----iklan---- Merumuskan Kebijakan Segera 180 Hari ‘Kabinet’ Umar-Irham - JEJAK KHALIK
Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Merumuskan Kebijakan Segera 180 Hari ‘Kabinet’ Umar-Irham


Pada 5 Agustus 2011, saat pasangan wali kota Ir. H. Umar Zunaidi Hasibuan, MM dan wakilnya H. Irham Taufik, SH, MAP dilantik Pj. Gubsu Gatot Pujo Nugroho, ST, dalam kemeriahan. Saat itu pula, Yurni Chan, 56, warga Link.06, Kel. Mandailing, Kec. T.Tinggi Kota, terbaring tak sadarkan diri di ruang kelas III RSUD Dr.H.Kumpulan Pane. Pasien keluarga tak mampu itu, telah satu pekan menempati di ruangan pasien Jamkesmas dan Jamkesda itu.

Anak-anak pasien tak mampu itu, harus pontang panting mencari biaya membeli perobatan orang tua mereka, karena Yurni Chan tidak masuk dalam daftar peserta Jamkesmas maupun Jamkesda. Padahal, pasien itu, merupakan bilal mayit perempuan kelurahan, kader PKK dan aktifis Aisyiyah yang aktif dalam berbagai kegiatan sosial dan jadi tumpuan masyarakat.

Ironinya, ketika Yurni Chan meninggal, pukul 04.00 dini hari, Minggu (7/8), pihak RSUD tidak membolehkan jenazahnya dibawa pulang, sebelum seluruh biaya perobatan dilunasi. Pagi buta itu juga, anak-anak mendiang terpaksa menggedor rumah kerabatnya, untuk mengumpulkan dana melunasi biaya perobatan orang tua mereka. Kini, anak-anak almarhumah menanggung hutang yang tak tahu kapan harus mereka bayar.

Cerita pilu keluarga tidak mampu yang tersia-siakan akibat kebijakan kesehatan publik yang tak tepat, diyakini akan terus berulang. Jika tidak ada perombakan kebijakan dari ‘kabinet’ Umar-Irham atas hal itu Tak hanya di sektor kesehatan publik, insiden serupa mungkin terjadi pula pada banyak sektor pelayanan publik lain, yang mungkin tidak terungkap ke permukaan atau hilang ditelan waktu yang terus beredar.

Karena itu, kepemimpinan Umar-Irham dituntut merevitalisasi kebijakan-kebijakan yang ada sebelumnya, guna mengurangi berbagai anomali publik yang terjadi. Kebijakan segera, harus dilakukan agar daftar panjang ketidak adilan terhadap rakyat kecil, bisa segera ditanggulangi.

Pj. Gubsu Gatot Pujo Nugroho, dalam pidato pelantikan, mengingatkan pasangan wali kota periode 2011-2016 itu, segera merumuskan Rencana Program Jangka Menengah Daerah (RPJMD) sebagai acuan pemerintahan, dalam masa enam bulan atau lebih kurang 180 hari kerja.

Namun, pemaknaan lebih substantif yang dimaksud Pj. Gubsu, agaknya bukan hanya fokus pada merumuskan RPJMD, Tapi dalam masa itu, wali kota dan wakilnya, sudah harus pula menangkap denyut nadi masyarakat yang rindu pada pelayanan publik yang baik, adil dan bermartabat, dengan sedapat mungkin merealisasikannya.

Selain pembenahan di sektor pelayanan kesehatan publik, kebijakan segera dan mendesak yang harus dilakukan wali kota dan wakilnya, agaknya terdapat pada sektor penataan pasar dan transportasi, bantuan sosial, administrasi kependudukan, serta reformasi birokrasi. Kelima sektor publik itu, seyogianya menjadi starting point ‘kabinet’ Umar-Irham. Karena dampak kebijakan kurang tepat sekira sembilan bulan sebelumnya, ternyata membawa implikasi negatif luar biasa, bagi dinamika publik.

Kesehatan Publik

Di sektor kesehatan publik untuk rakyat kurang mampu, sudah ada program Jamkesmas yang diluncurkan Pemerintah Pusat. Kebijakan itu, ternyata diikuti oleh kebanyakan daerah bawahan melalui program Jamkesda atau semodel dengan itu. Untuk Kota Tebingtinggi, telah dianggarkan dana Jamkesda berbentuk pelayanan kesehatan dasar Puskesmas bagi 10.000 warga kurang mampu, melalui kerjasama pembiayaan dengan Pt. Askes. Namun, faktanya banyak di antara warga yang berhak mendapatkannya, tidak memperoleh fasilitas itu. Kasus Yurni Chan, adalah fakta tentang lemahnya sistem Jamkesda Pemko Tebingtinggi.

Dalam enam bulan ke depan, wali kota dan wakilnya sudah harus mencari formulasi yang adil, terkait pelayanan kesehatan dasar warga kurang mampu itu. Ada usulan, agar program itu tidak lagi bekerjasama dengan Pt. Askes, namun dikelola oleh semacam badan layanan umum (BLU) yang melibatkan instansi pemerintah dan stakeholders. Dalam program itu, masyarakat tak mampu yang sakit akan langsung ditangani, via dana yang ada di APBD, tanpa proses by name by adress. “Cukup surat keterangan dari lurah dan disetujui stakeholders, si pesakitan bisa diobati,” ujar seorang pekerja kesehatan. Jika model sekarang ini, banyak kelemahannya disamping menguntungkan sebagian orang, tapi merugikan banyak rakyat kecil.

Pasar Dan Transportasi

Hal mendesak lainnya, adalah penataan pasar yang kondisinya saat ini sangat semrawut. Tingkat kemacetan di jalan-jalan utama Kota Tebingtinggi, satu tahun ke depan, diperkirakan akan menyamai kepadatan di kota besar, jika tak ada penataan segera. Lokasi kemacetan yang terdeteksi, misalnya di Jalan Pahlawan, Haryono MT, Iskandar Muda, Thamrin dan KHA Dahlan, semua berada di inti kota. Hal itu, terjadi akibat kebijakan penataan pedagang K5 yang tak tepat.

Gagasan membangun pusat jajanan malam “Tebing Square” yang tidak matang secara konsepsional, mengakibatkan PKL menyerbu areal pedestrian (lokasi pejalan kaki) di inti kota, khususnya di Jalan Pahlawan dan Merdeka. Dampaknya luar biasa. Berjalan-jalanlah mengelilingi inti kota itu, Anda tidak lagi akan menemukan trotoar yang bersih dan rapi serta bebas PKL. Kondisi palingh parah dan sudah menahun terlihat di Jalan Haryomo MT. Kondisi itu, sebenarnya melanggar UU Lalu Lintas. Di mana pejalan kaki wajib dihormati dan didahulukan hak-haknya. Anomali sosial pun muncul, demi memberi kesempatan berusaha sekelompok PKL, hak publik dirampok dengan semena-mena.

Tak cuma itu, kesemrawutan jalan punya korelasi dengan proyek pusat perbelanjaan tradisional yang tak selesai, yakni Pasar Gambir, Pasar Sakti dan Pasar Senangin. Untuk lebih mengoptimalkan penyelesaikan pembangunan dua pasar, yakni Pasar Gambir dan Pasar Sakti, sudah harus dirumuskan kebijakan membentuk unit pelayanan teknis daerah pasar (UPTD Pasar) dengan wewenang diperluas hingga jangka tertentu.

Upaya memformulasikan, harus dilakukan dalam enam bulan ke depan, agar di 2012, program penataan pasar tradisional bisa dimulai, ditengah kian maraknya mini market yang mengepung kota. Sedangkan Pasar Senangin memang harus direlokasi, tapi terjadi kembali anomali administrasi, karena di APBD 2011 ada dana rehabilitasi pasar itu. Padahal, bangunan itu sejak awal melanggar UU Lingkungan, karena berada di sempadan sei Padang.

Bantuan Sosial

Persoalan penting lainnya yang harus mendapat perhatian serius, adalah bantuan sosial kepada masyarakat yang tersebar di berbagai satuan kerja perangkat daerah (SKPD). Untuk bantuan langsung terdapat di Bagian Adm. Kesejahteraan Sosial dan Bagian Adm. Perekonomian Sekretariat Pemko Tebingtinggi, Dinas Sosial dan Tenaga Kerja, Disporabudpar serta Badan Kesbangpol dan Linmas.

Sedangkan bantuan tidak langsung, bisa ditemukan di Dinas Kesehatan, Dinas Pertanian, Dinas Pendidikan, Disperindagkop dan UKM dan Kantor Pemberdayaan Perempuan.

Alokasi anggaran sosial yang kecil dan terbatas, mengakibatkan banyak bantuan kepada masyarakat yang sifatnya segera, tidak dapat direalisasikan. Belum lagi terjadinya tumpang tindih tugas pokok dan fungsi setiap satuan kerja. Di mana hampir di setiap SKPD yang langsung bersentuhan dengan masyarakat memiliki program sosial sejenis, sehingga rentan terhadap penyimpangan dalam realisasinya di lapangan.

Dalam tempo enam bulan ini, wali kota dan wakilnya sudah harus merumuskan kebijakan bantuan sosial yang fokus dan terpadu antar SKPD. Di samping upaya memperbesar alokasi bantuan sosial dibanding proyek-proyek pisik yang itu ke itu saja setiap tahunnya, terutama di Dinas PU. Pemko Tebingtinggi sudah harus merubah mind set kebijakan program dari pembangunan pisik berbentuk sarana dan prasarana, menjadi pembangunan mental spiritual dan kultural masyarakat, berpijak pada aksi-aksi sosial.

Administasi kewilayahan

Jika kita mau jujur, kebijakan administrasi kewilayahan Kota Tebingtinggi, sejak lama paling amburadul. Bayangkan saja, Pemko Tebingtinggi tidak memiliki sistem yang ajeg untuk bisa mendeteksi arus keluar-masuk penduduk dari dan ke dalam kota, sehingga kota ini menjadi bronx city. Sistem pelaporan 2 x 24 jam di setiap lingkungan, sejak lama telah mati suri. Maka tidak mengherankan jika intensitas kejahatan di Kota Tebingtinggi, makin tahun terus meningkat dan sulit untuk ditangani. Salah satu kasus kejahatan paling merisaukan, adalah perampokan dan pencurian terhadap nasabah bank yang bisa terjadi hampir setiap minggu.

Sejak 20 tahun terakhir misalnya, Pemko Tebingtinggi tidak lagi memiliki nomor register rumah tangga di setiap lingkungan, sehingga data, dan keberadaan keluarga menjadi labil. Demikian pula dengan penamaan gang dan jalan baru, tidak lagi menjadi tema penting dalam administrasi wilayah dan kependudukan. Akibatnya, masyarakat sesuka hati membuat nama gang maupun jalan baru di lingkungan. Situasi demikian, berdampak pada susahnya mengenal dengan cepat wilayah kota hingga lingkungan (RT/RW).

Dalam konteks demikian, wali kota dan wakilnya harus memformulasi penataan administrasi wilayah kependudukan dalam rangka input dan output data kependudukan yang valid. Misalnya, penomoran rumah tangga tersistematis serta penamaan gang dan jalan baru yang legal. Dalam jangka waktu satu tahun, sudah perlu dipersiapkan regulasi yang berkaitan dengan administrasi wilayah kependudukan itu.

Reformasi Birokrasi

Kebijakan mendesak ini, diperkirakan paling sensitif dan akan menimbulkan pro dan kontra. Namun, kewajiban pemimpin adalah mengembalikan posisi birokrasi kepada sepur yang ada sesuai ketentuan peraturan. Harus diakui, kebijakan mutasi jungkir balik yang dilakukan sebelumnya, telah mengangkangi asas merid system dalam karir di dunia birokrasi.

Maka jangan heran, jika gonjang ganjing soal posisi pejabat di lingkungan Pemko Tebingtinggi terus jadi pembicaraan hangat. Pembicaraan itu, umumnya terfokus pada tidak diterapkannya asas ‘the right man on the right please’ dalam penempatan posisi jabatan di SKPD. Di samping adanya kebijakan import pejabat serta kenaikan pangkat ala naga bonar guna mendongkrak syarat jabatan.

Hal yang juga menjadi pemikiran, adalah pembentukan satuan perangkat daerah yang sama sekali tidak berdasarkan legalitas hukum, misalnya Badan Koordinasi Bencana Alam Daerah (BKAD) dan Sekretaris KORPRI. Kondisi demikian, jelas merupakan cacat birokrasi yang harus segera diclearkan.

Wali kota dan wakilnya sudah harus menuntaskan persoalan internal di atas, secara elegan dan terukur. Karena dalam penataan kebijakan mendesak itu, akan ditemukan berbagai benturan administratif, hukum dan politik. Tapi hal itu harus dilakukan, sebagai konsekuensi ke arah perwujudan Kota Tebingtinggi sejahtera sesuai visi dan misi ‘kabinet’ Umar-Irham.

Akhirul kata, di masa Khulafur Rasyidin umat Islam mengenal seorang khalifah Islam bernama Umar Bin Khattab. Salah satu di antara cerita populernya, adalah kesedian Umar memikul gandum di pundaknya untuk di antar kepada rakyat miskin. “Aku takut kepada Allah, jika di akhirat kelak Dia bertanya soal kepemimpinanku, karena ada rakyat yang lapar,” ujar Umar Bin Khattab.

Ketakutan Umar Bin Khattab kepada Allah, pantas dijadikan suri teladan Wali Kota Ir.H.Umar Zunaidi Hasibuan, MM dan wakilnya H. Irham Taufik, SH, MAP. Bahwa jabatan yang diemban saat ini bukan suatu rahmat, melainkan suatu amanah yang harus dipenuhi dan kelak diminta pertanggung jawabannya oleh Allah Azza Wa Jalla…Semoga keduanya kuat mengemban amanah itu.

BANJIR adalah salah satu momok bagi masyarakat Kota Tebingtinggi. Bencana alam itu datang setiap tahunnya dan merusak apa yang mereka miliki. Di masa Umar-Irham, penanganan masalah banjir tampaknya jadi prioritas. Foto direkam, belum lama ini.Khaliknews

Post a Comment for "Merumuskan Kebijakan Segera 180 Hari ‘Kabinet’ Umar-Irham"