----iklan---- Menikmati Alam Lombok Dengan Sentuhan Bali - JEJAK KHALIK
Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Menikmati Alam Lombok Dengan Sentuhan Bali

           
MEDIO Juni lalu, penulis bersama belasan kawan-kawan dari PWI perwakilan kota Tebingtinggi berkesempatan melakukan studi jurnalistik ke pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB). Kunjungan itu, dalam rangka memberikan wawasan kepada para jurnalis anggota PWI tentang wilayah yang dikunjungi serta melakukan perbandingan dengan kawasan yang dikunjungi, untuk kemudian jadi pengetahuan dengan harapan bisa diterapkan di tempat asal. Rombongan kami langsung ditemani Ketua PWI Cabang Sumut dan beberapa rekan lainnya.
            Menaiki pesawat CityLink dari KNIA, setelah transit di Bandara Soetta, rombongan kami menjejakkan kaki  di Bandara Internasional Lombok, sore hari.  Kami pun disambut rekan dari PWI cabang NTB dan langsung menjamu kami dengan makanan khas Lombok ayam taliwang. Ayam taliwang adalah lauk kebanggaan Lombok, yang pedas cabenya mengalahkan rasa pedas gulai uni-uni Minangkabau. Ditengah menikmati pedasnya ayam taliwang, kami pun sudah memiliki agenda untuk mendatangi sejumlah kawasan wisata terkenal di pulau bertetangga dengan Bali itu.
            Tapi tentu saja, harus sowan dengan pemilik pulau itu, dengan cara bersilaturrahmi ke wali kota Mataram Masykur Abduh. Esoknya ditemani Ketua PWI cabang NTB, kami pun diterima dengan keramahan, rencana yang sudah disusun pun langsung diwujudkan. Menggunakan mobil pariwisata tiga suku, hari pertama kami langsung tancap gas ke Kuta Lombok dan Tanjung Aan.
            Di Tanjung Aan, seperti pantai-pantai pada umumnya, terpaan angin keras membuat suasana di sekitar kawasan itu jadi menyenangkan. Hal yang paling menyenangkan sekaligus menjengkelkan, adalah serbuan para penjual barang-barang kerajinan untuk oleh-oleh. Para pedagang di sana, terkesan memaksakan agar pengunjung Pantai Aan harus membeli barang yang mereka jajakan. Bahkan, untuk di foto pun mereka meminta upah. Tapi tak apalah, karena semua memang dalam rangka menikmati suasana. Di pantai Aan, penulis sempat membeli segenggam batu akik khas Lombok. Harganya Rp100 ribu untuk belasan batu akik yang sudah jadi. Sayangnya, pada Juni, angin Barat sangat kencang, sehingga pantai Tanjung Aan menjadi kotor oleh limbah laut.
Beranjak dari Pantai Aan menuju Kuta Lombok, kami sempat berhenti sejenak di Desa Segera Kuta lokasi asal legenda Putri Mandalika. Di desa ini antara Februari dan Maret ada pesta atau upacara yang disebut dengan Bau Nyale (menangkap cacing) yang hidup di sela-sela liang batu karang di bawah permukaan laut. Pesta ini merupakan bentuk penghormatan kepada Puteri Mandalika. Kami sempat melihat areal persawahan di desa itu yang digunakan sebagai lokasi pembukaan pesta.
 Hanya selang sekira 15 menit dari Desa Segera Kuta, rombongan kami pun sampai di Kuta Lombok. Tak jauh beda dengan Tanjung Aan, pantai Kuta Lombok merupakan salah satu destinasi yang diandalkan oleh Provinsi NTB. Seperti halnya pantai Kuta di Bali, Kuta Lombok juga merupakan lokasi pantai dengan sengatan matahari yang disukai wisatawan bule. Tingkat kebebasan para wisatawan bule di Kuta Lombok sama halnya dengan Kuta Bali, misalnya kafe yang berjejer di seberang pantai yang dipisahkan jalan. Umumnya, keberadaan kafe-kafe itu memang melayani wisatawan bule, disamping kebebasan lainnya. Di sini, kami juga diserbu para pedagang kerajinan, dan beberapa di antara kami juga membeli batu akik yang siap olah maupun yang berbentuk bongkahan.
Saat kembali dari Tanjung Aan dan Kuta Lombok, rombongan kami menyempatkan singgah di perkampungan tradisional Sasak Sade. Penulis dan beberapa rekan mengelilingi perkampungan itu. Mata sempat tertumbuk pada satu bangunan unik ditengah perkampungan tradisional itu yang ternyata masjid Sasak. Guide setempat yang menemani kami, mengatakan masjid itu digunakan muslim Sasak untuk beribadah. Umumnya etnis Sasak sebagai penduduk asli Pulau Lombok, beragama Islam. Di sini sejumlah oleh-oleh kerajinan khas Sasak Lombok, sempat kami beli.
Hari kedua di Mataram selepas makan siang, mobil kami diarahkan menuju salah satu pemandian paling fenomenal di Lombok, yaitu Taman Narmada. Taman Narmada, adalah satu situs cagar budaya yang menjadi simbol besarnya pengaruh budaya Hindu Bali terhadap Pulau Lombok, khususnya di Kab. Lombok Barat. Taman Narmada dengan pemandian sejuknya dibangun oleh Raja Bali Anak Agung Ngurah Karangasem pada 1727.  Di masa Raja Bali ini berkuasa, dia berhasil menaklukkan Lombok Barat dalam sebuah peperangan. Sebagai wilayah kekuasaan Raja Bali Karangasem ini, kemudian membangun tepat ibadah berupa pura serta kawasan peristirahatannya. Taman Narmada merupakan kawasan peristirahatan Raja Anak Agung Karangasem.
Di Taman Narmada ini, ada mata air yang disucikan penganut Hindu Bali yang diyakini berasal dari Gunung Rinjani. Mata air itu ditampung dalam beberapa kolam besar. Salah satu kolam merupakan tempat para selir raja mandi. Di dekat kolam itu, ada bangunan peristirahatan raja, juga kamar khusus raja untuk berhubungan dengan para selirnya, selain perumahan prajurit dan gudang senjata, ada juga Pura Kelasa. Dahulunya, komplek Taman Narmada merupakan istana Raja Bali di musim panas. Selain Taman Narmada, jejak peninggalan Bali di Lombok juga ditandai dengan keberadaan Pura Meru. Pura Meru dibangun bersamaan dengan Taman Narmada.
Pengaruh Hindu Bali sangat terasa khusunya di Kab. Lombok Barat. Kami menginap di salah satu hotel di kawasan Cakranegara. Selepas Shubuh penulis menyempatkan diri berjalan-jalan di sekitar hotel. Benar saja di sekitar hotel itu, suasana Bali sangat terasa. Gapura yang menjadi ciri khas rumah-rumah orang Bali tersusun di sepanjang tepian jalan. Aroma dupa terasa menyengat, disambangi pula suara lolongan anjing dari balik pagar rumah-rumah bermotif Bali itu. Namun, di sekitar kawasan Cakranegara itu, ada sebuah masjid besar yang megah yang saling berdampingan dengan pemukiman warga Hindu Bali itu.
Selama dua hari berada di Mataram, penulis mencoba berbagai macam makanan ala Lombok. Mulai dari ayam taliwang, nasi balap puyung, dan sate bulayak. Sate bulayak merupakan panganan khas Lombok, di mana lontongnya dikemas dari anyaman daun kelapa dengan daging kambing yang dicampur dengan kuah yang aromatik rasa campuran pedas, manis dan lemak.
Puas mengitari Mataram, rombongan kami pun menuju kawasan wisata paling terkenal di Lombok, yakni Senggigi dan Gili Trawangan. Kedua kawasan wisata terkenal itu terletak di Kab. Lombok Barat. Senggigi merupakan resor wisata yang reputasinya menyamai kawasan wisata Bali seperti Nusa Dua. Keunggulan kawasan Senggigi adalah pantainya yang berpasir putih serta iar lautnya yang jernih berwarna biru dilengkapi dengan karang-karang bawah laut yang terlihat hingga ke permukaan laut. Pantai Senggigi dapat dikatakan sebagai kawasan wisata terlengkap. Pasalnya, di sepanjang pantai ini berdiri berbagai hotel, resor hingga home stay dengan harga yang sesuai ukuran kantong pengunjung. Rombongan kami menunda dulu untuk menikmati keindahan Senggigi, pasalnya tujuan utama kami, adalah Gili (pulau) Trawangan.
Melewati Senggigi, kami pun istirahat sejenak di Bukit Manimbu. Di atas bukit ini, ada tempat istirahat (shelter) yang dibuat sebagai tempat perhentian sementara bus pariwisata. Dari atas bukit ini, mata kita bisa menyapu seluruh kawasan sekitar, mulai dari Senggigi hingga pantai Sekotong. Di shelter Bukit Manimbu itu, sejumlah pedagang menwarkan berbagai jenis batu akik Lombok yang menawan. Beberapa rekan akhir merelakan uangnya melayak untuk membeli benda yang lagi trending itu. Tak berapa lama bus kami menuju pelabuhan pemberangkatan ke Gili Trawangan.
Gili Trawangan, dari kabar yang kami dengar merupakan pulau wisata yang paling bebas, bahkan lebih bebas dari kawasan wisata di Bali. Di pulau ini lah, pengunjung lokal bisa ‘cuci mata’ untuk melihat wisatawan bule setengah telanjang. Di hari ketiga dari perjalanan kami, sebuah perahu yang khusus disewa telah siap mengantarkan kami menuju Gili Trawangan. Pada bulan Juni hingga Agustus, para nelayan mengatakan cuaca di sekitar selat yang memisahkan Lombok dan Gili Trawangan cukup bersahabat, sehingga kurang dari satu jam, perahu nelayan dengan muatan 20 orang itu akan sampai di lokasi yang dituju. Masih di atas perahu yang berlayar tenang, mata kami pun sudah disuguhi pemandangan indah pantai seluas 5 hektar itu. Berbagai hotel dan homestay berdiri indah menyambut para wisatawan yang berlabuh di pantai pasir putih itu.
Ketika menjejakkan kaki di pantai Gili Trawangan, benar saja kabar yang kami terima, kawasan itu dipenuhi oleh ratusan bule dari berbagai suku bangsa Eropah dengan segala aktifitasnya. Umumnya memang berpakaian ala wisatawan bule yang berpakaian minim dan seenaknya. “Selain Bali, Gili Trawangan ini negeri mereka, meski berada di Indonesia,” ujar rekan ku, saat berjalan mencari hotel tempat kami menginap. Asumsi itu ada benarnya, karena dari berbagai kabar yang kami dengar dari karyawan café di sekitar pantai, umumnya hotel, resor dan homestay ini milik pengusaha-pengusaha Eropah, namun di kelola oleh warga pribumi. Bahkan, ada di antara pengelola hotel dan resor itu, merupakan istri dari pemilik modal yang orang bule itu. Harga penginapan di Gili Trawangan relative murah, sesuai dengan ukuran masing-masing.
Pulau yang luasnya hanya 5 hektar itu, dihubungkan oleh jalan arteri yang mengelilingi pulau. Di jalan itu, berlaku ketentuan larangan terhadap kenderaan bermesin. Sehingga yang ada di jalan lingkar Gili Trawangan hanyalah sepeda dan pedati saja. Itu lah kenderaan resmi wisatawan dan penduduk setempat. Di tengah hiruk pikuk wisatawan manca negara itu, ada sesuatu yang ganjil, yakni keberadaan masjid yang berada di sekitar areal pantai. Masjid Al Hidayah itu, mengumandangkan adzan lima kali dalam sehari semalam. Ketika sholat Jumat berlangsung, masjid itu penuh sesak oleh warga lokal, juga pengunjung pulau dan beberapa jemaah berwajah bule.
Sore hari, penulis menggunakan sepeda sewaan berhasil mengelilingi Gili Trawangan. Waktu tempuh hingga sampai ke lokasi semula, sekira 1,5 jam. Di belahan Gili Trawangan, penulis sempat bertemu seorang pengembara asal Sumbar bersama anaknya. Pengembara Sumbar ini mengaku sudah tiga tahun tinggal di sana. Lalu, usai Shubuh keesokan harinya, penulis juga sempat membelah Gili Trawangan dengan bersepeda guna melihat isi pedalaman pulau itu. Di kawasan pedalaman, ternyata ada perkampungan penduduk yang umumnya memiliki perkebunan kelapa yang terbatas dan cukup untuk menghidupI keluarga mereka, disamping bekerja di sektor pariwisata. Pulau ini hanya di huni belasan kepala keluarga etnis Sasak. Soal makan, dipastikan tak ada makanan tradisional di sini, umumnya makanan manca negara.
Menutup perjalan kami, selama dua hari menyempatkan diri untuk menikmati suasana pantai Senggigi dari dekat. Kami sengaja memilih salah satu hotel yang berada di perbukitan untuk menikmati keunikan view pantai Sengigi.  Lombok yang kecil, ternyata menyimpan banyak resor wisata yang belum sempat dikunjungi. Mudah-mudahan di lain waktu, ada kesempatan kembali ke sana. @ Abdul Khalik

Post a Comment for "Menikmati Alam Lombok Dengan Sentuhan Bali"