Jangan Sampai Sumpah (m)Bahilang Menjadi Kenyataan
Dahulu kala, pada sumber mata air sungai Bahilang berdiamlah seorang nenek dengan cucu laki-lakinya. Keduanya hidup dengan memanfaatkan air dan lingkungan sungai itu sebagai sumber rejekinya. Hingga belasan tahun kemudian si cucu pun beranjak dewasa. Namun, tak seperti perilaku sang nenek, sang cucu berbeda tabiatnya dalam melihat mata air dan sungai itu.
Ambisinya untuk menjadi penguasa kampung, menggerakkan si cucu membuka hutan di sekitar sumber mata air itu. Sang nenek, menasehati cucunya agar tidak merusak apa yang ada di sekitar mata air itu, karena sejak lama telah menjadi sumber kehidupan mereka. Boro-boro mendengarkan nasehat sang nenek, si cucu malah terus memperluas hunian seiring dengan kedatangan warga ke kampung itu. Si cucu pun menjadi raja di kampung yang dibukanya. Mata air yang mengalir jauh hingga ke pesisir, ternyata tak terpelihara dan menjadi rusak.
Kecewa dengan perilaku cucunya, sang nenek pun mengangkat sumpah. Kelak mata air itu akan hilang dan takkan memberi manfaat, tapi malah mendatangkan mudharat. “Biarlah bah (mataair/sungai) itu ilang (hilang) jika mereka merusaknya,” sumpah si nenek. Sumpah leluhur itu, tak pernah ditarik dan berlaku hingga kini.
Cerita di atas merupakan mitos yang hampir punah. Meski di kalangan sesepuh suku Simalungun di pinggiran Kota Tebing Tinggi dan sekitarnya, mitos itu pernah mereka dengar dari mulut ke mulut dan jadi i’tibar dari masa lalu. Sedangkan bagi generasi sesudahnya, mereka tak pernah sadar betapa makna ‘Bahilang’ mengisaratkan pesan mulia tentang pelestarian lingkungan sungai yang mengaliri inti kota yang mereka huni.
Tanda-tanda sumpah leluhur itu akan menjadi kenyataan, terus saja berkelebat dari tahun ke tahun. Sungai Bahilang akan hilang dan tidak memberikan manfaat tapi sebaliknya memunculkan mudharat, belakangan makin kasat terlihat. Pendangkalan dan penyempitan alur sungai, terjadi secara massif tanpa ada upaya pencegahan.
Perusakan daerah aliran sungai terus menerus dilakukan tangan-tangan penguasa maupun rakyat jelata. Kepunahan habitat air sungai Bahilang telah lama terjadi hingga tak menyisakan apapun yang bermanfaat bagi warga. Gantinya, limbah pabrik dan rumah tangga menjadi sumber petaka. Semua itu dilakukan tanpa beban dan rasa tanggung jawab pada lingkungan sungai yang sesungguhnya titipan leluhur untuk anak dan cucu kita di masa depan.
Kerusakan sungai Bahilang paling parah, terjadi dalam satu dekade terakhir. Nasib sama dialami sungai-sungai lainnya, seperti sungai Sigiling, Padang , Batuan, Kelembah, Sibarau dan beberapa anak sungai lainnya. Pertanyaannya, kenapa hal itu bisa terjadi? Jawabnya, karena Pemko Tebing Tinggi tak memiliki peraturan untuk melindungi sungai Bahilang dan sungai-sungai lainnya di kota itu, dari tindakan perusakan!
Perhatikan saja, hingga kini tak satu pun peraturan daerah dilahirkan dalam upaya pelestarian lingkungan hidup. Dalam 20 tahun terakhir Pemko Tebing Tinggi hanya sekali mengeluarkan Perda yang berkaitan dengan lingkungan hidup di masa Walikota Hj. Rohani Darus Daniel, yakni Perda No.9 Tahun 1992 tentang Kebersihan. Perda itulah yang kemudian menjadi salah satu sumber hukum dengan hasil tiga kali meraih piala Adipura sebagai kota sedang terbersih.
Hingga kini Perda usang itu tak pernah mengalami revisi. Bahkan, Perda dengan jangkauan terbatas itu, mati suri. Tak ada kemauan pemerintah kota mengaktualisasikannya seiring dengan kehadiran “jargon politik” baru bernama kota jasa, pendidikan, kesehatan dan UKM. Awal kepemimpinan Walikota H. Abdul Hafiz Hasibuan, pada struktur birokrasi Pemko Tebing Tinggi, persoalan lingkungan hidup hanya diurus pejabat setingkat Kasubbag di Bagian Perekonomian hingga 2005.
Kemudian, diperbarui dengan kehadiran Kantor Lingkungan Hidup Pertamanan dan Kebersihan, sekira dua tahun lalu. Kehadiran PP No.41 Tahun 2007, akhirnya memaksa Pemko Tebing Tinggi membentuk Kantor Lingkungan Hidup dan Dinas Pertamanan dan Kebersihan pada 2008 akhir. Namun, pada 5 Juni 2009 yang diperingati sebagai Hari Bumi, tak terlihat upaya -upaya tertentu yang dilakukan dua instansi baru itu.
Secara nasional, kehadiran UU Lingkungan Hidup sudah ada sejak 1982 dengan keluarnya UU No.4/1982 tentang Pokok-Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup Undang-undang itu kemudian diperbarui dengan keluarnya UU No.23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Ditambah puluhan peraturan setingkat menteri hingga gubernur. Tapi semua itu tak menjadi acuan selama 10 tahun terakhir hingga menimbulkan kesan ketidak pedulian pada lingkungan.
Nyatanya, ketidak pedulian selama itu, harus dibayar mahal. Kini, seluruh sungai besar dan kecil di kota itu mengalami deforestasi berat yang memilukan. Mungkin inilah ketidak pedulian tak terampuni yang bakal jadi tanggung jawab walikota saat ini. Karena, sisa jabatan yang tinggal 14 bulan lagi takkan mampu mengembalikan kondisi sungai yang telah sekarat itu.
Kondisi itu, diakui Sekdako H. Irham Taufik Umri, Kamis lalu, ketika diajak berbincang soal kondisi sungai dan ketiadaan Perda Lingkungan Hidup. “Memang itu yang selama ini terjadi,” kata Taufik. Namun, dia, mengatakan kehadiran Kantor Lingkungan Hidup dan Dinas Kebersihan dan Pertamanan akan jadi sentra kegiatan pelestarian lingkungan hidup nantinya. “Kita sudah berikan tugas kepada mereka untuk membuat Perda,” tegas Sekdako. (m)Bahilang hanya menunggu, benarkah anak cucunya punya kepedulian melestarikan titipan yang dia berikan kepada kita. Wallahu a’lamu bi ash shawab… Abdul Khalik
Post a Comment for "Jangan Sampai Sumpah (m)Bahilang Menjadi Kenyataan"