Ramadhan Di Bangun Raya, Jadwal Imsakiyah Pun Mereka Tak Punya
“Kalau mau buka (puasa) SMS dulu sama kawan di kampung lain.” Itulah ungkapan seorang remaja putri di Nagori Bangun Raya, Kec. Raya Kahaean, Kab. Simalungun. Warga minoritas Muslim di desa itu, menyambut bulan suci Ramadhan dengan keprihatinan, karena tak adanya perhatian. Bayangkan, hingga hari ke tiga Ramadhan, sekedar jadwal imsakiyah saja mereka tak punya.
Untuk sahur, umat Islam di nagori itu melakukan inisiatif masing-masing dengan mengandalkan dering jam pada waktu tertentu yang sudah distel. Pelaksanaan sholat tarawih juga hanya dilakukan secara terbatas berjumlah 11 rakaat. Setelah itu, dilakukan tadarrus oleh anak remaja dan kaum ibu hingga pukul 23.00. Tak ada ceramah agama, karena ustadz memang tidak ada.
Nagori yang berjarak sekira 45 Km dari Kota Tebing Tinggi serta sekira 25 Km dari Pematang Siantar itu, mayoritas berpenduduk non muslim. Dari 350 KK, hanya sekira 50 KK beragama Islam, dari berbagai etnis, yakni Simalungun, Mandailing, Jawa dan Batak. Keberadaan mereka di sana sudah turun temurun, terbukti dengan keberadaan komplek pekuburan dengan nisan berusia tua.
Di nagori yang berjarak sekira 1 Km dari Ibu kota Kec. Raya Kahaean Sindar Raya, umat Islam hanya memiliki satu unit rumah ibadah, yakni Masjid Nurul Iman. Masjid itu, didirikan pada 1982 dengan kondisi sederhana. Melalui bantuan dari berbagai pihak rumah ibadah satu-satunya itu berhasil direhab dan diperluas pada 1992. Hingga kini, masjid itu tak tersentuh bantuan lain dan kondisinya terlihat kumuh dan nelangsa.
Nasib Masjid Nurul Iman yang tak mendapat perhatian, seakan menggambarkan kondisi serupa yang dialami umat Islam di sana. Ketua BKM Nurul Iman Saidin Siregar, 53, mengakui keadaan itu. Saat diajak berbincang, Minggu (23/8), mengungkapkan betapa selama ini tak pernah ada bimbingan keagamaan terhadap mereka. “Sejak dulu yang namanya ustadz untuk kegiatan ceramah agama tak pernah ada,” kata Saidin Siregar yang telah Islam sejak masa neneknya. Anak-anak mereka hanya mendapatkan pengetahuan Islam dari sekolah, selain itu tak ada.
Demikian pula dengan lembaga pendidikan Islam, terasa menjadi barang mewah bagi anak-anak di sana. Untuk bisa sekolah di Ibtidaiyah, MTs atau MA anak-anak dan remaja muslim itu harus menempuh jarak hingga puluhan kilometer. Ada di antara mereka yang harus ke Kota Tebing Tinggi atau P. Siantar. Sementara rumah ibadah agama lain serta sarana pendidikannya, berdiri kokoh dengan kesan angkuh, menunjukkan kekuatannya. “Kadang kami sedih, keadaannya begini,” kata seorang remaja putri yang ikut dalam perbincangan itu.
Diakui, ketidak mampuan mengundang ustadz untuk mengisi pengajian di nagori itu, atau mendirikan lembaga pendidikan agama, karena memang kondisi ekonomi umat Islam, memprihatinkan. Sebagian mereka merupakan buruh tani, aku Saidin Siregar. Hanya sedikit di antaranya yang memiliki lahan perkebunan. Kondisi itu, berdampak buruk pada semangat beragama warga muslim di desa itu.
Saat pelaksanaan sholat Jum’at misalnya, paling tinggi jemaah yang datang sekira 15 orang. Bahkan, tak jarang sholat jum’at hanya diikuti 3 orang saja. Sedangkan khatib, karena keterbatasan pengetahuan hanya merujuk pada dua buku khutbah jum’at yang kondisinya sudah kusam, di makan masa. Sedangkan sholat Maghrib dan Shubuh berjamaah, keadaannya antara ada dan tak ada.
Upaya menghidupkan tradisi Islam hanya dilakukan melalui kegiatan perwiridan di kalangan kaum bapak, ibu maupun remaja. Perwiridan dilaksanakan satu kali dalam satu minggu. Wirid kaum bapak pada Kamis malam, kaum ibu pada Jum’at sore dan remaja Jum’at malam. Kegiatan perwiridan berlangsung sebagaimana umumnya, sama sekali tidak diiringi dengan ceramah agama. Pada hari-hari besar keagamaan, misalnya Isra Mikraj, Maulid Nabi, dengan dana yang dikutip per rumah, mereka bergotong royong melaksanakannya dengan memanggil ustadz dari tempat jauh. “Kadang dari Tebing, kadang juga dari Siantar,” kata Saidin Siregar.
Syukur saja, kondisi lemah itu tak dimanfaatkan kalangan lain untuk melakukan kegiatan pemurtadan. Hubungan antar penganut agama di nagori itu cukup harmonis. Hal itu terjadi, karena umumnya masih terkait dengan hubungan kekeluargaan. Kalau pesta, misalnya, warga non muslim akan menghormati warga muslim dengan menyediakan tempat khusus dan masakan yang dimasak orang Islam.
Meski demikian, diakui tingkat perkawinan beda agama sering terjadi di nagori itu. Keadaanya tergantung situasi, terkadang ada warga Muslim yang pindah agama, tapi ada juga warga non muslim yang masuk Islam. “Tergantung siapa yang kuat, kalau lemah, kalah,” kata seorang warga.
Dalam kondisi demikian, warga di nagori itu tetap berharap agar saudara sesama muslim di mana pun berada, bisa membantu mereka mempertahankan sepotong iman yang kian terancam. “Kami butuh sekolah Islam di sini, biar anak kami tak jadi bodoh,” harap Saidin Siregar. Tapi harapan itu siapa yang akan menyahutinya? Wallahu a’alamu bi as shawab.
Post a Comment for "Ramadhan Di Bangun Raya, Jadwal Imsakiyah Pun Mereka Tak Punya"