Khutbah Idul Fithri 1429 H. Ketika Dosa Dipandang Sebelah Mata
Allahu Akbar 5 x
Allahu akbar kabiira wal hamdu lillahi katsira wasubhanallahi bukratawwa ashila. Laa ilahaa illallah wahdahu shadaqa wa’ dah, wa nashara ‘abdah wa aazzajundahu wa hazamal ahzaaba wa’dah.
Asyhadu an laa ilaaha illallah wa asyhadu anna Muhammadan rasulullah. Alhamdulillahiladzi anzala sakiinata fii qulubul mukminin, liyazdadu imaanan ma’a imanihim. Allahumma shalli a’ala Muhammadin wa’ala alihi washahbihi wasallim ajma’in. Amma ba’du
Faqalallahu Ta’ala fii kitabil karim : Qad aflahaman tazakka. Wazakarasma rabbihi fashalla.
Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar wa lillahilhamdu.
Kaum muslimin dan muslimat, jamaah Idul Fithri yang dimuliakan Allah. Tak terasa kita telah meninggalkan Ramadhan yang penuh berkah didalamnya. Bulan di mana setiap orang beriman menghadapi perang besar untuk menentukan status diri apakah berhasil keluar sebagai manusia bertitel muttaqin, atau manusia yang gagal dalam munaqashah kemanusiaan itu. Madrasah Ramadhan telah menyiapkan kurikulum sunnatullah yang jika dijalani dengan baik, Insya Allah proses mencapai derajat kemanusiaan tertinggi bisa dicapai, meski dengan perjuangan yang amat berat.
Betapa tidak, dalam tempaan Ramadhan seorang hamba telah diajarkan untuk bisa menahan segala bentuk godaan duniawi berbau nafsu syahwat, mulai dari makan-minum hingga hubungan suami-istri. Manusia juga diajarkan untuk bisa menahan segala bentuk godaan berbagai penyakit mental, mulai dari menjaga amarah, menyimpan sifat serakah, iri, dengki, tamak sebagai penyakit hati. Madrasah Ramadhan memerintahkan kita untuk menghidupkan malam dengan ibadah shalatul lail, membaca Al Qur’an, bangun di waktu shahur yang bagi orang-orang munafik sistem demikian sangat berat. Pantaslah, jika Allah memberikan derajat ketaqwaan kepada hambanya yang bisa melalui ujian itu.
“Hai sekalian yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu.” Q.s. Al Baqarah : 183.
Allahu akbar. Allah akbar. Allahu Akbar Walillahilhamd.
Ketaqwaan sebagai titel kepada manusia yang lulus di madrasah Ramadhan, harus dipahami sebagai derajat tertinggi kehambaan di hadapan Allah. Karena itu, Allah membeberkan keistimewaan muttaqin dalam beberapa ayat Al Qur’an. Beberapa ayat memberian ciri-ciri sang muttaqin itu dengan demikian indah.
Perhatikanlah Q.s. Al Baqarah : 1-4. “Alif Lam Mim. Kitab (Al Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya menjadi petunjuk bagi para muttaqin. (Yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, mereka yang menegakkan sholat, mereka yang menafkah sebagian rezeki yang dianugerahkan kepada mereka. Mereka yang beriman kepada kitab (Al Qur’an) yang telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya kehidupan akhirat.”
Perhatikan pula Q.s. Ali Imran : 133-135. “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa. (Yaitu) orang-orang yang menafkahkan hartanya, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuatan kebajikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila berbuat keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat kepada Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka, dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.”
Allahu akbar. Allahu akbar. Allahu akbar walillahilhamd.
Hadirin Rahimakumullah …
Berdasarkan informasi Al Qur’an di atas. Jelas bagi kita bahwa ciri-ciri muttaqin, meliputi aspek rohani dan jasmani. Aspek rohani menyangkut nilai-nilai keimanan yang terkandung dalam sanubari setiap muttaqin. Mereka dicirikan, pertama, sebagai hamba yang kuat keyakinannya pada Yang Ghaib. Seorang muttaqin, haqqul yaqin bahwa Allah merupakan zat yang menjadi tumpuan segala pengabdian. Hari kiamat, surga-neraka dan malaikat serta segala yang terkait dengan itu, benar adanya. Meski Yang Ghaib itu sama sekali tidak pernah tertangkap panca indera.
Kedua, hamba muttaqin adalah yang selalu mendirikan sholat, ditandai dengan semakin meningkatnya kualitas maupun kuantitas sholatnya, setiap kali keluar dari madrasah Ramadhan. Perbaikan kualitas sholat menjadi suatu keharusan, sehingga tingkat kekhusukannya akan terus mengalami perubahan, hingga merasakan betapa sholat merupakan kebutuhan hidup yang tak bisa ditinggalkan. Kuantitas sholat juga meningkat dengan semakin banyaknya amalan sholat sunnat yang mengiringi sholat wajib. Titik akhir dari proses peningkatan sholat itu, mampu mencegah seorang muttaqin dari perbuatan keji dan mungkar.
Ketiga, seorang muttaqin juga merelakan sebagian rezekinya diinfakkan kepada orang-orang yang membutuhkan. Al Qur’an menginformasikan, ada beberapa sistem pengeluaran harta yang dilakukan untuk membuktikan kualitas seorang hamba. Pertama, zakat. Sistem zakat adalah model pengeluaran harta yang paling rendah nilainya, karena hakikiatnya zakat merupakan paksaan Allah terhadap orang-orang yang pelit dalam mengeluarkan harta. Kedua, sedekah. Model ini diperuntukkan membangun kesadaran akan keikhlasan diri dalam membantu sesama. Sehingga, sedekah yang terbaik seperti diinformasikan Al Qur’an adalah mereka yang mengeluarkan hartanya baik diwaktu lapang maupun sempit. Ketiga, infak yakni model pengeluaran harta yang semata-mata hanya mencari keridhaan Allah, sehingga setiap rezeki yang diterima diyakini sebagian di antaranya merupakan milik orang lain. Model infak inilah yang menjadi cara para sahabat Rasulullah dalam mengeluarkan hartanya.
Keempat, mereka yang beriman kepada Al Qur’an dan kitab-kitab sebelumnya. Konsekwensi dari ciri keempat ini menutut setiap muttaqin untuk taat mutlak kepada wahyu Allah. Mereka meyakini sepenuhnya kebenaran wahyu Ilahi dan menjadikan Al Qur’an secara keseluruhan sebagai pedoman kehidupan. Tak ada keraguan didalam diri mereka. Al Qur’an menjadi sumber hukum, sumber pengetahuan, sumber informasi dalam mengdapat kebenaran hakiki.
Kelima, ketika berbuat salah langsung memohon keampunan kepada Allah. Orang yang bertaqwa sadar bahwa dosa-dosa yang dilakukan merupakan kejahatan yang akan menimbulkan laknat tidak hanya kepada diri sendiri tapi kepada makhluk lain. Karena itu, kejabatan sekecil apapun selalu saja dirasakan sebagai kejahatan atas Allah dan kemanusiaan.
Allahu akbar. Allahu akbar. Allahu Akbar Walillahilhamd.
Hadirin Rahimakumullah …
Berpegang pada ciri-ciri muttaqin itu, kini perhatikanlah bagaimana model kehidupan di sekitar kita. Bangsa ini, harus diakui sejak lama telah menjauh dari ciri-ciri sebagai bangsa muttaqin. Malah, kita terus berproses menjadi bangsa kufur yang tidak lagi mempedulikan berbagai keterangan Al Qur’an yang diyakini sebagai pedoman kehidupan.
Hari ini, keyakinan akan adanya Yang Ghaib hanya menjadi buah bibir dalam kehidupan kita. Allah hanya menjadi sebutan kata tanpa makna, di mana kebanyakan dari kita, tidak lagi bergetar hatinya ketika nama-nama serba Maha itu diucapkan. Kata Allah, telah keluar dari dada setiap orang dan berganti dengan Tuhan-Tuhan lain. Bangsa ini lebih takzim, lebih takut ketika nama penguasa disebutkan. Begitu juga dengan surga-neraka tidak lagi menjadi kabar pertakut. Hati kita, telah tertutup dan kalimat Yang Ghaib itu terlepas dari rekatan qalbu.
Jika demikian adanya, sholat pun tidak lagi menjadi amalan bermakna. Sholat kita hari ini telah kehilangan ruh hakiki sebagai sarana berdialog dengan Rabb. Kita tetap melakukan sholat, tapi kejahatan dan maksiat terus mengiringi sholat itu. Shubuh kita sholat, pagi berbuat dosa. Zuhur kita sholat siang berbuat aniaya. Ashar kita sholat, sore hari membohongi rakyat, Maghrib kita laksanakan malam kita memfitnah. Bahkan, ketika Isya kita lakukan, di sekeliling kita ada kejahatan bersimaharaja lela, tapi kita tak sanggup mencegahnya.
Hilangnya nilai-nilai keyakinan dan ibadah itu, menyebabkan kita makin tidak terkendali. Ketika Allah memerintahkan kita mengeluarkan zakat, sedekah dan infak yang terjadi kebanyakan kita menumpuk harta. Keserakahan dan ketamakan telah membuat kita gelap mata. Seakan-akan harta itu akan mampu menolong kita dari azab Allah. Lihatlah, betapa sehari-hari orang disibukkan dengan mencari dan mengumpul harta. Punya rumah satu kepingin dua, dapat mobil satu maunya dapat dua, begitu seterusnya. Bahkan, upaya mendapatkan harta pun tidak lagi menimbang halal dan haram. Maka muncullah istilah, yang haram saja susah di dapat apalagi yang halal, sehingga semua berproses ke arah menghalalkan semua cara.
Allahi Akbar. Allahu Akbar. Allahu Akbar. Walillahilhamd.
Hadirin Yang Dirahmati Allah.
Itu sebabnya, nikmat yang semula diberikan Allah kepada bangsa ini, berupa tanah yang subur, alam yang indah, iklim yang ramah tak lagi menjadi rahmat, tapi berubah menjadi laknat.
Perhatikan Q.s. An Nahl : 112. “Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan, sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang melimpah ruah dari segenap penjuru, tetapi penduduknya mengingkari nikmat-nikmat Allah; Karena itu, Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat.”
Kondisi ini diperjelas Allah Swr, dalam Q.s. Ibrahim : 7 : “Dan ingatlah, ketika Tuhanmu memaklumkan; Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti akan kami tambah nikmat kepadamu, dan jika kamu mengingkari, sesungguhnya azabKu sangat pedih.”
Allah juga menyindir dengan kasar bangsa ini, dalam Q.s. As Sajadah : 21. “Dan sesungguhnya Kami merasakan kepada mereka sebagian dari azab yang dekat (di dunia) sebelum azab yang lebih besar (di akhirat) mudah-mudahan mereka kembali ke jalan yang benar.”
Dalam kondisi demikian, sudah saatnya bangsa ini melakukan pertobatan besar. Sebelum kita mendapat laknat yang jauh lebih dahsyat dan mengerikan. Akankah kita mewariskan sebuah negeri yang hancur berantakan kepada anak cucunya kita, hanya karena tingkah polah kita yang jauh dari tuntunan Allah. Ingatlah, betapa Allah memberi contoh kehancuran kepada kaum “Ad, kaum Tsamud, kaum Luth yang mereka berbuat kejahatan besar, kemudian negeri mereka dihancurkan Allah. Apakah kita tidak pernah merasakan, betapa selama ini, langkah kita sudah demikian jauh dari ketentuan dan syariat Allah? Kembalilah, sebelum Allah menurunkan murkanya yang lebih dahsyat.
Di hari Idul Fithri ini, selayaknya semua diri berintrospeksi sudah seberapa besar andil kita dalam menabur dosa terhadap negeri ini. Seberapa besar pula kejahatan yang kita sumbangkan kepada bangsa ini, hingga tanpa sadar kita bergorong royong membawa negeri ini ke jurang kehancuran. Mari sejenak kita tafakkur memohon ampun.
Ya Rabb ….
Dengarlah munajat kami dalam kemenangan Idul Fithri ini.
Sungguh kami adalah hamba mu yang tak tahu diri
Engkau beri kami nikmat yang besar, tapi kami selalu mendustakannya
Engkau beri kami negeri nan indah, tapi kami tak pandai mensyukurinya
Kau berikan kami rejeki yang halal, tapi kami tetap butuh yang haram
Kau anugerahi kami pengetahuan, tapi kami gunakan untuk berbuat kerusakan …
Sungguh ya Allah kami menzhalimi diri ini …
Setiap kali kami menyebut namaMu … Kami kehilangan makna itu
Akankah Engkau memaafkan kami dari kealpaan ini ….
Ya Rabb …
Dalam gelimang Idul Fithri ini, dengarlah munajat kami …
Ampun dosa kami Ya Allah ….
Ampunkan kesalahan kami Ya Rahman …
Ampunkan segala kealpaan kami yang berbuah dosa Ya Rahim …
Ampunkan pula kesalahan kedua ibi bapak kami …
Maaf kejahatan yang dilakukan para pemimpin kami …
Berikan petunjuk atas mereka … Ya Allah …
Rabbana Atinaa Fid dunia hasanah wa fil akhirati hasanah
Wa qinaa azaabannaar. Walhamdulillahi rabbil ‘aalamin … Wassalmu alaikum Wr, Wb.
Tebing Tinggi, 29 September 2009
Abdul Khalik, S.Ag, M.AP
Allahu akbar kabiira wal hamdu lillahi katsira wasubhanallahi bukratawwa ashila. Laa ilahaa illallah wahdahu shadaqa wa’ dah, wa nashara ‘abdah wa aazzajundahu wa hazamal ahzaaba wa’dah.
Asyhadu an laa ilaaha illallah wa asyhadu anna Muhammadan rasulullah. Alhamdulillahiladzi anzala sakiinata fii qulubul mukminin, liyazdadu imaanan ma’a imanihim. Allahumma shalli a’ala Muhammadin wa’ala alihi washahbihi wasallim ajma’in. Amma ba’du
Faqalallahu Ta’ala fii kitabil karim : Qad aflahaman tazakka. Wazakarasma rabbihi fashalla.
Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar wa lillahilhamdu.
Kaum muslimin dan muslimat, jamaah Idul Fithri yang dimuliakan Allah. Tak terasa kita telah meninggalkan Ramadhan yang penuh berkah didalamnya. Bulan di mana setiap orang beriman menghadapi perang besar untuk menentukan status diri apakah berhasil keluar sebagai manusia bertitel muttaqin, atau manusia yang gagal dalam munaqashah kemanusiaan itu. Madrasah Ramadhan telah menyiapkan kurikulum sunnatullah yang jika dijalani dengan baik, Insya Allah proses mencapai derajat kemanusiaan tertinggi bisa dicapai, meski dengan perjuangan yang amat berat.
Betapa tidak, dalam tempaan Ramadhan seorang hamba telah diajarkan untuk bisa menahan segala bentuk godaan duniawi berbau nafsu syahwat, mulai dari makan-minum hingga hubungan suami-istri. Manusia juga diajarkan untuk bisa menahan segala bentuk godaan berbagai penyakit mental, mulai dari menjaga amarah, menyimpan sifat serakah, iri, dengki, tamak sebagai penyakit hati. Madrasah Ramadhan memerintahkan kita untuk menghidupkan malam dengan ibadah shalatul lail, membaca Al Qur’an, bangun di waktu shahur yang bagi orang-orang munafik sistem demikian sangat berat. Pantaslah, jika Allah memberikan derajat ketaqwaan kepada hambanya yang bisa melalui ujian itu.
“Hai sekalian yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu.” Q.s. Al Baqarah : 183.
Allahu akbar. Allah akbar. Allahu Akbar Walillahilhamd.
Ketaqwaan sebagai titel kepada manusia yang lulus di madrasah Ramadhan, harus dipahami sebagai derajat tertinggi kehambaan di hadapan Allah. Karena itu, Allah membeberkan keistimewaan muttaqin dalam beberapa ayat Al Qur’an. Beberapa ayat memberian ciri-ciri sang muttaqin itu dengan demikian indah.
Perhatikanlah Q.s. Al Baqarah : 1-4. “Alif Lam Mim. Kitab (Al Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya menjadi petunjuk bagi para muttaqin. (Yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, mereka yang menegakkan sholat, mereka yang menafkah sebagian rezeki yang dianugerahkan kepada mereka. Mereka yang beriman kepada kitab (Al Qur’an) yang telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya kehidupan akhirat.”
Perhatikan pula Q.s. Ali Imran : 133-135. “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa. (Yaitu) orang-orang yang menafkahkan hartanya, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuatan kebajikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila berbuat keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat kepada Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka, dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.”
Allahu akbar. Allahu akbar. Allahu akbar walillahilhamd.
Hadirin Rahimakumullah …
Berdasarkan informasi Al Qur’an di atas. Jelas bagi kita bahwa ciri-ciri muttaqin, meliputi aspek rohani dan jasmani. Aspek rohani menyangkut nilai-nilai keimanan yang terkandung dalam sanubari setiap muttaqin. Mereka dicirikan, pertama, sebagai hamba yang kuat keyakinannya pada Yang Ghaib. Seorang muttaqin, haqqul yaqin bahwa Allah merupakan zat yang menjadi tumpuan segala pengabdian. Hari kiamat, surga-neraka dan malaikat serta segala yang terkait dengan itu, benar adanya. Meski Yang Ghaib itu sama sekali tidak pernah tertangkap panca indera.
Kedua, hamba muttaqin adalah yang selalu mendirikan sholat, ditandai dengan semakin meningkatnya kualitas maupun kuantitas sholatnya, setiap kali keluar dari madrasah Ramadhan. Perbaikan kualitas sholat menjadi suatu keharusan, sehingga tingkat kekhusukannya akan terus mengalami perubahan, hingga merasakan betapa sholat merupakan kebutuhan hidup yang tak bisa ditinggalkan. Kuantitas sholat juga meningkat dengan semakin banyaknya amalan sholat sunnat yang mengiringi sholat wajib. Titik akhir dari proses peningkatan sholat itu, mampu mencegah seorang muttaqin dari perbuatan keji dan mungkar.
Ketiga, seorang muttaqin juga merelakan sebagian rezekinya diinfakkan kepada orang-orang yang membutuhkan. Al Qur’an menginformasikan, ada beberapa sistem pengeluaran harta yang dilakukan untuk membuktikan kualitas seorang hamba. Pertama, zakat. Sistem zakat adalah model pengeluaran harta yang paling rendah nilainya, karena hakikiatnya zakat merupakan paksaan Allah terhadap orang-orang yang pelit dalam mengeluarkan harta. Kedua, sedekah. Model ini diperuntukkan membangun kesadaran akan keikhlasan diri dalam membantu sesama. Sehingga, sedekah yang terbaik seperti diinformasikan Al Qur’an adalah mereka yang mengeluarkan hartanya baik diwaktu lapang maupun sempit. Ketiga, infak yakni model pengeluaran harta yang semata-mata hanya mencari keridhaan Allah, sehingga setiap rezeki yang diterima diyakini sebagian di antaranya merupakan milik orang lain. Model infak inilah yang menjadi cara para sahabat Rasulullah dalam mengeluarkan hartanya.
Keempat, mereka yang beriman kepada Al Qur’an dan kitab-kitab sebelumnya. Konsekwensi dari ciri keempat ini menutut setiap muttaqin untuk taat mutlak kepada wahyu Allah. Mereka meyakini sepenuhnya kebenaran wahyu Ilahi dan menjadikan Al Qur’an secara keseluruhan sebagai pedoman kehidupan. Tak ada keraguan didalam diri mereka. Al Qur’an menjadi sumber hukum, sumber pengetahuan, sumber informasi dalam mengdapat kebenaran hakiki.
Kelima, ketika berbuat salah langsung memohon keampunan kepada Allah. Orang yang bertaqwa sadar bahwa dosa-dosa yang dilakukan merupakan kejahatan yang akan menimbulkan laknat tidak hanya kepada diri sendiri tapi kepada makhluk lain. Karena itu, kejabatan sekecil apapun selalu saja dirasakan sebagai kejahatan atas Allah dan kemanusiaan.
Allahu akbar. Allahu akbar. Allahu Akbar Walillahilhamd.
Hadirin Rahimakumullah …
Berpegang pada ciri-ciri muttaqin itu, kini perhatikanlah bagaimana model kehidupan di sekitar kita. Bangsa ini, harus diakui sejak lama telah menjauh dari ciri-ciri sebagai bangsa muttaqin. Malah, kita terus berproses menjadi bangsa kufur yang tidak lagi mempedulikan berbagai keterangan Al Qur’an yang diyakini sebagai pedoman kehidupan.
Hari ini, keyakinan akan adanya Yang Ghaib hanya menjadi buah bibir dalam kehidupan kita. Allah hanya menjadi sebutan kata tanpa makna, di mana kebanyakan dari kita, tidak lagi bergetar hatinya ketika nama-nama serba Maha itu diucapkan. Kata Allah, telah keluar dari dada setiap orang dan berganti dengan Tuhan-Tuhan lain. Bangsa ini lebih takzim, lebih takut ketika nama penguasa disebutkan. Begitu juga dengan surga-neraka tidak lagi menjadi kabar pertakut. Hati kita, telah tertutup dan kalimat Yang Ghaib itu terlepas dari rekatan qalbu.
Jika demikian adanya, sholat pun tidak lagi menjadi amalan bermakna. Sholat kita hari ini telah kehilangan ruh hakiki sebagai sarana berdialog dengan Rabb. Kita tetap melakukan sholat, tapi kejahatan dan maksiat terus mengiringi sholat itu. Shubuh kita sholat, pagi berbuat dosa. Zuhur kita sholat siang berbuat aniaya. Ashar kita sholat, sore hari membohongi rakyat, Maghrib kita laksanakan malam kita memfitnah. Bahkan, ketika Isya kita lakukan, di sekeliling kita ada kejahatan bersimaharaja lela, tapi kita tak sanggup mencegahnya.
Hilangnya nilai-nilai keyakinan dan ibadah itu, menyebabkan kita makin tidak terkendali. Ketika Allah memerintahkan kita mengeluarkan zakat, sedekah dan infak yang terjadi kebanyakan kita menumpuk harta. Keserakahan dan ketamakan telah membuat kita gelap mata. Seakan-akan harta itu akan mampu menolong kita dari azab Allah. Lihatlah, betapa sehari-hari orang disibukkan dengan mencari dan mengumpul harta. Punya rumah satu kepingin dua, dapat mobil satu maunya dapat dua, begitu seterusnya. Bahkan, upaya mendapatkan harta pun tidak lagi menimbang halal dan haram. Maka muncullah istilah, yang haram saja susah di dapat apalagi yang halal, sehingga semua berproses ke arah menghalalkan semua cara.
Allahi Akbar. Allahu Akbar. Allahu Akbar. Walillahilhamd.
Hadirin Yang Dirahmati Allah.
Itu sebabnya, nikmat yang semula diberikan Allah kepada bangsa ini, berupa tanah yang subur, alam yang indah, iklim yang ramah tak lagi menjadi rahmat, tapi berubah menjadi laknat.
Perhatikan Q.s. An Nahl : 112. “Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan, sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang melimpah ruah dari segenap penjuru, tetapi penduduknya mengingkari nikmat-nikmat Allah; Karena itu, Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat.”
Kondisi ini diperjelas Allah Swr, dalam Q.s. Ibrahim : 7 : “Dan ingatlah, ketika Tuhanmu memaklumkan; Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti akan kami tambah nikmat kepadamu, dan jika kamu mengingkari, sesungguhnya azabKu sangat pedih.”
Allah juga menyindir dengan kasar bangsa ini, dalam Q.s. As Sajadah : 21. “Dan sesungguhnya Kami merasakan kepada mereka sebagian dari azab yang dekat (di dunia) sebelum azab yang lebih besar (di akhirat) mudah-mudahan mereka kembali ke jalan yang benar.”
Dalam kondisi demikian, sudah saatnya bangsa ini melakukan pertobatan besar. Sebelum kita mendapat laknat yang jauh lebih dahsyat dan mengerikan. Akankah kita mewariskan sebuah negeri yang hancur berantakan kepada anak cucunya kita, hanya karena tingkah polah kita yang jauh dari tuntunan Allah. Ingatlah, betapa Allah memberi contoh kehancuran kepada kaum “Ad, kaum Tsamud, kaum Luth yang mereka berbuat kejahatan besar, kemudian negeri mereka dihancurkan Allah. Apakah kita tidak pernah merasakan, betapa selama ini, langkah kita sudah demikian jauh dari ketentuan dan syariat Allah? Kembalilah, sebelum Allah menurunkan murkanya yang lebih dahsyat.
Di hari Idul Fithri ini, selayaknya semua diri berintrospeksi sudah seberapa besar andil kita dalam menabur dosa terhadap negeri ini. Seberapa besar pula kejahatan yang kita sumbangkan kepada bangsa ini, hingga tanpa sadar kita bergorong royong membawa negeri ini ke jurang kehancuran. Mari sejenak kita tafakkur memohon ampun.
Ya Rabb ….
Dengarlah munajat kami dalam kemenangan Idul Fithri ini.
Sungguh kami adalah hamba mu yang tak tahu diri
Engkau beri kami nikmat yang besar, tapi kami selalu mendustakannya
Engkau beri kami negeri nan indah, tapi kami tak pandai mensyukurinya
Kau berikan kami rejeki yang halal, tapi kami tetap butuh yang haram
Kau anugerahi kami pengetahuan, tapi kami gunakan untuk berbuat kerusakan …
Sungguh ya Allah kami menzhalimi diri ini …
Setiap kali kami menyebut namaMu … Kami kehilangan makna itu
Akankah Engkau memaafkan kami dari kealpaan ini ….
Ya Rabb …
Dalam gelimang Idul Fithri ini, dengarlah munajat kami …
Ampun dosa kami Ya Allah ….
Ampunkan kesalahan kami Ya Rahman …
Ampunkan segala kealpaan kami yang berbuah dosa Ya Rahim …
Ampunkan pula kesalahan kedua ibi bapak kami …
Maaf kejahatan yang dilakukan para pemimpin kami …
Berikan petunjuk atas mereka … Ya Allah …
Rabbana Atinaa Fid dunia hasanah wa fil akhirati hasanah
Wa qinaa azaabannaar. Walhamdulillahi rabbil ‘aalamin … Wassalmu alaikum Wr, Wb.
Tebing Tinggi, 29 September 2009
Abdul Khalik, S.Ag, M.AP
Post a Comment for "Khutbah Idul Fithri 1429 H. Ketika Dosa Dipandang Sebelah Mata"