----iklan---- Pulau Berhala, Eksotisme Di Batas Negara - JEJAK KHALIK
Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pulau Berhala, Eksotisme Di Batas Negara

           
DI PERAIRAN Selat Malaka terdapat dua pulau bernama ‘Pulau Berhala’. Yang satu berada di kawasan Provinsi Kepulauan Riau yang berbatasan dengan Jambi. Yang lain berada di Provinsi Sum. Utara, tepatnya berada di kawasan Kec. Tanjung Beringin, Kab. Serdang Bedagai. Kedua pulau itu berada di perbatasan negara antara RI dan negara tetangg Malaysia. Kali ini, yang mau kita selusuri, adalah ‘Pulau Berhala’ yang terletak di Kec. Tanjung Beringin, Serdang Bedagai. Keelokan pulau ini, belakangan mulai menjadi perhatian banyak penikmat wisata.
            Jika Anda ingin berkunjung ke pulau satu ini, ada dua jalur yang bisa ditempuh. Umumnya, para pengunjung yang ingin datang ke sana melalui jasa travel, selalu ditawari menggunakan jalan via pelabuhan Bedagai di Kec. Tanjung Beringin. Di pelabuhan kecil itu, memang telah tersedia sejumlah perahu besar yang bisa memuat 20 hingga 30 pengunjung untuk sekali angkut.  Kabarnya, jasa travel mengutip dana berwisata ke Pulau Berhala antara Rp350 ribu hingga Rp400 ribu per orang. Perjalanan menuju pulau terluar di Selat Malaka itu dapat ditempuh maksimal 2,5 jam saja.
            Tak ingin mengikuti jalur ‘resmi’ menuju pulau di batas negara itu, penulis menempuh satu jalur lagi yang juga jaraknya tidak jauh berbeda dengan yang pertama. Titik keberangkatan di mulai dari Pagurawan, Kec. Medang Deras, Kab. Batubara. Namun, sebelum berangkat harus dulu memesan (carter) parahu yang akan mengantar ke sana. Harganya bervariasi tergantung kepintaran menawar menghadapi muslihat nelayan. Harga disepakati Rp3,5 juta untuk pergi-pulang, dengan menggunakan perahu bermuatan maksimal 10 orang. Pagi menjelang siang di suatu hari November tahun lalu, kami pun mengarungi Selat Malaka.
            Di atas perahu kecil yang membelah sungai Suka hingga ke muara, ada rekan yang merasakan perjalanan ini perbuatan nekad yang memicu adrenalin. Bagaimana tidak, di atas perahu, tangan kami bisa menyibak permukaan air laut, dalam deburan gelombang yang tak jarang mengombang-ambingkan perahu kecil yang kami tumpangi. Resiko perahu kecil itu terbalik, selalu mengisi ruang pikiran masing-masing, meski guide yang juga nelayan Pagurawan itu selalu membuat Kami tenang. Kami memang lebih banyak diam saat di perjalanan dengan waktu tempuh 3 jam.
            Sesampai di pangkalan Pulau Berhala, hampir saja rombongan kami ditolak oleh petugas marinir TNI AL yang menjaga pulau itu. Maklum saja, karena Kami memang menggunakan ‘jalur tidak resmi’. Hanya saja nelayan Pagurawan membawa surat dari Pol Airud serta mengungkapkan identitas wisatawan yang umumnya jurnalis, pihak TNI AL kemudian mengijinkan kami untuk mendarat.  Saat kami mendarat, waktu menunjukkan pukul 16.00, sehingga langsung saja berkoordinasi dengan ‘para pahlawan pengawal negara’ itu. Hasil koordinasi memuaskan, Kami mendapat kehormatan untuk bermalam di komplek barak marinir TNI AL. Kamplek barak, berada di sebelah selatan dari pangkalan utama marinir di pulau itu. Barak marinir itu, berada di tepi pantai, ditata sedemikian rupa, sehingga terkesan asri. Menjelang malam, suasana pulau seluas 2,5 hektar itu, terasa adem dan nyaman yang berbeda 180 derajat dibandingkan, suasana di keramaian. Hanya deburan ombak yang menghempas pantai serta suara-suara burung dan hewan hutan, menjadi musik alam yang menemani aktifitas Kami. Ketika sunset memasuki peraduan di batas cakrawala, Pulau Berhala pun jadi gelap gulita.
             Ketika makan malam, Kami pun mengundang para marinir TNI AL itu santap bersama. Keakraban di antara Kami tiba-tiba membuat suasana hening pulau itu, berubah menjadi hiruk pikuk tawa dan canda. Kami pun mulai mengorek berbagai hal tentang keberadaan pulau ini. Dari mereka, hanya sedikit yang kami tahu, meski ada janji, esok harinya eksotisme pulau itu akan dieksplorasi.
Dari percakapan malam itu, mengungkap pula adanya sejumlah makam tak di kenal di pulau itu. Makam-makam itu, memang tempat berkubur orang-orang tak dikenal. Umumnya, mayat-mayat yang terdampar di Pulau Berhala, tanpa identitas. Tak hanya itu, tak jarang mayat-mayat yang terdampar selain tak beridentitas, juga dengan potongan tubuh tak lengkap. “Kalau ada mayat yang terdampar, tak ada identitas atau cuma potongan badan, harus dikebumikan. Di komplek makam itu lah,” terang seorang marinir. Sedangkan prosesi penguburan mayat-mayat itu tanpa upacara keagamaan, karena tak tahu apa agama mayat-mayat misterius itu. Cerita itu, menjadi pengantar tidur ‘menyeramkan’ bagi beberapa rekan kami.
Bangunan Radar Pantau
           
 Pagi buta, rombongan kami sudah bangun. Tak ingin kalah dengan sang surya, Kami pun menyiapkan seluruh peralatan ‘tempur’ yang akan dibawa. Tujuan pertama, adalah mendaki menara mercusuar yang berada di puncak teratas Pulau Berhala. Kami harus mendaki lereng perbukitan dengan kecuraman sekira 65 derajat, meski untuk menuju ke sana ada tangga alam yang dibangun. Jumlah tangga batu itu sekira 500 anak tangga, diselingi dengan tempat istirahat serta pagar yang keadaanya sudah keropos di makan usia.
            Pada anak tangga ke 50, kami menjumpai komplek perumahan para penjaga mercusuar. Hanya ada tiga rumah di komplek itu. Saat melanjutkan perjalanan ke atas, ternyata sedang dilaksanakan proses pembangunan menara radar di sekitar bangunan mercusuar. Saat itu, menara radar itu dibangun oleh kontraktor asal Jakarta yang berpengalaman dalam soal itu. Setiba di atas, kami langsung menaiki bangunan mercusuar dan menikmati keindahan lautan di sekitar Pulau Berhala.
            Sebagai pulau terluar Indonesia di kawasan Selat Malaka, jalur laut Internasional hanya berkisar satu mil saja jaraknya. Dari puncak Pulau Berhala, kita bisa menyaksikan hilir mudiknya sejumlah kapal di kejauhan. Tak hanya itu, sekira 3 mil laut dari Pulau Berhala terdapat Pulau Datuk yang kini menjadi batas terluar Negara Malaysia. “Dulu, sekira 1970-an pulau itu sering dikunjungi nelayan dari Pagurawan sini, tapi sekarang tak bisa lagi,” ujar Zulham, nelayan yang menemani kami. Bahkan, ada cerita Pulau Datuk itu, dulunya merupakan territorial Indonesia, namun karena tak dikelola secara baik, akhirnya diambil negara tetangga yang haus pulau-pulau tak berpenghuni. Seringkali nelayan-nelayan RI ditangkap kapal patroli Tentara Laut Diraja Malaysia (TLDM) ketika mencari ikan di sekitar Pulau Datuk. Padahal, banyak nelayan masih merasakan kawasan laut yang mereka datang masih dalam wilayah NKRI, karena kebiasaan di masa lalu menganggap Pulau Datuk bagian dari NKRI. Nasib Pulau Sipadan dan Ligitan di Kalimantan yang dikuasai Malaysia melalui sidang Mahkamah Internasional, terjadi lagi dengan Pulau Datuk meski dengan strategi yang berbeda.
            Penulis sempat mewawancarai pemborong pembuatan radar di Pulau Berhala. Dikatakan, jika bangunan dan perangkat radar ini selesai nantinya, maka jarak pantau radar itu akan mampu mendeteksi kapal-kapal asing dalam radius 70 mil laut. Agaknya, saat ini radar pendeteksi itu sudah terpasang dan operasional, sehingga memiliki kemampuan untuk menjaga  batas terluar laut Indonesia di selat Malaka dari penyusupan pihak Asing.
Gua Permukaan Laut
           
Teringat ada janji dengan komandan marinir TNI AL pangkalan Pulau Berhala, kami pun segera turun dari puncak mercusuar. Rombongan kami langsung menuju pangkalan utama, di mana sebuah speed boat marinir sudah tertambat menunggu kehadiran kami. Speed boat itu bermotif ikan hiu jenis shark, dengan mesin dorong turbo yang kelihatan gagah dan tengah ditongkrongi tiga anggota marinir. Ketiga marinir itu mendapat perintah dari komandan untuk menemani kami mengelilingi Pulau Berhala dan memberikan informasi terkait berbagai hal di kawasan itu.
            Usai menggunakan pelampung keselamatan, rombongan kami segera tancap gas. Kami diperkenalkan dengan pulau kecil yang mengapit Pulau Berhala, yakni Pulau Sokong Nenek dan Pulau Sokong Kakek. Pulau Sokong Nenek, adalah pulau yang berada di buritan Pulau Berhala, sedangkan Pulau Sokong Kakek berada di bagian kepala Pulau Berhala. Pulau Sokong Nenek, di saat laut pasang naik akan terpisah dengan Pulau Berhala. Namun, jika laut pasang surut, maka Pulau Sokong Nenek akan menyatu dengan pulau induknya. Beberapa rekan bersama penulis, beruntung bisa berkunjung ke Pulau Sokong Nenek di saat pasang surut. Pulau itu, merupakan tumpukan batu-batu besar dengan rimbunan pepohonan pantai.
            Saat speed boat kami berada di arah ‘belakang’ pangkalan TNI AL yang menghadap ke perairan Internasional, Kami pun ditunjukkan dengan sebuah pondok pengintaian. Pondok pengintaian itu berada di rimbunan semak belukar di tepian pantai. Pondok itu, rutin di tempati prajurit marinir untuk memantau suasana perairan di sekitar Pulau Berhala, menggunakan teropong intai jarak jauh. Secara sepintas pondok intai itu sulit untuk dilihat. Pada kawasan belakang Pulau Berhala, tak ditemukan areal pantai, tapi merupakan tebing-tebing terjal yang tak bisa didarati. Selain itu, dibawah permukaan pantai terdapat jejeran batu-batu yang seolah-olah melindungi areal tebing terjal.
            Dalam kecepatan rendah, speed boat mengantarkan kami ke Pulau Sokong Kakek. Di pulau itu, seorang marinir bercerita tentang adanya gua permukaan laut. Gua itu akan terlihat dan bisa dimasuki, jika air laut lagi pasang surut. Tapi, gua itu akan terbenam jika laut lagi pasang naik. Gua itu sendiri punya legenda. Disebutkan, jejeran pulau itu pertama kali ditemukan seorang pembesar dari Kerajaan Melayu Jambi bernama Datuk Berhalo. Sebelumnya, pulau itu dihuni oleh para lanun (bajak laut) yang hasil rampasan mereka atas kapal-kapal yang mereka bajak disimpan di gua permukaan laut itu.
            Ketika pasukan Datuk Berhalo mendarat di pulau itu, terjadi lah pertempuran antara pasukan Datuk Berhalo dengan gerombolan lanun. Pasukan Datuk Berhalo berhasil mengalahkan gerombolan lanun hingga kucar-kacir meninggalkan pulau. Namun, harta bajak laut itu tak berhasil diambil alih, karena tersimpan di gua permukaan laut. Hingga kini harta bajak laut itu sering jadi incaran para pencari harta karun, meski belum ada yang bisa mendapatkannya. “Dulu kabarnya ada yang berusaha masuk ke gua permukaan laut itu, tapi mereka yang masuk hilang tak berbekas,” terang Zulham. Gua itu, saat ini menjadi sarang lestari burung-burung walet laut.
            Puas mengitari Pulau Berhala, kami kembali ke pangkalan utama. Sebelumnya, beberapa kawan menyeburkan diri ke laut untuk merasakan sejuknya air laut yang jernih. Dari kejauhan, kami melihat jejeran kapal jenis pukat harimau, sedang istirahat. Dari armada pukat Harimau itu lah, kami mendapatkan sejumlah ‘buah laut’ segar yang diminta marinir untuk jadi santapan malam dan sarapan pagi kami. Sebelum berangkat pulang, kami masih sempat pula menikmati asiknya memancing di anjungan tempat tambat kapal. Beberapa wisatawan yang datang dari Bedagai berteriak-teriak ketika menyaksikan rekannya berhasil menangkap cumi-cumi besar dengan kailnya. Ingin rasanya berlama-lama di Pulau Berhala. Tapi kami memang harus kembali dengan menyimpan satu harapan, kelak bisa kembali menikmati eksotisme pulau di batas negara itu. Abdul Khalik

Post a Comment for "Pulau Berhala, Eksotisme Di Batas Negara"