----iklan---- Kekerasan Bekasi dan Kerukunan Umat Beragama - JEJAK KHALIK
Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kekerasan Bekasi dan Kerukunan Umat Beragama


Satu Pekan belakangan, media nasional dihebohkan oleh pemberitaan terkait peristiwa penikaman terhadap dua pimpinan jemaat HKBP Bekasi. Kasus kriminal itu, belakangan menjadi informasi publik yang terkesan tidak sehat bagi kehidupan antar umat beragama, karena media nasional melakukan blow up terhadap peristiwa dangkal itu. Akibatnya, satu kelompok agama (Islam) merasa dipecundangi secara tidak fair dan agama lain (Kristen) yang memposisikan dirinya sebagai korban, menunjukkan superioritasnya di hadapan media publik.

Peristiwa itu menjadi anti klimak, ketika Negara (Presiden, Kementerian Agama, Kepolisian) tidak berdaya dan menjadi bulan-bulanan kelompok kepentingan yang bermain di sekitar peristiwa itu dengan menggandeng media publik, sehingga terjebak pada skenario sistematis yang dibangun sejak lama. Meski para pelaku penikaman telah ditangkap aparat penegak hukum, namun agenda utama kalangan Kristiani, Sekuler dan Liberal, telah tercapai.

Setidaknya ada dua tema yang diusung saat membonceng peristiwa kekerasan atas jemaat HKBP Bekasi itu. Pertama, memperkuat opini publik bahwa negara berada di atas semua pemeluk agama. Kedua, kebebasan agama mutlak diberlakukan dengan menghapus Surat Keputusan Bersama 2 Menteri (Mendagri dan Menteri Agama). Sedangkan tema pendamping yang mereka manfaatkan adalah, memuluskan berbagai strategi pembangunan rumah ibadah dengan mengabaikan peraturan yang ada.

Sayangnya, banyak kalangan Islam tidak menyadari strategi itu, malah terjebak dengan menyetujui opini publik yang dibangun kelompok kepentingan itu. Atau paling tidak, apatis dengan dampak negatif kekerasan atas jemaat HKBP terhadap kerukunan umat beragama dan membiarkannya bergulir begitu saja.

Ideologi Sekuler

Jika umat Islam cermat dalam menganalis gejala sosial keagamaan yang terjadi, sejak lama ada upaya-upaya kekuatan tertentu menempatkan ideologi Sekuler sebagai paradigma keberagamaan bangsa dengan mengabaikan Pancasila. Penekanan, bahwa negara berada di atas semua pemeluk agama, merupakan ideologi import yang diupayakan penerapannya di negeri ini. Dalam konsep demikian, negara hanya berfungsi sebagai fasilitator yang sifatnya memberikan kesempatan yang sama kepada semua pemeluk agama untuk melaksanakan ajarannya. Di mana, umat beragama dipersilahkan mengekspresikan semangat keberagamaannya tanpa batas. Pemikiran ini, mengabaikan realitas faktual mayoritas minoritas serta hak dan kewajiban antar umat beragama.

Dalam kehidupan beragama bangsa Indonesia selama ini, jamak dipahami ideologi Pancasila berfungsi sebagai mediator dan wasit bagi kehidupan antar umat beragama. Di mana sebagai wasit dan mediator, Negara memiliki rule of the law dan rule of the game yang menghendaki penegakannya dilakukan secara konsisten. Dalam praktek demikian, Negara diharapkan bisa berlaku adil, jika dalam interaksi antar umat beragama terjadi konflik kepentingan. Era Orde Lama dan Orde Baru, praktek itu relatif efektif menghempang terjadinya kesewenangan mayoritas maupun tirani minoritas, disamping posisi negara yang kuat terhadap masyarakat sipil.

Mengacu pada dua model ini, jika Negara jadi fasilitator seperti harapan ideologi Sekuler, hanya akan memperkuat posisi tawar minoritas dalam berhadapan dengan mayoritas. Karena merupakan sunnatullah, kalangan minoritas memiliki segala sumber daya untuk mengembangkan semangat keberagamaannya, dibanding mayoritas. Ideologi minoritas yang memposisikan diri sebagai kaum tertindas, akan memicu kesadaran mereka untuk melakukan berbagai hal secara maksimal dan cenderung agresif dan provokatif, agar tidak dalam posisi itu selamanya. Umumnya, upaya demikian akan berhasil merubah situasi, jika sistem yang ada membuka peluang untuk itu. Sistem demokrasi merupakan sistem yang membuka peluang itu.

Contoh faktual bisa kita amati, adalah perkembangan Islam di jantung Eropa dan Amerika yang membuat gusar agama Kristiani. Dalam posisi demikian, konflik kepentingan jadi tak terelakkan. Pelarangan pemakaian jilbab dan pembatasan pembangunan masjid di beberapa negara Eropa merupakan ekspresi kekhawatiran mayoritas, terhadap semangat keberagamaan kaum minoritas. Kasus ini, bisa disamakan dengan kekerasan terhadap jemaat HKBP Bekasi. Lalu, jika model demikianlah yang diharapkan, 10 hingga 20 tahun ke depan konflik keberagamaan di negeri ini, akan kian membesar.

Oleh sebab itu, posisi Negara vis a vis umat beragama yang menjadi wasit dan mediator dalam terminologi Pancasila, semestinya dipertahankan, khususnya oleh umat Islam. Wasit atau mediator yang adil dengan semprit hukum dan pemahaman pada hak dan kewajiban antar umat beragama, merupakan faktor utama memelihara keragaman agama. Kaum mayoritas yang merasa terancam dengan sikap agresifitas kalangan minoritas, atau pun sebaliknya, bisa mengadukan keresahan itu kepada Negara. Maka Negara dipersilahkan membuka code of conduct yang jadi acuan bersama kehidupan berbangsa. Dalam pertimbangannya kemudian, negara diwajibkan memperhatikan hak (HAM) dan kewajiban (KAM) di antara umat beragama yang berkonflik. Kemudian, menegakkan peraturan itu secara konsisten dan adil.

Namun, persoalan akan muncul, jika dalam mengelola konflik keagamaan, Negara dalam posisi ragu-ragu. Kasus kekerasan jemaat HKBP Bekasi, merupakan contoh faktual betapa aparat negara dari tingkat terbawah hingga lembaga kepresidenan dalam posisi dimaksud. Keresahan umat Islam terhadap jemaat HKBP Bekasi yang akan membangun gereja, tak ditanggapi serius oleh Negara. Padahal, keresahan yang dimaknai sebagai ancaman terhadap keimanan/keyakinan diri, keturunan, keluarga dan komunitas Islam, merupakan hal natural yang mesti ditanggapi serius.

Ketidak seriusan itu, pada akhirnya dimanfaatkan kalangan jemaat HKBP dengan terus memperkuat posisi vis a vis umat Islam. Upaya memperkuat posisi itu dilakukan selama bertahun-tahun dengan mengabaikan keresahan yang muncul, sedangkan Negara terkesan tak peduli. Pembiaran berlarut-larut terhadap konflik itu, pada akhirnya memunculkan anarkisme. Dapat diduga, pelakunya adalah mereka yang resah, karena keresahan tanpa ada penyelesaian akan menguat menjadi magma kemarahan yang menunggu waktu meletus. Ketika letusan kemarahan itu muncrat, kasusnya jadi isu nasional yang dimanfaatkan untuk kepentingan golongan tertentu. Mereka merasa jadi korban berkoar ke sana kemari, menyampaikan pembenaran versi mereka, tanpa sama sekali mengungkit latar belakang mengapa peristiwa itu terjadi.

Negara yang dalam posisi ragu-ragu, justu melihat persoalan dengan sepotong-sepotong dan menjatuhkan hukuman kepada pelaku, tanpa menimbang latar belakang peristiwa itu. Negara, menangkap dan mungkin menghukum para pelaku yang sebenarnya mendapat dukungan arus bawah kaum mayoritas.

Dalam konteks demikian, konflik keagamaan Bekasi itu tak akan selesai tuntas. Jemaat HKBP meski pun merasa menang, tapi tetap sulit, karena tidak diterima secara sosial di lingkungan mayoritas. Sedangkan pelaku kekerasan akan mendapat dukungan sebagai “pembela agama” dan ujungnya tidak akan kapok. Malah, secara psikologis sikapnya akan mengeras, karena merasa diperlakukan tidak adil oleh Negara.

Agresifitas Rumah Ibadah

Jika kita cermati kehidupan antar umat beragama pasca kemerdekaan, potensi tertinggi konflik yang terjadi, ada pada pembangunan rumah ibadah. Masjid, gereja, vihara, kelenteng maupun kuil, merupakan simbol keagamaan utama bagi pemeluk agama masing-masing. Sebagai simbol, rumah ibadah terkait langsung dengan nilai spirit, fanatisme serta eksistensi pemeluknya. Orang bisa saja tidak taat dengan ajaran agamanya, tapi jika menyangkut perkara rumah ibadah, ghirah keagamaan akan langsung muncul.

Sebagai bentuk ghirah, terasa tidak sah jika pemeluk agama tidak memiliki rumah ibadah di mana mereka bermukim. Pada umat mayoritas, pendirian rumah ibadah tak jadi masalah. Namun pada kalangan minoritas seringkali bermasalah. Anehnya, konflik rumah ibadah ini umumnya muncul antara umat Kristiani (pemeluk agama terbesar kedua di Indonesia) dengan non Kristiani (Islam, Budha, Hindu dan Kong Hu Chu). Paling sering terjadi, adalah antar umat Islam dengan Kristiani.

Ternyata, jika dilihat dari data statistik pertumbuhan gereja selama era Reformasi, wajar jika konflik sering muncul. Di Kota Tebingtinggi, Prov. Sum. Utara, sebagai salah satu wilayah administrasi pemerintahan terkecil di negeri ini, bisa kita paparkan sebagai sample persoalan. Dari data BPS Tebingtinggi, pada 2007 jumlah total gereja mencapai 50 unit. Padahal, tahun 2004 di kota itu hanya 22 ada unit gereja. Bahkan, tahun 2005 meningkat drastis jadi 35 unit. Sehingga ada pertumbuhan gereja hingga 28 unit selama tiga tahun terakhir. Jika dibanding jumlah umat Kristen Tebingtinggi, maka setiap gereja dihuni sekira 300 jemaat. Bandingkan pula dengan umat Islam, satu masjid dihuni 940 jemaah. Pertumbuhan rumah ibadah yang timpang di Tebingtinggi, bisa jadi miniatur pertumbuhan gereja di negeri ini.

Persoalannya, kenapa umat Kristiani terkesan agresif membangun rumah ibadah mereka. Bahkan seringkali melanggar peraturan yang jadi acuan bersama dalam kehidupan antar umat beragama itu.

Dari berbagai wawancara yang penulis lakukan, ternyata ada motif ekonomi yang bermain di antara pendeta dan pembangunan gereja. Seringkali konflik terjadi di internal gereja, berpangkal soal pengelolaan dana. Karena sumber pedanaan di gereja sangat besar dari jemaat, mulai dari durung-durung, lelang hingga sepersepuluhan. Semua dana itu, diperuntukkan bagi pendeta dan gereja. Namun, pengelolaan dana yang salah urus, umumnya memunculkan konflik. Dalam konflik itu, jika tidak damai akan berakhir dengan hengkangnya salah satu jemaat dari yang berseteru. Konflik, tidak berakhir di situ, mereka yang hengkang berusaha membangun jemaat baru. Syaratnya harus ada pendeta, jemaat dan gereja. Pendeta tidak diakui eksistensinya tanpa jemaat dan gereja, begitu seterusnya.

Ketiga item persyaratan inilah kemudian memicu terjadinya pembangunan jor-joran gereja sebagai dampak konflik internal di kalangan sekte Kristiani. Umat agama lain pun, terkena imbas perseteruan itu, karena agresifitas pembangunan rumah ibadah dipicu konflik internal berbagai sekte Kristiani. Kasus ini merupakan salah satu alasan kenapa pertumbuhan gereja demikian pesat, meski banyak faktor lain, mengiringi agresifitas itu.

Penutup

Kasus penikaman jemaat HKBP Bekasi, semestinya jadi ‘ibrah bagi semua umat beragama, agar dalam menjalankan ibadah agamanya tidak mengedepankan ego dan sikap tak peduli pada lingkungan sekitar. Dalam konteks ini SKB 2 Menteri No.8 dan 9 Tahun 2006 tentang Peraturan Pendirian Rumah Ibadah yang sejak lama ditolak kalangan Kristiani, harus dipertahankan. Tugas mempertahankan itu, terbesar ada pada umat Islam sebagai kaum mayoritas.

Hanya dengan membangun kanalisasi dalam bentuk peraturan dari agresifitas pembangunan rumah ibadah, kehidupan keagamaan antar sesama anak bangsa bisa berlangsung langgeng. Tak adanya sifat tepo seliro dari kaum minoritas, merupakan sesuatu yang natural. Tapi, kekhawatiran kaum mayoritas atas pembangunan jor-joran rumah ibadah yang dilakukan minoritas, juga dapat dibenarkan.Yang terpenting dari semua itu, adalah sikap menahan diri dan mempertimbangkan semua faktor dengan berkomunikasi antar satu dengan lainnya, sebagai kunci kerukunan.

Kerukunan bukan ditunjukkan melalui keakraban antar tokoh-tokoh agama yang selama ini sering diekspos di ruang publik. Tapi kerukunan hakiki terjalin dari keakraban di massa akar rumput. Wallahu a’lamu bi ash shawab.

* Penulis, Ketua MPW BKPRMI SU dan Mhs. Pasca Sarjana Ilmu Komunikasi UMSU. Wartawan Waspada di Tebingtinggi

PEMICU : Salah satu rumah ibadah yang menyalahi peruntukan di Kota Tebingtinggi. Model rumah ibadah seperti inilah yang sering memicu terjadinya konflik umat beragama. Sehingga peraturan memang harus ada untuk jadi kanalisasi terjadinya konflik. Abdul khalik/Ist.

Post a Comment for "Kekerasan Bekasi dan Kerukunan Umat Beragama"