan keagamaan remaja, sejak lama kondisinya timbul tenggelam, kalau dibilang tak ada. Hal itu, diperparah dengan ketiadaan sarana pendidikan agama di nagori itu. MTs dan Aliyah, hanya ada di Desa Tinokkah, berjarak 7 Km dari nagori itu. “Kalau belajar Al Qur’an memang ada, tapi sebatas itulah,” cetus Erwin.

Minimnya pengetahuan keagamaan di kalangan remaja, menjadi salah satu penyebab terjadinya perpindahan agama, umumnya melalui perkawinan. Tahun 2009 ini saja, ungkap Erwin, telah terjadi dua perpindahan agama, akibat perkawinan beda agama. “Kebanyakan yang jadi korban perempuan,” tegas dia. Sedangkan tahun-tahun sebelumnya, hal demikian banyak pula terjadi.

Umat Islam yang terkonsentrasi di Dusun Sorba Bandar dan Kampung Rawang, karena kegiatan berkebunnya di lereng pegunungan Simbolon, berpengaruh pula terhadap semangat beribadah mereka. “Kalau maghrib dan isya tetap ada tapi sedikit,” aku Yetno, 32, warga yang tinggal berdekatan dengan Masjid Al Jihad. Sedangkan kegiatan-kegiatan yang menambah pengetahuan keagamaan, sama sekali tak ada.

Saat Ramadhan, kondisinya juga tak jauh berbeda. Tarawih paling banyak diisi dua shaf sekira 40 orang. “Kebanyakan anak-anak,” aku Yetno, yang pendidikan terakhirnya Aliyah. Jadwal imsakiyah juga tidak mereka miliki, sehingga hanya mengandalkan siaran radio saat akan berbuka maupun sahur.

Nasib umat Islam di Bah Tonang, ternyata tak jauh beda dari umat Islam lain di daerah-daerah minoritas. Secara umum kondisi mereka, lemah iman, miskin pemahaman keagamaan, kondisi ekonomi yang rentan serta pendidikan yang rendah. Mereka akan mudah menjadi santapan empuk permurtadan agama. Jika inilah persoalannya, harus ada upaya untuk mengentaskannya. Tugas itu kewajiban umat Islam keseluruhan. Ingatlah, Islam tak kan hapus dari dunia, tapi Islam bisa hapus dari Indonesia, jika kita tak peduli atas keberadaannya.

Post a Comment for "Masjid Al Jihad, Bah Tonang, 5 Kali Pindah Pertapakan, 10 Tahun Tak Selesai Dibangun"