----iklan---- Danau Maninjau Maimbau; Bilo Parantau Ka Pulang - JEJAK KHALIK
Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Danau Maninjau Maimbau; Bilo Parantau Ka Pulang

Tujuh belas tahun lalu, itulah kali terakhir penulis mengunjungi Danau Maninjau yang termasuk dalam wilayah Kec. Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat. Kunjungan kali ini pertengahan Juli 2008, bak sebelumnya, bermaksud melepas rindu pada kampung halaman orang tua dan sanak saudara yang masih tinggal di pinggiran danau itu. Banyak cerita yang bisa dituturkan dari perjalanan itu. Berikut laporannya.

Dari Kota Bukit Tinggi, jaraknya hanya berkisar 60 km. Tapi waktu tempuh untuk sampai ke Maninjau, memakan waktu sekira satu jam setengah. Lamanya perjalanan bukan karena badan jalan rusakm bak kita rasakan di Sumut, tapi karena banyaknya kelokan yang membuat mobil bergerak hati-hati. Beberapa kecamatan yang dilintasi sebelum Kec. Tanjung Raya, seperti Padang Luar, Balingka, Koto Tuo, Matur, Palembayan membuat mata dipenuhi kesejukan, karena hamparan sawah yang menghijau di kaki perbukitan dan ngarai curam.

Maninjau hanya salah satu nagari (desa) dari jejeran nagari yang terdapat di bibir danau yang dari atas bagaikan kuali itu. Selain Maninjau, ada sembilan nagari di sekeliling Danau Maninjau yang masuk dalam wilayah adminstrasi Kec. Tanjung Raya, yakni nagari Sungai Batang, Tanjung Sani, Duo Koto, Paninjauan, Koto Kaciak, Koto Gadang, Koto Malintang dan Bayur. Selain itu, terdapat beberapa kampung yang dihuni kelompok suku. Misalnya, Sarego, Batu Nanggai, Sei Sibareh, Muko Jalan, Galapung, Pandan, Tampuniak, Tanah Sirah, Bawah Pondoh, Sungai Batang, Nagori, Maninjau, Gasang, Bayur, Kp. Jambu, Anam Koto, Koto Gadang, Koto Tinggi, Koto Malintang, Koto Kaciak, Koto Alai, Muko-Muko, Sungai Tampiang, Sigiran, dan beberapa kampung lainnya.

Untuk sampai di nagari Maninjau, setiap pengendera dipastikan merasa keder pada tikungan tajam yang dikenal dengan kelok 44. “Mengiranya saja sudah capek, cemana pula kalau melintasinya,” kata supir mobil rental kami, yang mengaku baru pertama kali datang ke sana. Sang supir mengira kelok 9 yang berada antara Payakumbuh dan Pekanbaru, merupakan lintasan yang paling sulit dan membutuhkan konsentrasi tinggi. Ternyata, ketika tiba di kelok 44, si supir mengaku inilah lintasan yang sangat menguras konsentrasi, terutama saat menurun.

Kelokan bagaikan patahan angka delapan itu, memang enak dilintasi bagi yang tidak mengidap penyakit mabuk kenderaan, karena sepanjang perjalanan bisa memandang keseluruhan panorama danau dari setiap sudut. Hanya saja bagi pemabuk kenderaan, kelokan itu akan menjadi lintasan “siksa” yang bisa menguras isi perut.

Selain hiburan panorama danau yang membuat pengunjung berdecak, kita juga diajak menghitung tikungan yang diberi nomor, mulai dari angka 1 hingga 44 dari dan ke Maninjau, yang memberi keasikan tersendiri. Keasikan kian lengkap dengan kehadiran gerombolan monyet liar yang menunggu pemberian buah tangan pelintas kelok 44. Tapi, jangan takut karena mereka terajar untuk tak mengusik setiap pendatang yang melewati jalan itu.

Sesampainya di Nagari Maninjau dari kelok 44, ada dua persimpangan arah ke kiri dan kanan. Jika ke kiri akan mengarah ke tempat kelahiran ulama besar Buya Hamka yang lahir di Nagari Sungai Batang. Jika kita membelok ke kanan akan menuju Nagari Bayur yang menjadi tempat kelahiran Menteri Sosial RI H. Bachtiar Chamsyah, SE. Sedangkan jika terus ke bawah akan sampai di Hotel Maninjau dan kantor Camat Tanjung Raya.

Di Maninjau hanya ada satu hotel, selebihnya merupakan homestay yang berada di bibir danau. Kebanyakan berada di pinggir jalan menuju ke Bayur. Lintasan itu merupakan jalan mengelilingi danau yang menghubungkan satu nagari/kampung dengan nagari/kampung lain. Jalan keluar dari Danau Maninjau selain kelok 44, masih ada satu lagi, yakni via Muko-Muko menuju Lubuk Basung, Padang Pariaman dan langsung ke Padang.

Kian Tergerus

Nagari di seputaran Danau Maninjau, seperti daerah-daerah di Ranah Minangkabau, sejak lama dikenal sebagai negeri yang melahirkan banyak ulama dan tokoh-tokoh besar, baik daerah maupun nasional. Sebut saja pujangga besar Sutan Nur Iskandar disamping ulama Buya Hamka dan tokoh pergerakan wanita Hj. Rasuna Said. Ketiganya merupakan produk kultur cendekia yang tumbuh dan berkembang di tepian danau itu dimasa pergerakan nasional. Bahkan, tidak berlebihan jika dikatakan, Maninjau merupakan pusat pembaruan Islam di Indonesia setelah Kauman di Yogyakarta. Karena dari sanalah Muhammadiyah berkembang dan menyebar di luar Jawa.

Surau Inyiak Dareh di Nagari Sungai Batang yang dibangun Hamka muda bersama ayahandanya DR. H.A. Karim Amarullah, menjadi pusat intelektual yang fenomenal, karena pengaruhnya kala itu menembus jauh keluar dinding perbukitan Danau Maninjau. Karya sastra Nur Sutan Iskandar menjadi bukti tentang ketajaman dan kehalusan akal budi anak negeri. Demikian pula sepak terjang tokoh pendidikan perempuan Hj. Rasuna Said yang mampu mencerahkan kaum hawa ditengah suasana kultur yang jumud, kala itu.

Tradisi intelektual anak nagari Maninjau, hingga kini tak jauh bergeser. Banyak perantau asal Maninjau yang berhasil di luar. Kegigihan mereka untuk mengisi ruang intelektual negeri ini tak pernah pudar. Karena itu, jangan heran jika di banyak perguruan tinggi elit negeri ini, dunia pers, pengusaha serta berbagai profesi prestisius lainnya, selalu saja ada anak-anak Danau Maninjau yang berkiprah. Dalam birokrasi negeri ini, hal serupa terjadi. Mereka mampu bersaing untuk mengisi pos-pos administrasi yang ada. Sebut saja misalnya, Menteri Sosial H. Bachtiar Chamsyah, SE, dan mantan Gubernur Bank Indonesia Burhanuddin Abdullah. Keduanya merupakan anak nagari Danau Maninjau atau dari keturunan masyarakat pinggiran danau itu.

Keberhasilan anak nagari jadi kebanggan tersendiri. Seperti dikatakan seorang warga di Bayur, setiap kali Lebaran tiba, Danau Maninjau ramai dikunjungi perantau. Deretan mobil mewah, parkir hampir di merata jalan sekeliling danau itu. Pemandangan itu, mengisyaratkan keberhasilan mereka di rantau. Tapi, setelah mudiak salasai, danau indah itu seperti terlupakan dan tanpa perhatian.

Tak adanya perhatian perantau terhadap kampung halamannya, bisa dirasakan dari minimnya pembangunan di seputaran pinggiran danau. Deretan kampung itu tak menunjukkan perubahan berarti secara pisik. Jalan lingkar danau sebagai penghubung antar kampung, tetap saja seperti 17 tahun lalu, saat penulis berkunjung. Rumah-rumah khas Minangkabau, sudah berubah bentuk seperti model rumah di perkotaan.

Di perbukitan, pohon-pohon jenis pala, kulit manis, durian, cengkeh, yang dulunya merupakan hasil bumi membanggakan, kini tinggal sisa-sisa kejayaannya. Ikan bada masiak dan rinuak serta berbagai hasil khas Danau Maninjau, semakin sulit didapat dan jika pun ada, harganya selangit. Kesulitan itu disiasati penduduk dengan melakukan pemeliharaan ikan darat.

Perubahan dalam perilaku mencari makan, ternyata berdampak pada lingkungan danau. Pemberian pelet ikan dan sejenisnya telah membuat dasar danau jadi kotor. Bahkan, beberapa tahun lalu, terjadi musibah. Seluruh ikan keramba mati akibat keracunan. Selidik punya selidik, ternyata goncangan di dasar danau menyebabkan sisa pelet berubah jadi racun.

Syukur ahli perikanan dari Universitas Andalas, Padang, menemukan resep untuk mensterilkan air Danau Maninjau. Sehingga petaka yang menakutkan pengusaha keramba bisa dikendalikan. Saat ini, nagari di pinggiran Danau Maninjau merupakan sentra produsen ikan darat. Betapa tidak, setiap harinya sekira 70 ton ikan jenis mujair, nila dan mas dipanen dan didistribusikan ke berbagai kota. Area pemasaran ikan Maninjau sudah merambah hingga Medan dan Jambi.

Hanya saja, ketika hasil danau itu telah merambah ke berbagai daerah, tradisi intelektual anak nagari tak beranjak. Masjid di sekeliling Danau Maninjau, saat ini, kian sunyi dari pengajian Al Qur’an dan ceramah agama. Nilai-nilai Keislaman versi Muhammadiyah, sudah hidup segan mati tak mau. Kebanyakan generasi mudanya disibukkan dengan hawa modernisme yang masuk via televisi.

“Di sini, kalau tak merantau, paling hanya mengusahai keramba. Selain itu tak ada,” kata Andri, anak muda asal Nagari Galapung. Malamnya, seperti anak muda kota, para pemudanya begadang hingga Shubuh, untuk kemudian tidur dan bangun setelah matahari meninggi. Meski demikian, dibanding dengan rang gaek, generasi muda di sekitar Danau Maninjau relatif kecil, karena umumnya memang merantau setelah menamatkan pendidikan SMA.

Penutup

Kini, masjid dan surau di pinggiran danau itu kian sunyi dari hingar bingar intelektualitas. Semangat Surau Inyiak Dareh, telah lama pupus dan kehilangan dinamika penghuninya. Tradisi intelektual yang selama ini begitu kental di bumi Maninjau, jika tidak mendapat perhatian para perantau, niscaya akan tinggal kenangan.

Aku mendengar deru angin sepoi dari perbukitan kelok 44, memanggil para perantau yang melintas di antara liukan jalan, agar sejenak peduli dengan ranah leluhur mereka. Meski berhasil di rantau, janganlah lupa dengan ranah tumpah darah para leluhur kita di masa lalu. Ayooo … perhatikan Danau Maninjau, Kalau bukan anak keturunan Nagari Maninjau, siapa lagi yang peduli.

Tebing Tinggi, Oktober 2008

Post a Comment for "Danau Maninjau Maimbau; Bilo Parantau Ka Pulang"