Hari Jadi T.Tinggi, Meluruskan Sejarah Pun Kita Tak Mampu
![]() |
Wali Kota Tebimgtinggi saat melepas balon berhadiah di HUT kota |
“SEJARAH itu seyogianya menjadi
ibrah bagi kita semua,” begitu kata Wali Kota Tebingtinggi Ir.H. Umar Zunaidi
Hasibuan, MM, saat memberikan sambutan dalam sidang paripurna DPRD, dalam
rangka menyambut hari jadi kota lintasan itu. Sidang paripurna hari jadi kota
Tebingtinggi, berlangsung, Rabu (1/7), bertempat di aula utama DPRD kota
Tebingtinggi
Terlihat
hadir banyak kalangan yang pernah berjasa dalam membangun kota Tebingtinggi.
Ada mantan Wali Kota Drs. H. Amiruddin Lubis, mantan Wakil Wali kota Drs.H.
Syahril Hafzein, mantan Ketua DPRD Syahrial Malik serta sejumlah sepuh lainnya.
Hadir juga ratusan undangan dari berbagai kalangan. Sidang paripurna merupakan
kegiatan rutin dalam rangka memperingati hari jadi kota itu setiap tahun.
Hingga
kini, kota Tebingtinggi masih diyakini Pemko Tebingtinggi dan DPRD telah
berusia 98 tahun. Dengan usia demikian, Pemko Tebingtinggi serta DPRD masih
memegang keyakinan bahwa kota Tebingtinggi resmi berdiri pada 1 Juli 1917.
Entah dari mana keyakinan itu berasal dan entah dari mana pula dasar hukum yang
bisa dijadikan sumber legalitas penetapan penanggalan hari jadi itu.
Padahal,
dari banyak sumber yang sudah berulang kali disampaikan berbagai kalangan,
penetapan 1 Juli 1917 itu sama sekali tidak memiliki dasar hukum yang valid.
Bahkan, sejarah yang telah ditulis berbagai kalangan pun membantah dengan tegas
penetapan hari jadi kota Tebingtinggi itu, sehingga penetapan itu sebagai
ahistoris.
Secara
hukum, penetapan hari jadi kota Tebingtinggi 1 Juli 1917 sejak lama tidak
memiliki dasar hukum, alias tak ada peraturan daerah atau Perdanya. Jika
kemudian dasar hukum penetapan 1 Juli 1917 itu tak ada dasar hukumnya,
semestinya kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan Pemko Tebingtinggi dengan biaya
mencapai ratusan juta rupiah setiap tahun, jelas tak memiliki dasar hukum pula.
Namun, anehnya hingga puluhan tahun persoalan ini terus berlangsung tanpa ada
masyarakat yang menggugatnya, bahkan kegiatan itu cenderung menjadi buah bibir
masyarakat yang melek sejarah setiap tahunnya pula.
Persoalan
penetapan hari jadi kota Tebingtinggi yang tak punya dasar hukum itu terungkap,
ketika suatu kali mantan anggota DPRD kota Tebingtinggi era 1970-an yang kala
itu menjabat Ketua Dewan Pendidikan (DP) kota Tebingtinggi Drs.H. Done Ali
Usman, MAP, dalam suatu acara, mengungkapkan tidak pernahnya DPRD mengesahkan
Perda terkait penetapan hari jadi kota Tebingtinggi.
Hingga
kini pun DPRD kota Tebingtinggi tak pernah membuat Perda terkait penetapan hari
jadi kota berpenduduk 168 ribu jiwa itu. Persoalannya, dari mana DPRD dan Pemko
Tebingtinggi berani terus menerus menipu rakyat dengan menyebutkan 1 Juli 1917
sebagai hari jadi kota Tebingtinggi.
Masalah
ketiadaan dasar hukum itu, semakin parah ketika banyak bukti sejarah yang terus
saja diabaikan oleh Pemko Tebingtinggi dan DPRD, bahwa berdirinya kota
Tebingtinggi bukanlah pada 1 Juli 1917, tapi jauh sebelum tahun itu. Banyak
situs sejarah yang masih utuh berdiri di kota Tebingtinggi menginformasikan,
keberadaan kota itu lebih tua dari penetapan tanggal/bulan/tahun yang ada saat
ini. Sebut saja misalnya stasiun kerata api kota Tebingtinggi yang sudah
dibangun pada 1870, atau keberadaan Masjid Raya Nur Addin, Istanda dan Balai
Kerapatan Negeri Padang, keberadaan Vihara Maha Dana serta sejumlah situs
sejarah lainnya.
Namun,
semua bukti sejarah itu diabaikan dan masyarakat kota Tebingtinggi yang sudah
memiliki pendidikan di atas rata-rata harus dipaksa percaya dengan penanggalan
1 Juli 1917 sebagai hari jadi kota Tebingtinggi. Sedangkan kontroversial
sejarah itu terus diwariskan kepada generasi mendatang. Alangkah naifnya para
pemimpin kota Tebingtinggi yang berkoar-koar telah membangun berbagai hal demi
kesejahteraan masyarakat, padahal meluruskan sejarah kota pun kalian tak mampu.
Padahal menetapkan sejarah yang benar dan lurus, merupakan kewajiban untuk
menjaga moralitas generasi kota di masa mendatang.
Menjadi
kian menggelikan di hadapan masyarakat luas, ketika sejumlah kota di Sumatera
Utara yang telah ditetapkan sebagai Gemeente (daerah otonom) oleh
Kolonial Belanda pada 1 Juli 1917, sejak
lama telah merubah usia kota mereka. Sebut saja kota Medan yang telah merubah
usianya menjadi 425 tahun, atau kota Pematang Siantar yang menetapkan usianya 145
tahun. Demikian pula dengan kota Binjai. Hanya kota Tebingtinggi yang kemudian
bersikukuh ingin mewariskan peninggalan Kolonial Belanda kepada generasi
mudanya. Jika sudah demikian faktanya, lalu kenapa Pemko Tebingtinggi dan DPRD
terus berdiam diri dengan setiap tahun menipu masyarakat secara
terang-terangan? Wallahu a’lamu bi as shawab. Abdul Khalik
Post a Comment for "Hari Jadi T.Tinggi, Meluruskan Sejarah Pun Kita Tak Mampu"