Pulau Berhala, Eksotisme Di Batas Negara
Jika Anda ingin berkunjung ke pulau satu ini, ada dua
jalur yang bisa ditempuh. Umumnya, para pengunjung yang ingin datang ke sana
melalui jasa travel, selalu ditawari menggunakan jalan via pelabuhan Bedagai di
Kec. Tanjung Beringin. Di pelabuhan kecil itu, memang telah tersedia sejumlah
perahu besar yang bisa memuat 20 hingga 30 pengunjung untuk sekali angkut. Kabarnya, jasa travel mengutip dana berwisata
ke Pulau Berhala antara Rp350 ribu hingga Rp400 ribu per orang. Perjalanan
menuju pulau terluar di Selat Malaka itu dapat ditempuh maksimal 2,5 jam saja.
Tak ingin mengikuti jalur ‘resmi’ menuju pulau di batas
negara itu, penulis menempuh satu jalur lagi yang juga jaraknya tidak jauh
berbeda dengan yang pertama. Titik keberangkatan di mulai dari Pagurawan, Kec.
Medang Deras, Kab. Batubara. Namun, sebelum berangkat harus dulu memesan (carter)
parahu yang akan mengantar ke sana. Harganya bervariasi tergantung kepintaran
menawar menghadapi muslihat nelayan. Harga disepakati Rp3,5 juta untuk
pergi-pulang, dengan menggunakan perahu bermuatan maksimal 10 orang. Pagi
menjelang siang di suatu hari November tahun lalu, kami pun mengarungi Selat
Malaka.
Di atas perahu kecil yang membelah sungai Suka hingga ke
muara, ada rekan yang merasakan perjalanan ini perbuatan nekad yang memicu
adrenalin. Bagaimana tidak, di atas perahu, tangan kami bisa menyibak permukaan
air laut, dalam deburan gelombang yang tak jarang mengombang-ambingkan perahu kecil
yang kami tumpangi. Resiko perahu kecil itu terbalik, selalu mengisi ruang
pikiran masing-masing, meski guide yang juga nelayan Pagurawan itu
selalu membuat Kami tenang. Kami memang lebih banyak diam saat di perjalanan
dengan waktu tempuh 3 jam.
Sesampai di pangkalan Pulau Berhala, hampir saja
rombongan kami ditolak oleh petugas marinir TNI AL yang menjaga pulau itu.
Maklum saja, karena Kami memang menggunakan ‘jalur tidak resmi’. Hanya saja
nelayan Pagurawan membawa surat dari Pol Airud serta mengungkapkan identitas
wisatawan yang umumnya jurnalis, pihak TNI AL kemudian mengijinkan kami untuk
mendarat. Saat kami mendarat, waktu
menunjukkan pukul 16.00, sehingga langsung saja berkoordinasi dengan ‘para
pahlawan pengawal negara’ itu. Hasil koordinasi memuaskan, Kami mendapat
kehormatan untuk bermalam di komplek barak marinir TNI AL. Kamplek barak,
berada di sebelah selatan dari pangkalan utama marinir di pulau itu. Barak
marinir itu, berada di tepi pantai, ditata sedemikian rupa, sehingga terkesan
asri. Menjelang malam, suasana pulau seluas 2,5 hektar itu, terasa adem dan
nyaman yang berbeda 180 derajat dibandingkan, suasana di keramaian. Hanya
deburan ombak yang menghempas pantai serta suara-suara burung dan hewan hutan,
menjadi musik alam yang menemani aktifitas Kami. Ketika sunset memasuki
peraduan di batas cakrawala, Pulau Berhala pun jadi gelap gulita.
Ketika makan malam, Kami pun
mengundang para marinir TNI AL itu santap bersama. Keakraban di antara Kami
tiba-tiba membuat suasana hening pulau itu, berubah menjadi hiruk pikuk tawa
dan canda. Kami pun mulai mengorek berbagai hal tentang keberadaan pulau ini.
Dari mereka, hanya sedikit yang kami tahu, meski ada janji, esok harinya
eksotisme pulau itu akan dieksplorasi.
Dari percakapan malam itu, mengungkap
pula adanya sejumlah makam tak di kenal di pulau itu. Makam-makam itu, memang
tempat berkubur orang-orang tak dikenal. Umumnya, mayat-mayat yang terdampar di
Pulau Berhala, tanpa identitas. Tak hanya itu, tak jarang mayat-mayat yang
terdampar selain tak beridentitas, juga dengan potongan tubuh tak lengkap.
“Kalau ada mayat yang terdampar, tak ada identitas atau cuma potongan badan,
harus dikebumikan. Di komplek makam itu lah,” terang seorang marinir. Sedangkan
prosesi penguburan mayat-mayat itu tanpa upacara keagamaan, karena tak tahu apa
agama mayat-mayat misterius itu. Cerita itu, menjadi pengantar tidur
‘menyeramkan’ bagi beberapa rekan kami.
Bangunan
Radar Pantau
Pada anak tangga ke 50, kami
menjumpai komplek perumahan para penjaga mercusuar. Hanya ada tiga rumah di
komplek itu. Saat melanjutkan perjalanan ke atas, ternyata sedang dilaksanakan
proses pembangunan menara radar di sekitar bangunan mercusuar. Saat itu, menara
radar itu dibangun oleh kontraktor asal Jakarta yang berpengalaman dalam soal
itu. Setiba di atas, kami langsung menaiki bangunan mercusuar dan menikmati
keindahan lautan di sekitar Pulau Berhala.
Sebagai pulau terluar
Indonesia di kawasan Selat Malaka, jalur laut Internasional hanya berkisar satu
mil saja jaraknya. Dari puncak Pulau Berhala, kita bisa menyaksikan hilir
mudiknya sejumlah kapal di kejauhan. Tak hanya itu, sekira 3 mil laut dari
Pulau Berhala terdapat Pulau Datuk yang kini menjadi batas terluar Negara
Malaysia. “Dulu, sekira 1970-an pulau itu sering dikunjungi nelayan dari Pagurawan
sini, tapi sekarang tak bisa lagi,” ujar Zulham, nelayan yang menemani kami. Bahkan,
ada cerita Pulau Datuk itu, dulunya merupakan territorial Indonesia, namun
karena tak dikelola secara baik, akhirnya diambil negara tetangga yang haus
pulau-pulau tak berpenghuni. Seringkali nelayan-nelayan RI ditangkap kapal
patroli Tentara Laut Diraja Malaysia (TLDM) ketika mencari ikan di sekitar
Pulau Datuk. Padahal, banyak nelayan masih merasakan kawasan laut yang mereka
datang masih dalam wilayah NKRI, karena kebiasaan di masa lalu menganggap Pulau
Datuk bagian dari NKRI. Nasib Pulau Sipadan dan Ligitan di Kalimantan yang
dikuasai Malaysia melalui sidang Mahkamah Internasional, terjadi lagi dengan
Pulau Datuk meski dengan strategi yang berbeda.
Penulis sempat mewawancarai
pemborong pembuatan radar di Pulau Berhala. Dikatakan, jika bangunan dan
perangkat radar ini selesai nantinya, maka jarak pantau radar itu akan mampu
mendeteksi kapal-kapal asing dalam radius 70 mil laut. Agaknya, saat ini radar
pendeteksi itu sudah terpasang dan operasional, sehingga memiliki kemampuan
untuk menjaga batas terluar laut
Indonesia di selat Malaka dari penyusupan pihak Asing.
Gua
Permukaan Laut
Usai menggunakan pelampung
keselamatan, rombongan kami segera tancap gas. Kami diperkenalkan dengan pulau
kecil yang mengapit Pulau Berhala, yakni Pulau Sokong Nenek dan Pulau Sokong
Kakek. Pulau Sokong Nenek, adalah pulau yang berada di buritan Pulau Berhala,
sedangkan Pulau Sokong Kakek berada di bagian kepala Pulau Berhala. Pulau
Sokong Nenek, di saat laut pasang naik akan terpisah dengan Pulau Berhala.
Namun, jika laut pasang surut, maka Pulau Sokong Nenek akan menyatu dengan
pulau induknya. Beberapa rekan bersama penulis, beruntung bisa berkunjung ke
Pulau Sokong Nenek di saat pasang surut. Pulau itu, merupakan tumpukan
batu-batu besar dengan rimbunan pepohonan pantai.
Saat speed boat kami berada
di arah ‘belakang’ pangkalan TNI AL yang menghadap ke perairan Internasional,
Kami pun ditunjukkan dengan sebuah pondok pengintaian. Pondok pengintaian itu
berada di rimbunan semak belukar di tepian pantai. Pondok itu, rutin di tempati
prajurit marinir untuk memantau suasana perairan di sekitar Pulau Berhala,
menggunakan teropong intai jarak jauh. Secara sepintas pondok intai itu sulit
untuk dilihat. Pada kawasan belakang Pulau Berhala, tak ditemukan areal pantai,
tapi merupakan tebing-tebing terjal yang tak bisa didarati. Selain itu, dibawah
permukaan pantai terdapat jejeran batu-batu yang seolah-olah melindungi areal
tebing terjal.
Dalam kecepatan rendah, speed
boat mengantarkan kami ke Pulau Sokong Kakek. Di pulau itu, seorang marinir
bercerita tentang adanya gua permukaan laut. Gua itu akan terlihat dan bisa
dimasuki, jika air laut lagi pasang surut. Tapi, gua itu akan terbenam jika
laut lagi pasang naik. Gua itu sendiri punya legenda. Disebutkan, jejeran pulau
itu pertama kali ditemukan seorang pembesar dari Kerajaan Melayu Jambi bernama
Datuk Berhalo. Sebelumnya, pulau itu dihuni oleh para lanun (bajak laut) yang
hasil rampasan mereka atas kapal-kapal yang mereka bajak disimpan di gua
permukaan laut itu.
Ketika pasukan Datuk Berhalo
mendarat di pulau itu, terjadi lah pertempuran antara pasukan Datuk Berhalo
dengan gerombolan lanun. Pasukan Datuk Berhalo berhasil mengalahkan gerombolan
lanun hingga kucar-kacir meninggalkan pulau. Namun, harta bajak laut itu tak
berhasil diambil alih, karena tersimpan di gua permukaan laut. Hingga kini
harta bajak laut itu sering jadi incaran para pencari harta karun, meski belum
ada yang bisa mendapatkannya. “Dulu kabarnya ada yang berusaha masuk ke gua
permukaan laut itu, tapi mereka yang masuk hilang tak berbekas,” terang Zulham.
Gua itu, saat ini menjadi sarang lestari burung-burung walet laut.
Puas mengitari Pulau Berhala,
kami kembali ke pangkalan utama. Sebelumnya, beberapa kawan menyeburkan diri ke
laut untuk merasakan sejuknya air laut yang jernih. Dari kejauhan, kami melihat
jejeran kapal jenis pukat harimau, sedang istirahat. Dari armada pukat Harimau
itu lah, kami mendapatkan sejumlah ‘buah laut’ segar yang diminta marinir untuk
jadi santapan malam dan sarapan pagi kami. Sebelum berangkat pulang, kami masih
sempat pula menikmati asiknya memancing di anjungan tempat tambat kapal.
Beberapa wisatawan yang datang dari Bedagai berteriak-teriak ketika menyaksikan
rekannya berhasil menangkap cumi-cumi besar dengan kailnya. Ingin rasanya
berlama-lama di Pulau Berhala. Tapi kami memang harus kembali dengan menyimpan
satu harapan, kelak bisa kembali menikmati eksotisme pulau di batas negara itu.
Abdul Khalik
Post a Comment for "Pulau Berhala, Eksotisme Di Batas Negara"