----iklan---- 1 Jam Bersama Bu Muslimah Sang Guru “Laskar Pelangi” - JEJAK KHALIK
Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

1 Jam Bersama Bu Muslimah Sang Guru “Laskar Pelangi”


Pendidikan anak normal dengan anak cacat, seharusnya tidak boleh dibedakan. Yang harus ditekankan dalam proses pendidikannya, bagaimana guru memberikan penekanan kepada anak didik, anak cacat itu mesti dihargai dan diposisikan sama dengan anak normal.

Ibu Muslimah, guru dalam novel tetralogi Laskar Pelangi, menyampaikan pesan itu, saat melakukan dialog satu jam bersama guru-guru SD Muhammadiyah Bandar Sono, Kota Tebingtinggi, Senin (8/11), di salah satu ruang sekolah di Jln. SM Raja. Kehadiran guru paling inspiratif bagi jutaan pendidik itu, memenuhi undangan salah seorang pengurus Muhammadiyah kota Tebingtinggi yang sejak lama berkorespondensi dengan guru novelis Andrea Hirata itu.

Dalam kasus itu, menjawab pertanyaan, Bu Muslimah menyontohkan salah satu anak Laskar Pelangi bernama Harun yang memiliki cacat bawaan. Awalnya, kelompok mereka sering menertawakan dan mencemeeh Harun, karena tingkah lakunya yang abnormal.

“Saya katakan, tidak baik menertawakan kelemahan kawan, tapi akan mendapat pahala orang yang menyenangkan hati kawan,” ujar Bu Muslimah. Saat itu, terang Bu Muslimah, kata pahala dan dosa sangat kuat mempengaruhi anak didik. Akhirnya, pesan itu, dicerna anak-anak Laskar Pelangi. Dalam kisah berikutnya, ke 10 anak Laskar Pelangi, menunjukkan sikap kompak dan bersatu, tanpa peduli pada kekurangan dan kelebihan serta perbedaan mereka.

Bu Muslimah juga menerangkan betapa pentingnya membangun idiom tertentu untuk membangun kebanggaan pada anak didik. Idiom “Laskar Pelangi” yang diciptakan buat anak didiknya di SD Muhammadiyah Gentong, Belitung, terinspirasi pada pemikiran, kata ‘laskar’ itu dulunya, begitu membanggakan yang berarti pejuang. “Karena itu saya panggil mereka dengan istilah laskar,” terang guru yang secara pisik terlihat kecil itu.

Sedangkan kata ‘pelangi’ terinspirasi dari adanya perbedaan jasmani dan rohani ke 10 anak itu. Wajah mereka tak sama, kulitnya tak sama, tingkah lakunya juga tak sama, tingginya juga tak sama. “Perbedaan itu hakikatnya indah, karenanya saya beri istilah pelangi,” ujar guru yang telah menerima belasan penghargaan itu.

Bu Muslimah, juga mengungkapkan sebenarnya bentuk pisik sekolah Laskar Pelangi yang ada di film, pada kenyataannya jauh lebih buruk. “Pokoknya lebih jelek dari di film itu, tapi kami memandangnya biasa saja,” kata dia. Buktinya, keterbatasan tak menghalangi mereka mengarungi cita-cita yang terpatri di dada.

Sebagai sumber inspirasi anak Laskar Pelangi itu, Bu Muslimah mengingatkan agar di hadapan murid, seorang guru jangan berbuat sesuatu yang buruk. Karena tindakan demikian, akan terus diingat sepanjang hidup si anak didik. “Saya pernah diingatkan Andrea (Hirata), jangan suka menangis. Karena dulu memang ketika mendidik mereka saya sering menangis,” kata dia. Guru, adalah sosok mulia di hadapan muridnya, maka apa yang dilakukan si guru akan menjadi sumber pengetahuan dan tingkah laku si murid, pesan guru yang mendapat penghargaan dari Presiden RI itu.

Namun, Bu Muslimah mengaku belakangan ini merasa gelisah dengan banyaknya penghargaan yang diterima. “Saya merasa tak pantas menerima penghargaan itu, karena sebagai guru sudah jadi kewajiban mendidik anak-anak,” terang dia.

Diceritakan, ketika akan menghadiri undangan menerima Aisyiyah Award di Yogyakarta, dia berangkat dengan seorang guru (nama guru lupa) dari daerah berbeda. Namun, guru itu mengabdi lebih lama dari dirinya. Bu Muslimah mengabdi sejak 1971, tapi berhenti dari sekolah Muhammadiyah, karena tutup. Tapi guru yang bersama dia, masih terus mengajar di sekolah Muhammadiyah, hingga saat ini. “Dibanding bapak itu saya tidak ada apa-apanya. Saya jadi malu,” ujar Bu Muslimah. Bahkan, Bu Muslimah, mengatakan Aisyiyah Award yang diberikan kepadanya, selayaknya diberikan kepada bapak itu.

Hari-hari belakangan ini, begitu banyak penghargaan yang diterima. Misalnya, penghargaan yang diingat, ada dari Presiden RI, Metro TV, dari PP Aisyiyah, dari Mendiknas, terakhir dari Univ. Muhammadiyah Yogyakarta. “Di rumah saya pajangkan semua penghargaan itu. Tapi saya selalu ragu, apa pantas saya menerima penghargaan demikian tinggi,” aku dia.

Bagi Bu Muslimah, penghargaan itu meski merupakan rahmat, tapi jangan sampai membuat lupa pada tujuan utama pendidikan. “Insya Allah saya kalau nanti pensiun dari guru, sudah dipesan warga menjadi guru les bagi anak-anak mereka.” Harapannya, hingga akhir hayat akan tetap sebagai guru. Pekerjaan guru, diakui merupakan profesi turunan, karena sejak kakeknya keluarga mereka merupakan pendidik. Hingga akhir hayatnya, ungkap Muslimah, ayah mereka seorang guru yang mengajarkan bahasa Arab, kepada anak-anak.

Wanita paruh baya yang hari itu memakai baju orange dan celana panjang hitam, terlihat berpenampilan sederhana. Ada sebersit cahaya di rona wajahnya yang mulai mengeriput. Seakan menyiratkan keikhlasan hidup menjalani profesinya sebagai guru kampung yang telah mengantarkan anak didiknya hingga ke manca negara. Andai saja, banyak guru di negeri ini, seperti dia…


INSPIRATIF : Guru, sumber inspirasi bagi masa depan anak. Jangan bertindak buruk di hadapan murid, karena akan terus melekat hingga dewasa. Bu Muslimah, sang guru Laskar pelangi, saat memberi wejangan pada sejumlah guru SD Muhammadiyah Bandar Sono, Tebingtinggi, Senin (8/110).

Post a Comment for "1 Jam Bersama Bu Muslimah Sang Guru “Laskar Pelangi”"