Singapura : The Land Of Capitalism People’s
Apa yang dibayangkan tentang Negara Singapura yang maju dan modern, memang benar. Tapi, bahwa negara itu memiliki sindrome megalomania yang membuat orang tak nyaman datang ke sana, agaknya benar juga. Seperti iklan ‘Truly Asia’ yang begitu dibanggakan negara Malaysia, semboyan‘Uniquely Singapura’ pun tak lebih dari basa-basi. Tapi jujur saja, ketidak nyamanan itu mungkin hanya dirasakan orang-orang Indonesia, seperti kami.
“Sumpah, diajak lagi pun aku tak mau ke Singapura ini,” serapahku pada beberapa teman, saat kami di tahan hampir satu jam di ruang isolasi kantor imigresyen Woodlands checkpoint.
Saat memasuki kantor imigresyen itu, saya membayangkan bangunan itu bak di film-fim fiksi ilmiah, seperti ‘star wars.’ Meski luas dan teratur, tapi kesan angker terasa dari fisik bangunan dan perilaku security imigresyen itu. Hari itu, kebanyakan security orang Melayu, tapi kesan ramah tak muncul dari mereka. Mungkin semua petugas imigresyen diwajibkan pasang muka seram, pikirku.
Menaiki eskalator dengan tinggi sekira 20 meter, kami langsung antri memasuki lokasi pemeriksaan pasport. Setelah beberapa orang mulus diperiksa, giliran pimpinan rombongan Said Aldi Al Idrus maju. Petugas pemeriksaan yang juga perempuan bertubuh tambun, tapi dari ras kuning, lama memperhatikan dia. Sejenak bertanya jumlah kami semua, security loket pemeriksaan itu meminta Aldi tegak dulu di ujung gang perlintasan. Begitu juga seluruh anggota rombongan.
Namun, salah satu rombongan Ahmad Yasser masuk dari lintasan loket berbeda, lolos karena pasportnya langsung distempel. Solider pada teman, dia tak keluar dan ikut menunggu. Sekira 10 menit berlalu, kami digiring petugas lain ke ruang isolasi imigresyen sambil memegang pasport kami. Di ruangan itu, kami dibiarkan selama hampir 20 menit, sebelum kepala security datang didampingi petugas wanita Melayu yang jadi penerjemah. Bersama kami, ada warga Indonesia lain asal Batam dan seorang Tamil warga Malaysia asal Alor Star yang juga ditahan.
Pimpinan rombongan Said Aldi di panggil ke ruang interogasi. Berdasarkan cerita dia, pimpinan imigresyen bertanya, apakah kami tentara (army), karena rata-rata bertubuh strong dan sangar. Adakah hubungan dengan gerakan jihad. Kemudian kenapa ada lambang pedang bersilang di lambang kop surat Brigade BKPRMI yang kami bawa. Langsung saja pertanyaan menyelidik itu dijawab dengan memberikan keterangan jelas tentang status kami serta maksud perjalanan ke Singapura.
Tak ada masalah, kami dipersilahkan berlalu. Ketika keluar ruang isolasi, seorang security etnis China, bertanya apakah dari Indonesia? Kami mengiyakan. Tapi dia mengulangi beberapa kali, kata Indonesia dengan aksen tekanan pada kata ‘Indon.’ Ulu hati saya bagai dijotos, dia sedang meremehkan, pikir saya.
Penahanan hampir sejam itu, menyebabkan rombongan ditinggalkan bus tumpangan. Terpaksa kami mengganti bus dan harus membayar lagi. Setibanya di stasiun bus Queen Street waktu menunjukkan pukul 20.00. Meminta petunjuk supir, ke mana harus melangkah menuju Hotel Furama, kami berjalan dengan tubuh lelah.
Sebelum menaiki bus, kami menyempatkan mengisi perut yang mulai keroncongan di restoran multi menu berbagai bangsa di salah satu stand menjual nasi Padang di Lavenda Road. Seporsi harganya S$3 dengan lauk telor dadar dan sayur seadanya. Usai rehat kaki pun melangkah menuju halte yang tak berapa jauh dari restoran. Selama setengah jam kami menanti bus, sebelum kenderaan dimaksud datang. Jika warga Singapura naik dengan menggesekkan card langganan, kami harus bayar langsung ke supir.
Tertib, teratur dan disiplin, itu lah kesan yang kami peroleh selama di perjalanan malam. Tapi kesan itu memunculkan pikiran, bahwa rakyat Singapura merupakan ‘robot-robot bergerak’ yang dikendalikan satu sistem tertentu, hingga mengakibatkan mereka tak bebas mengekspresikan diri.
Hotel Furama Riverfront di 405 Havelock Road yang jadi lokasi acara seminar Dunia Melayu Dunia Islam (DMDI) ternyata sudah full. Syukur daerah itu merupakan lokasi perhotelan. Hanya berseberangan dengan hotel itu, kami akhirnya memilih Hotel Grand Capthorne Riverfront sebagai penginapan, meski di sekitarnya masih ada Hotel Holiday Inn dan Miramar. Hotel bintang lima bertingkat 50 dengan lebih dari 1.500 kamar itu, tarifnya S$350 per malam.
Malam pertama di hotel milik Amerika Serikat itu kami lalui dengan tidur nyenyak, karena besok harus mengikuti pembukaan seminar berthema: “Merancakkan Lejangan Kemajuan Ummah.” Seminar dua hari (25-26 Agustus) itu, dihadiri Menteri Besar Negeri Melaka merangkap Presiden DMDI YAB Datok Seri Hj. Mohd. Ali bin Mohd. Rustam. Sedangkan keynote speaker adalah Speaker Parlimen Singapura Encik Abdullah Tarmugi.
Tampil sebagai pembicara, sesi I yakni DR. Tenas Effendi (CEO Tenas Foundation) pakar budaya Melayu asal Provinsi Riau, membawakan makalah; “Membangkitkan Semangat dan Rasa Percaya Diri,” dan YB Datuk Hj. Ab Rahaman Ab Karim (EXCO Pelancongan, Kebudyaaan dan Warisan Negeri Melaka) dengan judul makalah; “Merancakkan Lejangan Kemajuan Ummah; Perspektif Budaya.” Sesi II, Datuk Prof. Dr. Ramlah Adam (Rektor Kolej Yayasan Melaka) Melaka, dengan judul makalah; “Melahirkan Melayu Cemerlang” serta Prof. Madya Dr. Hadijah Rahmat (Penolong Ketua, Kumpulan Akademik Bahasa dan Budaya Asia merangkap Ketua Jabatan Bahasa dan Kebudayaan Melayu, Institut Pendidikan Nasional, Universty Teknologi Nanyang, Singapura.
Sesi III diisi pembicara YBhg DR. Raja Roslan Raja Abd. Rahman (Pensyarah Kanan Institut Pengurusan Teknologi dan Keusahaan, University Teknikal Malaysia) dengan makalah; “Penembusan Ekonomi di Kalangan Negara Anggota DMDI” serta Tengku Sri Indra Ismail (CEO Pengarah Urusan SDG Asia Singapura) dengan makalah “Lanskap Perniagaan Melayu-Islam di Singapura.”
Setumpuk makalah bahasan itu hanya diselesaikan setengah hari. Siang hingga sore, kami diajak panitia melakukan kunjungan ke sejumlah lokasi sejarah dan keberperanan etnis Melayu di Singapura. Di antaranya Memorial Leutenant Adnan Bin Saidi (Reflection Of Bukit Chandu) dan Masjid An Nahdhah (Pusat Kajian Harmonisasi Antar Agama Singapura). Malam harinya, kami dijamu makan malam di Restoran Tepak Sireh, Sultan Gate, Singapura.
Acara terpenting, di antaranya penanda tanganan MoU antara Sekretariat DMDI dan Pemko Sawah Lunto, Sumbar serta penyerahan dupilikat Istana Pagaruyung untuk Pusat Warisan Melayu. Terlihat hadir, Gubernur Kepulauan Riau Ismet Abdullah, Walikota Sawahlunto Ir.H. Amran Nur dan Ketua DPRD Drs. H. Syamsu Rahim. Disamping pejabat negara Singapura dan Malaysia.
Area Pusat Warisan Melayu itu terletak di 85 Sultan Gate, berupa istana Kampung Gelam. Istana itu awalnya kediaman resmi Sultan Hussein Shah yang dibangun sekira 160 tahun lalu. Bangunan itu kini menjadi museum yang mengisahkan evolusi sejarah Kerajaan Melayu di Singapura. Perjamuan malam itu kami hadiri hingga 23.30. Kami sempat berkenalan dengan tiga mahasiswi Jepang yang jadi mahasiswa tamu di University Of Singapura. Yuka Shimamoto Cs dari Kobe, mengaku tengah mempelajari budaya Melayu.
Ada beberapa kegiatan keesokannya yang kurang penting dan tak kami ikuti, di antaranya kunjungan ke Jamiyah Business Singapura (JBS) dan Rumah Anak Yatim Darul Ma’wa yang dikelola Jamiyah Singapura, organisasi persekutuan etnis Melayu di negara kota itu. Karena tak penting dan suasana Singapura yang tak nyaman buat kami, memaksa segara cabut siang harinya. Paginya, kami sempat mengunjungi Mustapha Street yang dipandang sebagai salah satu ikon wisata Singapura. “Belum ke Singapura jika tak ke Mustapha Street,” kata Ketua Belia Jamiyah Singapura Abdul Malik yang menggoda kami untuk menjejakkan kaki ke sana.
Longok sana-sini yang terlihat cuma lalu lalang warga Tamil, meski ada wajah Melayu dan Chinese. Ketika salah seorang perempuan muda disapa, ternyata pekerja Indonesia yang sedang cuti dan menikmati makanan khas India. Sempat juga tertangkap beberapa perempuan Indonesia yang bercengkerama dengan pemuda Tamil. “Percayakan, banyak perempuan Indonesia di sini ‘makanan’ orang Tamil,” kata Said Aldi.
Menurut info Dubes RI Wardana, saat silaturrahmi ke Kedubes sebelum mengunjungi Mustapha Street, warga Indonesia di Singapura mencapai 100 ribu jiwa. 75 persen di antaranya pembantu rumah tangga, selebihnya para profesional serta mahasiswa/pelajar. Di negara Singa itu, diakui tingkat kekerasan terhadap pekerja Indonesia rendah. Meski demikian Kedubes RI, kata Wardana, selalu memantau setiap perkembangan warga negara yang bekerja di sana.
Usai mencicipi menu khas India, nasi Briyani seharga S$6, kami berjalan menuju stasiun bus Singapura-Johor Bahru, berjarak 500 meter. Itu kami lakukan guna mengurangi biaya besar bila harus menaiki bus Singapura-Kuala Lumpur yang ongkosnya mahal, karena dengan dolar Singapura. Jadilah jalan kaki sebagai pilihan alternatif, mencari stasiun bus yang akan mengantar kami keluar Singapura.
Ketika berjalan, ada yang membuat saya senyum. Singapura yang modern dan mewah, ternyata punya pasar barang-barang bekas (monza) atau lebih tepat pasar limbah. Lokasi itu terletak di Lane Boulevard. Semua barang bekas mulai dari pakaian, barang elektronik hingga barang antik, nangkring menunggu peminat. Penjualnya multi ras, ada Melayu, Tamil maupun Chinese. Saya berpikir, Singapura ini memang tanah orang-orang kapitalis, karena semua bisa dijual dan jadi uang.
Kami hanya melihat pasar limbah itu sesaat, kemudian menyeberang ke stasiun yang hanya dipisahkan jalan. Sepuluh menit menunggu, bus pun meluncur menuju Johor Bahru. Di atas bus, bayangan imigresyen Woodlands Checkpoint yang ‘angker’ kembali menghantui. Semua persyaratan agar bisa keluar sudah kami persiapkan dan berharap lolos tanpa masalah.
Nyatanya olala, beberapa di antara rombongan meninggalkan perbekalan mereka di atas bus. Sehingga saat lolos pemeriksaan pasport, sebagian barang ditahan polisi imigresyen. Terpaksa lah awak mengurusnya, meski tak harus melalui pemeriksaan X ray. Selesai, kami melanjutkan perjalanan dengan bus lain tanpa bayar, karena dari perusahaan sama.
Batas wilayah Singapura-Malaysia di atas Causeway (jembatan penyeberangan di selat Johor), berupa menara kecil, dengan papan bertuliskan “Welcome to Malaysia.” Beberapa belas menit kami tertahan disebabkan kemacetan, sebelum check in kembali ke Malaysia. Di imigresyen Johor Bahru ini, kami tertahan lama. Bukan persoalan pasport, melainkan karena lamanya petugas imigresyen memeriksa setiap pasport yang disodorkan pengunjung. Selesai, hati saya bersorak karena kami kembali menjejakkan kaki di tanah Melayu. Saya bilang, “Good by Singapura. I am not to come again.” Abdul Khalik
“Sumpah, diajak lagi pun aku tak mau ke Singapura ini,” serapahku pada beberapa teman, saat kami di tahan hampir satu jam di ruang isolasi kantor imigresyen Woodlands checkpoint.
Saat memasuki kantor imigresyen itu, saya membayangkan bangunan itu bak di film-fim fiksi ilmiah, seperti ‘star wars.’ Meski luas dan teratur, tapi kesan angker terasa dari fisik bangunan dan perilaku security imigresyen itu. Hari itu, kebanyakan security orang Melayu, tapi kesan ramah tak muncul dari mereka. Mungkin semua petugas imigresyen diwajibkan pasang muka seram, pikirku.
Menaiki eskalator dengan tinggi sekira 20 meter, kami langsung antri memasuki lokasi pemeriksaan pasport. Setelah beberapa orang mulus diperiksa, giliran pimpinan rombongan Said Aldi Al Idrus maju. Petugas pemeriksaan yang juga perempuan bertubuh tambun, tapi dari ras kuning, lama memperhatikan dia. Sejenak bertanya jumlah kami semua, security loket pemeriksaan itu meminta Aldi tegak dulu di ujung gang perlintasan. Begitu juga seluruh anggota rombongan.
Namun, salah satu rombongan Ahmad Yasser masuk dari lintasan loket berbeda, lolos karena pasportnya langsung distempel. Solider pada teman, dia tak keluar dan ikut menunggu. Sekira 10 menit berlalu, kami digiring petugas lain ke ruang isolasi imigresyen sambil memegang pasport kami. Di ruangan itu, kami dibiarkan selama hampir 20 menit, sebelum kepala security datang didampingi petugas wanita Melayu yang jadi penerjemah. Bersama kami, ada warga Indonesia lain asal Batam dan seorang Tamil warga Malaysia asal Alor Star yang juga ditahan.
Pimpinan rombongan Said Aldi di panggil ke ruang interogasi. Berdasarkan cerita dia, pimpinan imigresyen bertanya, apakah kami tentara (army), karena rata-rata bertubuh strong dan sangar. Adakah hubungan dengan gerakan jihad. Kemudian kenapa ada lambang pedang bersilang di lambang kop surat Brigade BKPRMI yang kami bawa. Langsung saja pertanyaan menyelidik itu dijawab dengan memberikan keterangan jelas tentang status kami serta maksud perjalanan ke Singapura.
Tak ada masalah, kami dipersilahkan berlalu. Ketika keluar ruang isolasi, seorang security etnis China, bertanya apakah dari Indonesia? Kami mengiyakan. Tapi dia mengulangi beberapa kali, kata Indonesia dengan aksen tekanan pada kata ‘Indon.’ Ulu hati saya bagai dijotos, dia sedang meremehkan, pikir saya.
Penahanan hampir sejam itu, menyebabkan rombongan ditinggalkan bus tumpangan. Terpaksa kami mengganti bus dan harus membayar lagi. Setibanya di stasiun bus Queen Street waktu menunjukkan pukul 20.00. Meminta petunjuk supir, ke mana harus melangkah menuju Hotel Furama, kami berjalan dengan tubuh lelah.
Sebelum menaiki bus, kami menyempatkan mengisi perut yang mulai keroncongan di restoran multi menu berbagai bangsa di salah satu stand menjual nasi Padang di Lavenda Road. Seporsi harganya S$3 dengan lauk telor dadar dan sayur seadanya. Usai rehat kaki pun melangkah menuju halte yang tak berapa jauh dari restoran. Selama setengah jam kami menanti bus, sebelum kenderaan dimaksud datang. Jika warga Singapura naik dengan menggesekkan card langganan, kami harus bayar langsung ke supir.
Tertib, teratur dan disiplin, itu lah kesan yang kami peroleh selama di perjalanan malam. Tapi kesan itu memunculkan pikiran, bahwa rakyat Singapura merupakan ‘robot-robot bergerak’ yang dikendalikan satu sistem tertentu, hingga mengakibatkan mereka tak bebas mengekspresikan diri.
Hotel Furama Riverfront di 405 Havelock Road yang jadi lokasi acara seminar Dunia Melayu Dunia Islam (DMDI) ternyata sudah full. Syukur daerah itu merupakan lokasi perhotelan. Hanya berseberangan dengan hotel itu, kami akhirnya memilih Hotel Grand Capthorne Riverfront sebagai penginapan, meski di sekitarnya masih ada Hotel Holiday Inn dan Miramar. Hotel bintang lima bertingkat 50 dengan lebih dari 1.500 kamar itu, tarifnya S$350 per malam.
Malam pertama di hotel milik Amerika Serikat itu kami lalui dengan tidur nyenyak, karena besok harus mengikuti pembukaan seminar berthema: “Merancakkan Lejangan Kemajuan Ummah.” Seminar dua hari (25-26 Agustus) itu, dihadiri Menteri Besar Negeri Melaka merangkap Presiden DMDI YAB Datok Seri Hj. Mohd. Ali bin Mohd. Rustam. Sedangkan keynote speaker adalah Speaker Parlimen Singapura Encik Abdullah Tarmugi.
Tampil sebagai pembicara, sesi I yakni DR. Tenas Effendi (CEO Tenas Foundation) pakar budaya Melayu asal Provinsi Riau, membawakan makalah; “Membangkitkan Semangat dan Rasa Percaya Diri,” dan YB Datuk Hj. Ab Rahaman Ab Karim (EXCO Pelancongan, Kebudyaaan dan Warisan Negeri Melaka) dengan judul makalah; “Merancakkan Lejangan Kemajuan Ummah; Perspektif Budaya.” Sesi II, Datuk Prof. Dr. Ramlah Adam (Rektor Kolej Yayasan Melaka) Melaka, dengan judul makalah; “Melahirkan Melayu Cemerlang” serta Prof. Madya Dr. Hadijah Rahmat (Penolong Ketua, Kumpulan Akademik Bahasa dan Budaya Asia merangkap Ketua Jabatan Bahasa dan Kebudayaan Melayu, Institut Pendidikan Nasional, Universty Teknologi Nanyang, Singapura.
Sesi III diisi pembicara YBhg DR. Raja Roslan Raja Abd. Rahman (Pensyarah Kanan Institut Pengurusan Teknologi dan Keusahaan, University Teknikal Malaysia) dengan makalah; “Penembusan Ekonomi di Kalangan Negara Anggota DMDI” serta Tengku Sri Indra Ismail (CEO Pengarah Urusan SDG Asia Singapura) dengan makalah “Lanskap Perniagaan Melayu-Islam di Singapura.”
Setumpuk makalah bahasan itu hanya diselesaikan setengah hari. Siang hingga sore, kami diajak panitia melakukan kunjungan ke sejumlah lokasi sejarah dan keberperanan etnis Melayu di Singapura. Di antaranya Memorial Leutenant Adnan Bin Saidi (Reflection Of Bukit Chandu) dan Masjid An Nahdhah (Pusat Kajian Harmonisasi Antar Agama Singapura). Malam harinya, kami dijamu makan malam di Restoran Tepak Sireh, Sultan Gate, Singapura.
Acara terpenting, di antaranya penanda tanganan MoU antara Sekretariat DMDI dan Pemko Sawah Lunto, Sumbar serta penyerahan dupilikat Istana Pagaruyung untuk Pusat Warisan Melayu. Terlihat hadir, Gubernur Kepulauan Riau Ismet Abdullah, Walikota Sawahlunto Ir.H. Amran Nur dan Ketua DPRD Drs. H. Syamsu Rahim. Disamping pejabat negara Singapura dan Malaysia.
Area Pusat Warisan Melayu itu terletak di 85 Sultan Gate, berupa istana Kampung Gelam. Istana itu awalnya kediaman resmi Sultan Hussein Shah yang dibangun sekira 160 tahun lalu. Bangunan itu kini menjadi museum yang mengisahkan evolusi sejarah Kerajaan Melayu di Singapura. Perjamuan malam itu kami hadiri hingga 23.30. Kami sempat berkenalan dengan tiga mahasiswi Jepang yang jadi mahasiswa tamu di University Of Singapura. Yuka Shimamoto Cs dari Kobe, mengaku tengah mempelajari budaya Melayu.
Ada beberapa kegiatan keesokannya yang kurang penting dan tak kami ikuti, di antaranya kunjungan ke Jamiyah Business Singapura (JBS) dan Rumah Anak Yatim Darul Ma’wa yang dikelola Jamiyah Singapura, organisasi persekutuan etnis Melayu di negara kota itu. Karena tak penting dan suasana Singapura yang tak nyaman buat kami, memaksa segara cabut siang harinya. Paginya, kami sempat mengunjungi Mustapha Street yang dipandang sebagai salah satu ikon wisata Singapura. “Belum ke Singapura jika tak ke Mustapha Street,” kata Ketua Belia Jamiyah Singapura Abdul Malik yang menggoda kami untuk menjejakkan kaki ke sana.
Longok sana-sini yang terlihat cuma lalu lalang warga Tamil, meski ada wajah Melayu dan Chinese. Ketika salah seorang perempuan muda disapa, ternyata pekerja Indonesia yang sedang cuti dan menikmati makanan khas India. Sempat juga tertangkap beberapa perempuan Indonesia yang bercengkerama dengan pemuda Tamil. “Percayakan, banyak perempuan Indonesia di sini ‘makanan’ orang Tamil,” kata Said Aldi.
Menurut info Dubes RI Wardana, saat silaturrahmi ke Kedubes sebelum mengunjungi Mustapha Street, warga Indonesia di Singapura mencapai 100 ribu jiwa. 75 persen di antaranya pembantu rumah tangga, selebihnya para profesional serta mahasiswa/pelajar. Di negara Singa itu, diakui tingkat kekerasan terhadap pekerja Indonesia rendah. Meski demikian Kedubes RI, kata Wardana, selalu memantau setiap perkembangan warga negara yang bekerja di sana.
Usai mencicipi menu khas India, nasi Briyani seharga S$6, kami berjalan menuju stasiun bus Singapura-Johor Bahru, berjarak 500 meter. Itu kami lakukan guna mengurangi biaya besar bila harus menaiki bus Singapura-Kuala Lumpur yang ongkosnya mahal, karena dengan dolar Singapura. Jadilah jalan kaki sebagai pilihan alternatif, mencari stasiun bus yang akan mengantar kami keluar Singapura.
Ketika berjalan, ada yang membuat saya senyum. Singapura yang modern dan mewah, ternyata punya pasar barang-barang bekas (monza) atau lebih tepat pasar limbah. Lokasi itu terletak di Lane Boulevard. Semua barang bekas mulai dari pakaian, barang elektronik hingga barang antik, nangkring menunggu peminat. Penjualnya multi ras, ada Melayu, Tamil maupun Chinese. Saya berpikir, Singapura ini memang tanah orang-orang kapitalis, karena semua bisa dijual dan jadi uang.
Kami hanya melihat pasar limbah itu sesaat, kemudian menyeberang ke stasiun yang hanya dipisahkan jalan. Sepuluh menit menunggu, bus pun meluncur menuju Johor Bahru. Di atas bus, bayangan imigresyen Woodlands Checkpoint yang ‘angker’ kembali menghantui. Semua persyaratan agar bisa keluar sudah kami persiapkan dan berharap lolos tanpa masalah.
Nyatanya olala, beberapa di antara rombongan meninggalkan perbekalan mereka di atas bus. Sehingga saat lolos pemeriksaan pasport, sebagian barang ditahan polisi imigresyen. Terpaksa lah awak mengurusnya, meski tak harus melalui pemeriksaan X ray. Selesai, kami melanjutkan perjalanan dengan bus lain tanpa bayar, karena dari perusahaan sama.
Batas wilayah Singapura-Malaysia di atas Causeway (jembatan penyeberangan di selat Johor), berupa menara kecil, dengan papan bertuliskan “Welcome to Malaysia.” Beberapa belas menit kami tertahan disebabkan kemacetan, sebelum check in kembali ke Malaysia. Di imigresyen Johor Bahru ini, kami tertahan lama. Bukan persoalan pasport, melainkan karena lamanya petugas imigresyen memeriksa setiap pasport yang disodorkan pengunjung. Selesai, hati saya bersorak karena kami kembali menjejakkan kaki di tanah Melayu. Saya bilang, “Good by Singapura. I am not to come again.” Abdul Khalik
Post a Comment for "Singapura : The Land Of Capitalism People’s"