Nagori Dolog, Simalungun Islam Ada Sejak Abad 18, Kini Mayoritas Dihuni Non Muslim
Jejak Islam di Nagori Dolog, Kec. Silau Kahaean, Kab. Simalungun, berdasarkan data di batu nisan pekuburan keluarga, telah ada sejak dua ratus tahun sebelumnya. Bahkan, penganut Islam di sana merupakan tuan nagori (raja) bermarga Purba Tambak yang membuka dan memerintah daerah perbukitan itu. Malangnya, kejayaan Islam di daerah itu tinggal kenangan, karena kini mayoritas penduduknya merupakan warga non muslim.
Umat Islam di Pekan Nagori Dolog dan sekitarnya, saat ini diperkirakan hanya berjumlah 80 kepala keluarga dari 500 KK. Mereka tersebar dalam radius antara lima hingga 12 Km dari ibu kota Kec. Silau Kahaean itu. Sebagian kecil mendiami beberapa nagori di sekitar ibu kota kecamatan. Umumnya, warga etnis asli Simalungun yang telah menganut Islam secara turun temurun. Selebihnya, warga pendatang dari suku Jawa, Batak dan Mandailing. Khusus di Pekan Nagori Dolog, jumlah umat Islam berkisar 60 KK.
Di ibu kota kecamatan, hanya ada satu unit rumah ibadah, yakni Masjid Al Jihad, terletak berhadapan dengan kantor camat setempat. Pertapakan masjid, terang Ketua BKM Al Jihad Sumudi, Minggu (30/8), merupakan wakaf dari keturunan Tuan Nagori Dolog bernama Djaberang Purba Tambak, sekira 1964. Sejak saat itu, umat Islam bergotong royong selama puluhan tahun membangun masjid. Saat ini, kata dia, kondisinya cukup baik sebagai tempat ibadah. Terakhir sebelum Ramadhan, pagar masjid dibangun dari bantuan umat Islam diluar daerah.
Di beberapa nagori sekitar pekan terdapat langgar (mushalla) dengan jumlah umat Islam terbatas. Malah pada dua nagori ada yang jumlahnya cuma 2 dan 1 KK. “Kondisi mereka memang memprihatinkan,” aku Sumudi. Beberapa bulan lalu, ungkap dia, ada warga yang anaknya pindah agama, karena perkawinan. “Dia tak bisa menyelamatkan anaknya, karena di kampung itu cuma dia sekeluarga yang muslim,” ungkap tokoh agama itu. Kondisi itu, hingga kini terus terjadi. Sumudi yakin, jika tak ada perhatian terhadap umat Islam di Nagori Dolog dan sekitarnya, dalam hitungan sepuluh tahun ke depan, mungkin Islam akan lenyap dari daerah itu.
Keberadaan Islam
Keberadaan Islam sendiri telah ada di nagori itu, sekira abad 18 dan 19. Terbukti dengan adanya batu nisan bertuliskan nama raja-raja yang menjadi dipertuan Nagori Dolog Sipukah Huta (pembuka kampung). Pada satu nisan di pekuburan keluarga, bersebelahan dengan Masjid Al Jihad, ada tulisan nama enam tetua marga Purba Tambak beragama Islam, masing-masing Tuan Tahi Purba Tambak, Tuan Jagam Purba Tambak, Tuan Alam Raja Purba Tambak, Tuan Naek Purba Tambak, Tuan Pulou Purba Tambak dan Tuan Djohan Purba Tambak.
Kemudian, ada lagi Tuan Nagori Dolog beragama Islam bernama Djoralim Purba Tambak, yang lahir 1865 dan meninggal 1 Desember 1925. Dikomplek pekuburan itu, terdapat juga sejumlah nisan keturunan dari tuan Nagori Dolog itu. Bahkan, ada pula anak boru Nagori Dolog beragama Islam bermarga Sinaga, bernama Gr. Mhd. Jamil Sinaga, meninggal 1993.
Lamanya keberadaan Islam, ternyata tak menjamin perkembangannya. Terbukti di daerah itu, Islam gagal mengembangkan diri. Dari beberapa warga, ada dugaan, itu terjadi karena stigma yang sengaja dipertahankan kalangan tertentu terhadap daerah itu. Sejak dulu, ada stigma bahwa Nagori Dolog merupakan daerah racun. Dimana setiap pendatang yang tak disukai akan segera menemui ajal, karena terkena racun. Stigma itu melekat sampai kini dan diduga menjadi penghalang para mubaligh ke sana. Entah benar dugaan itu, hingga kini tak ada satu pun Ormas Islam, seperti Muhammadiyah, Al Washliyah, NU atau Ormas lain yang beraktifitas di sana. Padahal, stigma itu dibantah Sumudi. “Kalau dulu itu mungkin, tapi sekarang sudah tak ada lagi,” tegas dia..
Hal yang berbeda, ternyata muncul di permukaan, di mana penyebaran Kristen demikian pesat di sana. Kini, Kristen yang masuk ke Nagori Dolog lebih belakangan, telah di anut 80 persen warga Simalungun. Berbagai sekte Kristen mulai dari yang resmi hingga sempalan (apostolik) tumbuh subur. Sementara umat Islam yang minoritas terus terancam, karena ketiadaan pembimbing agama yang datang. Saat ini, masih ada umat Islam yang memproduksi tuak (minuman tradisional memabukkan) tanpa merasa bahwa itu dilarang agama. Beruntung, keyakinan mereka masih kuat. “Soal itu mereka kuat. Jangan dibilang tidak Islam, mereka marah. Tapi kalau pengamalan lain ceritanya,” ungkap bilal mayit yang menangani lima nagori itu.
Lemahnya pemahaman agama terlihat juga dari minimnya pengamalan ibadah di kalangan warga. Misalnya, sholat berjamaah hanya diikuti sedikit warga. “Kalau sholat Jum’at paling banyak dua shaf, sekitar 20 orang,” kata Sumudi. Sedangkan sholat Maghrib maupun Isya, meski tetap ada, tapi hanya dilakukan tiga hingga lima orang saja. Bahkan, sholat Shubuh tak pernah ada di masjid itu. Yang paling ramai, biasanya pada sholat hari raya, hingga meluap ke halaman, kata dia.
Di bulan Ramadhan, kondisi serupa tetap saja berlangsung. Untuk berbuka puasa, umat Islam mengandalkan siaran radio dari Tebing Tinggi yang berjarak 58 Km dari sana. Demikian juga dengan sahur. Sedangkan sholat tarawih dilaksanakan 11 rakaat, dengan jamaah yang kian malam kian menciut. Inilah nasib umat Islam di sana, sudah sedikit, lemah pula dalam pemahaman agamanya.
Diakui, sekira 1970 an gairah beragama sempat muncul, dengan kehadiran seorang guru pendatang dari Tebing Tinggi yang menghidupkan syi’ar Islam di daerah itu. Guru Maksum begitu warga menyebutnya, melakukan berbagai kegiatan keagamaan, mulai dari khitanan massal hingga berbagai upacara keagamaan. Puncaknya, ingat Sumudi, guru Maksum diangkat menjadi KUA. Namun, usia pendakwah itu tak panjang dan meninggal pada umur masih muda. Sejak itu, gairah keagamaan di daerah itu menurun drastis.
Dalam situasi dan kondisi demikian, kedudukan kepala kantor urusan agama jadi panutan dan tempat bertanya terhadap persoalan keagamaan. Sayangnya, keluh Sumudi, keberadaan KUA seringkali bukannya kian mendekatkan umat pada ajaran agamanya, malah sering jadi sebaliknya. Bahkan, empat bulan terakhir Kepala KUA di kecamatan itu kosong, karena yang terakhir mengundurkan diri. “Sekarang kalau mau menikahkan, terpaksa harus memanggil KUA dari Sindar Raya,” keluh pria yang merantau ke Nagori Dolog sekira 1963 itu.
Saat ini, aku Sumudi, selain dirinya hanya ada dua orang tokoh agama bekerja sebagai guru agama Islam di SDN. Merekalah yang selama ini memberikan pembinaan melalui khutbah Jum’at, ceramah agama di perwiridan serta qiraah Al Qur’an kepada anak-anak muslim.
Diakhir perbincangan, Sumudi berharap agar umat Islam di daerah itu segera mendapatkan perhatian serius. Sejak lama, kata dia, ada keinginan agar madrasah bisa berdiri di sana. Tapi dengan jumlah umat Islam yang minim, harapan itu cuma utopia. “Mengajak mubaligh ke sini atau membangun madrasah kan perlu dana, dari mana mencarinya,” kata Sumudi. Ternyata, sejak lama Nagori Dolog telah hilang dari peta dakwah Ormas Islam. Jika nanti, Islam menghilang dari bumi Nagori Dolog siapa yang menanggung dosanya? Wallahu a’alamu bi shawab.
Post a Comment for "Nagori Dolog, Simalungun Islam Ada Sejak Abad 18, Kini Mayoritas Dihuni Non Muslim"