Ritual Cheng Beng, Mereka Juga Hormati Orang Lain
Di antara belasan ribu bangunan pemakaman Tionghoa Yasobas di Kel. Tebingtinggi, Kec. Padang Hilir, Kota Tebingtinggi, ada satu bangunan pagar memanjang berbentuk bundar yang menjadi tanda tanya banyak orang. Bangunan itu, tak seperti layaknya makam. Tapi di musim Cheng Beng (ziarah ke makam leluhur) ini, banyak warga Tionghoa yang bersembahyang di pagar itu.
Seperti yang dilakukan seorang anak muda bersama orang tuanya, Minggu (27/3). Dengan dupa ditangannya dia merunduk dan berdoa. Kemudian menancapkan dupa itu di depan bangunan pagar dimaksud. Bahkan, beberapa pengunjung ada juga yang membakar kertas sembahyang di depan bangunan itu.
Ketika ditanya, barulah diketahui bangunan itu merupakan komplek pemakaman juga. Tapi yang berkubur di sana, adalah orang-orang tak dikenal, tak punya keluarga dan yang tak memiliki apapun di masa hidupnya. Singkatnya, mereka adalah orang-orang Tionghoa yang terbuang.
Di akhir era 1970 an di Tebingtinggi dulu, ada satu komplek di Jalan RS Umum, Kel. Bandar Sakti, Kec. Bajenis, (saat ini jadi komplek SD Negeri) yang dikenal dengan komplek Apek Kongsikang. Komplek itu, di kala penulis masih SD, sangat ditakuti, karena arealnya yang seram dan sangat kumuh. Jarang ada, warga yang mau melintas di sana, bisa jadi karena rasa takut atau enggan akibat berbagai faktor.
Lokasi itu dulunya, merupakan tempat tinggal puluhan orang tua jompo dan tidak mampu yang kehidupannya dibiayai yayasan sosial warga Tionghoa. Setelah bangunan itu diminta pemerintah setempat, mereka pun dipindahkan ke komplek pemakaman Tionghoa yang ada sekarang ini. Mungkin itulah makam, warga Tionghoa yang tak beruntung itu di komplek Apek Kongsikang itu.
Salah seorang peziarah, mengatakan dia sembahyang di pemakaman itu sebagai tanda solidaritas saja. Dikatakan, dia tak punya hubungan apapun dengan pemakaman itu, tapi di hari Cheng Beng, kegembiraan dan kiriman doa dan barang-barang tetap disampaikan kepada mereka. “Kami menghormati mereka yang sudah meninggal, meski bukan keluarga” ujar anak muda itu, usai berdoa.
Prosesi Cheng Beng
Awal sembahyang Cheng Beng, sudah dimulai sekira pukul 04.00 dini hari. Ratusan kenderaan berbagai jenis sejak pagi buta, telah terparkir di komplek pemakaman itu. Aktifitas ziara berlangsung meriah. Bau asap dari pembakaran kertas dan karton menyengat hidung pengunjung yang datang ke komplek itu. Pun demikian, keadaan di areal itu sangat aman. Petugas kepolisian dari Polres dan Brimob melakukan patroli rutin menggunakan sepeda motor di komplek seluas 100 Ha lebih itu.
A Ling, 45, salah seorang peziarah berkenan di ajak mengobrol tentang Cheng Beng usai sembahyang di makam rekannya. Menurut warga Kel. Bulian, Kec. Bajenis itu, sembahyang Cheng Beng adalah ibadah yang paling baik dari semua sembahyang dalam adat istiadat Tionghoa. Itu sebabnya, setiap warga Tionghoa di mana pun berada akan berusaha mendatangi makam leluhurnya agar bisa sembahyang.
Prosesi sembahyang Cheng Beng dimulai membakar dupa, kemudian melakukan duduk sila sambil berdoa. Proses doa tidak ditentukan bacaannya, tapi tergantung pada apa yang diminta. “Umumnya, meminta agar diberikan keselamatan dan rejeki yang bagus dalam hidup,” ujar A Ling. Sebelumnya, mereka yang akan sembahyang sudah membawa aneka perbekalan. Misalnya, makanan terdiri dari kue-mue dan buah-buahan. Tak lupa kertas sembahyang yang melambangkan pengiriman berbagai kebutuhan kepada leluhur.
Usai sembahyang, kertas perlambang kiriman itu pun di bakar dalam lingkaran bambu. “Pembakaran itu tanda berkirim perbelakan kepada leluhur,” terang A Ling. Perbekalan yang dikirim, misalnya uang, pakaian, kenderaan, rumah dan kebutuhan lain. Tapi semua berbentuk kertas. Sedangkan alat pengiriman adalah pembakaran. Ketika semua prosesi sembahyang Cheng Beng telah dilaksanakan, keluarga pun kembali pulang. Tak lupa, mereka melakukan sedekah di komplek pemakaman itu, terutama kepada orang-orang yang telah menolong mereka dalam membersihkan kuburan dan menolong dalam prosesi sembahyang.
Hanya saja, sembahyang Cheng Beng tidak cuma dilakukan di pemakaman, tapi juga dilakukan di rumah. Masa sembahyang Cheng Beng berlangsung selama 20 hari. Dalam masa itu, sembahyang dilakukan kepada siapa saja yang telah meninggal. Sembahyang Cheng beng tak Cuma kepada kakek, nenek atau ayah dan ibu serta keluarga. Tapi dilakukan kepada siapa saja yang sudah mati. Cheng beng pada hakikatnya, adalah menghormati siapa saja, meski sudah meninggal dunia.
TAK BERUNTUNG : inilah makam warga Tionghoa yang tak beruntung di masa hidupnya. Meski demikian di hari Cheng Beng mereka tetap diziarahi sebagai bentuk penghormatan. Foto direkam, Minggu lalu.(Khaliknews)
Post a Comment for "Ritual Cheng Beng, Mereka Juga Hormati Orang Lain"