----iklan---- Mereka Mengayuh Mesin Jahit, Sekedar Bisa Hidup Dan Sekolah - JEJAK KHALIK
Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Mereka Mengayuh Mesin Jahit, Sekedar Bisa Hidup Dan Sekolah




Waktu menunjukkan pukul 17.00, saat matahari tinggal sepenggalahan di ufuk Barat. Wajah-wajah letih itu belum menyelesaikan pekerjaannya, karena memburu borongan yang mereka ambil hari itu. Beberapa pasang kaki mungil, terus mengayuh mesin jahit. Yang lainnya, masih saja memotong kain perca (sampah) yang berserakan di hadapan mereka untuk bahan jadi.

Empat remaja dan seorang anak kelas VI SD itu, merenda hari-hari ceria mereka dengan bekerja membuat keset kaki dari perca kain. Setiap hari sepulang sekolah, pekerjaan itu mereka laksanakan hanya untuk bisa bertahan hidup dan melanjutkan sekolah. Junida Ulfa, 12, siswa kelas VI SD bersama abangnya Prananda, 17, bahu membahu dengan tiga temannya Zulham Effendi, 14, siswa kelas III SMP, Sri Lestari, 17, kelas III Aliyah dan Khairul Bahri, 19, menyelesaikan borongan guna meraih upah hari itu.

Pendapatan dari kerja itupun tak seberapa. Untuk satu keset kaki yang mereka selesaikan hanya di upah Rp800. Paling banter yang bisa mereka selesaikan dalam setengah hari itu per orang, antara delapan hingga sepuluh buah saja. Sehingga paling tinggi mereka menghasilkan Rp8.000 untuk dibawa pulang. Bagi seorang anak, mungkin kita menilai upah senilai itu, wajar sebagai biaya jajan. Tapi, jika empat dari lima anak itu merupakan anak yatim yang menanggung beban keluarganya, kondisi upah itu menjadi riskan.

Prananda dan adiknya Junida Ulfa, warga Link.03, Kel. Lubuk Baru, Kec. Padang Hulu, Kota Tebing Tinggi sejak lama ditinggal sang ayah. Hal sama dialami Sri Lestari dan Khairul Bahri. Sejak kecil, bapak yang jadi penyangga hidup keluarga telah pergi menghadap Sang Khaliq. Ibu merekalah yang selama ini pontang panting menyuapi kehidupan mereka hingga remaja.

“Kami semua anak yatim, jadi harus bekerja,” kata Sri Lestari, Rabu lalu, saat diajak mengobrol bersama rekan-rekannya. Dengan bekerja sebagai pembuat keset kaki mereka tidak lagi merepotkan orang tua untuk kebutuhan sehari-hari dan sekolah. Malah, ketika ada kebutuhan keluarga yang mendesak, remaja itulah yang menjadi andalan keluarga masing-masing. Ulfa anak terkecil di antara mereka, mengaku enjoy saja menjalani hari-harinya. Perempuan kecil itu, mengaku tidak merasa pekerjaan itu telah merampas masa kanak-kanaknya. “Nggak biasa aja,” ujarnya, saat memberesi mesin jahit dan kain perca karena telah menyelesaikan borongannya.

Akan halnya Khairul Bahri yang telah dua tahun menyelesaikan pendidikan Aliyah, mengaku pekerjaan itu sebagai alternatif karena tak mampu kuliah disebabkan ketiadaan biaya. Sang ibu, mengatakan untuk menyelesaikan pendidikan remaja itu saja di salah satu Madrasah Aliyah Swasta, harus hutang sana-sini untuk biaya ujian. “Saya cuma bisa sampai di situ, kalau untuk kuliah tak terbayangkan,” kata ibunya.

“Mau kemana lagi, cari kerja pun tak dapat. Kerja ini sajalah dulu, nanti baru dipikirkan,” kata Bahri, yang bertugas memotong-motong kain perca untuk rekan-rekannya. Dalam hiruk pikuk menjelang pencontrengan Pemilu 2009, mereka mengaku keluarganya banyak didatangi Caleg. Tapi sekedar menawarkan amplop berisi uang dan meminta agar Caleg itu dipilih. Selebihnya tak ada.

Kelurahan Lubuk Baru, Kec. Padang Hulu, Kota Tebing Tinggi, sejak lama dikenal sebagai sentra pembuatan keset kaki. Sebagian besar penduduk di lingkungan itu membuat kerajinan keset kaki. Hasil pekerjaan mereka ditolak kepada pengumpul yang datang seminggu sekali. “Dari kampung ini, keset kaki yang ditolak bisa mencapai 20 kodi per minggu,” kata Suriati, 62, warga yang pertama kali membuka usaha itu, sejak 1987. Harga penjualan Rp2.500 per buah dan umumnya pengumpul yang datang. Keset kaki itu, diakui Suriati, sudah masuk ke swalayan dan mall. Hanya saja, usaha itu tak juga mengubah nasib mereka.

Kain perca sebagai bahan dasar keset kaki, diambil dari Medan. Perkilo kain perca berharga Rp2.600. Mereka mendatangi penjahit dan usaha konveksi yang tersebar di ibu kota provinsi itu, kemudian dibawah ke Tebing Tinggi. Begitu pun, produksi keset kaki itu tidak berjalan stabil, karena terbentur pada pasokan kain perca. Umumnya, pembuat usaha keset kaki, terlebih dahulu mencari bahan dasarnya, baru kemudian diupahkan. Jika bahan dasarnya tidak ada, maka pembuatan keset kaki terhenti. Otomatis kelima remaja dan anak-anak itu kehilangan penghasilan.

Usaha itu tak pernah mendapat perhatian Pemko Tebing Tinggi. Dulu, aku Suriati, pernah ada pegawai yang datang. “Mereka datang, foto sana foto sini dan janji akan memberi bantuan. Tapi sampai sekarang haram kalau ada,” rungut perempuan Manula itu. Kini, tinggal lagi bagaimana perhatian wakil rakyat yang akan terpilih nantinya. Apakah mereka mau memperhatikan nasib anak-anak yatim itu, atau seperti sebelumnya, mereka tetap saja terabaikan. Wallahu a’lam .. Abdul khalik

Post a Comment for "Mereka Mengayuh Mesin Jahit, Sekedar Bisa Hidup Dan Sekolah"