Mangrove; Kita Menghancurkannya, UEA Mengistimewakannya
ADA CERITA.
Sekira 1979 Emir pertama Uni Emirat Arab (UEA) Syeikh Zayed Sulthan An Nahyan
melakukan kunjungan ke Indonesia. Dalam kunjungan itu, pemimpin yang membawahi
lima keemiran itu, terkagum-kagum akan kesuburan tanah dan aneka tanaman yang
ada di bumi khatulistiwa itu. Terutama tanaman pinggiran pantai dan dataran
rendah.
Syekh
Zayed berpikir untuk menanam aneka tumbuhan itu di negerinya. Tapi, apa mungkin
karena tanah negeri di tepian Teluk Parsi itu, hanya gurun pasir
gersang dengan tanaman tertentu saja yang bisa tumbuh. Tindakan besar pun
di ambil pemimpin visioner itu. Mengambil tanah Indonesia untuk jadi
media tumbuhannya, sekaligus tanaman di atasnya.
Orang
tua dari pemimpin UEA sekarang Syekh Muhammad bin Zayed itu, membawa beberapa
jenis tanaman pantai, ke negerinya. Bersama rakyatnya, tanaman eksport dari
Indonesia itu, ditanam dengan perlakuan istimewa di tanah gurun pinggiran
pantai, dibawah pengawasan para ahli botani.
Awalnya,
penanaman itu kurang berhasil. Namun, pemerintah UEA bersama rakyatnya terus
melakukan berbagai eksplorasi atas tanaman pantai itu. Kini, setelah 30 tahun
lebih, tanaman pantai itu dapat tumbuh subur di seantero UEA.
Anda tentu ingat
dengan jenis pohon mangrove (bakau), ketapang dan nyamplung serta jeruju dan
tekik, untuk mengatakan beberapa tanaman pantai . Saat ini, semua tanaman itu
terlihat di berbagai areal pemukiman Dubai dan Abu Dhabi, bahkan di Al Ain dan
dua daerah keemiran lainnya yang berada dibawah keemiran UEA. Tanaman itu,
tumbuh subur berdampingan dengan pohon kurma, tanaman khas padang pasir.
Contohnya, sepanjang
perjalanan bersama rombongan Waspada dari Dubai ke Abu Dhabi berjarak sekira
100 km, terlihat pinggiran jalan diisi oleh hutan tanaman pantai itu. Bahkan,
berbagai jenis bunga-bungaan, semisaln bougenville (bunga kertas) menjadi
tanaman di berbagai taman kota.
Penulis
sempat terkesima, ketika melihat salah satu tanaman obat-obatan khas Indonesia
yang penulis lupa namanya, dapat perlakuan istimewa dari warga UEA. “Di tempat
kita cuma rumput, tapi di sini sangat bernilai,” ujar rekan Hotma Darwis
Pasaribu, saat ditunjukkan kepadanya jenis rerumputan itu.
Bahkan,
kesemua tumbuhan hutan pantai itu, jadi tanaman hias yang menyejukkan mata para
wisatawan yang berkunjung ke negeri itu. Masjid terbesar di UEA, yakni
Masjid Syekh Zayed An Nahyan, misalnya mengisi halamannya yang luas
dengan aneka tanaman penahan abrasi itu. Terlihat, tanaman mangrove, ketapang
dan nyamplung serta jeruju, mengelilingi salah satu mesjid terbesar di dunia
itu. Juga rumput tekik, melingkar di antara pepohonan yang didesain sedemiikian
rupa.
Aneka
tanaman yang berfungsi sebagai penahan abrasi itu, tidak hanya tumbuh subur di
halaman masjid berjarak sekira 2 km dari bibir pantai. Tapi juga menjadi
tanaman pelindung berbagai bangunan perkantoran hingga di pabrik
perusahaan-perusahaan kelas dunia. Terlihat pula, di halaman berbagai perumahan
mewah di inti kota dipenuhi tumbuhan Nusantara.
Selain
sebagai penahan abrasi, mangrove dan tumbuhan pantai, juga menjadi tempat
berkembang biaknya biota laut semisal kepiting, kerang dan jenis aneka ikan air
payau. Saat ini fungsi hutan pantai itu juga, mulai dimanfaatkan
pemerintah UEA, dengan mulai menanamnya di sepanjang pantai negeri itu.
Diperkirakan, dalam 15 tahun ke depan, jika proyek penanaman hutan mangrove
berhasil, rakyat UEA bisa menikmati kepiting, kerang dan ikan air payau dari
negerinya sendiri.
Berbeda
dengan negeri kita. Tanaman pantai itu, saat ini keberadaannya hampir
punah, terutama di pinggiran pantai timur Sumatera Utara, akibat perambahan
yang berlangsung massif. Tapian pantai kita semakin gundul dan mengalami
abrasi. Tak jarang, perambahan mangrove dan tanaman jenis lainnya menimbulkan
konflik. Misalnya, yang terbaru terjadi di Kab. Serdang Bedagai dan di Langkat.
Mangrove
dan sejenisnya yang punah itu, berganti dengan perkebunan sawit atau tambak dan
berakibat ruang pantai jadi terbuka. Dari kondisi demikian, pesisir
pantai menjadi daerah paling rentan, terkena bencana laut, mulai dari
abrasi, angin kencang dan kehilangan biota pantai dan air payau alami. Angin
puting beliung yang dulunya jarang terjadi, kini kehadirannya sudah bagaikan
‘hantu’ di siang bolong. Kehadiran angin puting beliung, diperkirakan akibat
wilayah pantai kita yang kian terbuka karena punahnya hutan pantai.
Nelayan
kita juga, sejak lama telah merasakan dampak kehilangan hutan pantai itu,
berupa semakin sulitnya mencari penghidupan, karena sumber daya pantai kian
menipis. Ujung-ujungnya, konflik antar sesama nelayan kian intens terjadi.
Sempat
jadi bahan diskusi penulis bersama Pemred Waspada H Prabudi Said, bagaimana
tanaman hutan pinggiran pantai itu bisa tumbuh subur di UEA sedangkan di Indonesia,
tanaman itu bagaikan disengaja untuk memusnahkannya. Apakh ada invicible hand
(tangan-tangan tak kelihatan) yang sengaja melakukan tindakan demikian?
Ketahuilah,
Allah SWT memang memberikan ‘sepotong surga’ untuk negeri kita. Tapi jika
nikmat itu tak dipelihara dan disukuri, yakinlah kita hanya akan menuai bencana
dari ketidak pedulian dan keserakahan kita. Nasib mangrove dan tanaman pantai
lainnya, bisa jadi bahan renungan tentang keteledoran kita akan kekayaan alam. Wallahu a’alamu bi as shawab. Abdul Khalik
Post a Comment for "Mangrove; Kita Menghancurkannya, UEA Mengistimewakannya "