Menikmati Alam Lombok Dengan Sentuhan Bali
Menaiki
pesawat CityLink dari KNIA, setelah transit di Bandara Soetta, rombongan
kami menjejakkan kaki di Bandara
Internasional Lombok, sore hari. Kami
pun disambut rekan dari PWI cabang NTB dan langsung menjamu kami dengan makanan
khas Lombok ayam taliwang. Ayam taliwang adalah lauk kebanggaan Lombok, yang
pedas cabenya mengalahkan rasa pedas gulai uni-uni Minangkabau. Ditengah
menikmati pedasnya ayam taliwang, kami pun sudah memiliki agenda untuk mendatangi
sejumlah kawasan wisata terkenal di pulau bertetangga dengan Bali itu.
Tapi
tentu saja, harus sowan dengan pemilik pulau itu, dengan cara bersilaturrahmi
ke wali kota Mataram Masykur Abduh. Esoknya ditemani Ketua PWI cabang NTB, kami
pun diterima dengan keramahan, rencana yang sudah disusun pun langsung
diwujudkan. Menggunakan mobil pariwisata tiga suku, hari pertama kami langsung
tancap gas ke Kuta Lombok dan Tanjung Aan.
Di
Tanjung Aan, seperti pantai-pantai pada umumnya, terpaan angin keras membuat
suasana di sekitar kawasan itu jadi menyenangkan. Hal yang paling menyenangkan
sekaligus menjengkelkan, adalah serbuan para penjual barang-barang kerajinan
untuk oleh-oleh. Para pedagang di sana, terkesan memaksakan agar pengunjung
Pantai Aan harus membeli barang yang mereka jajakan. Bahkan, untuk di foto pun
mereka meminta upah. Tapi tak apalah, karena semua memang dalam rangka
menikmati suasana. Di pantai Aan, penulis sempat membeli segenggam batu akik
khas Lombok. Harganya Rp100 ribu untuk belasan batu akik yang sudah jadi.
Sayangnya, pada Juni, angin Barat sangat kencang, sehingga pantai Tanjung Aan
menjadi kotor oleh limbah laut.
Beranjak
dari Pantai Aan menuju Kuta Lombok, kami sempat berhenti sejenak di Desa Segera
Kuta lokasi asal legenda Putri Mandalika. Di desa ini antara Februari dan Maret
ada pesta atau upacara yang disebut dengan Bau Nyale (menangkap cacing)
yang hidup di sela-sela liang batu karang di bawah permukaan laut. Pesta ini
merupakan bentuk penghormatan kepada Puteri Mandalika. Kami sempat melihat areal
persawahan di desa itu yang digunakan sebagai lokasi pembukaan pesta.
Hanya selang sekira 15 menit dari Desa Segera
Kuta, rombongan kami pun sampai di Kuta Lombok. Tak jauh beda dengan Tanjung
Aan, pantai Kuta Lombok merupakan salah satu destinasi yang diandalkan oleh
Provinsi NTB. Seperti halnya pantai Kuta di Bali, Kuta Lombok juga merupakan
lokasi pantai dengan sengatan matahari yang disukai wisatawan bule. Tingkat
kebebasan para wisatawan bule di Kuta Lombok sama halnya dengan Kuta Bali,
misalnya kafe yang berjejer di seberang pantai yang dipisahkan jalan. Umumnya,
keberadaan kafe-kafe itu memang melayani wisatawan bule, disamping kebebasan
lainnya. Di sini, kami juga diserbu para pedagang kerajinan, dan beberapa di
antara kami juga membeli batu akik yang siap olah maupun yang berbentuk
bongkahan.
Saat
kembali dari Tanjung Aan dan Kuta Lombok, rombongan kami menyempatkan singgah
di perkampungan tradisional Sasak Sade. Penulis dan beberapa rekan mengelilingi
perkampungan itu. Mata sempat tertumbuk pada satu bangunan unik ditengah
perkampungan tradisional itu yang ternyata masjid Sasak. Guide setempat yang
menemani kami, mengatakan masjid itu digunakan muslim Sasak untuk beribadah.
Umumnya etnis Sasak sebagai penduduk asli Pulau Lombok, beragama Islam. Di sini
sejumlah oleh-oleh kerajinan khas Sasak Lombok, sempat kami beli.
Hari
kedua di Mataram selepas makan siang, mobil kami diarahkan menuju salah satu
pemandian paling fenomenal di Lombok, yaitu Taman Narmada. Taman Narmada,
adalah satu situs cagar budaya yang menjadi simbol besarnya pengaruh budaya Hindu
Bali terhadap Pulau Lombok, khususnya di Kab. Lombok Barat. Taman Narmada
dengan pemandian sejuknya dibangun oleh Raja Bali Anak Agung Ngurah Karangasem
pada 1727. Di masa Raja Bali ini
berkuasa, dia berhasil menaklukkan Lombok Barat dalam sebuah peperangan.
Sebagai wilayah kekuasaan Raja Bali Karangasem ini, kemudian membangun tepat
ibadah berupa pura serta kawasan peristirahatannya. Taman Narmada merupakan
kawasan peristirahatan Raja Anak Agung Karangasem.
Di
Taman Narmada ini, ada mata air yang disucikan penganut Hindu Bali yang
diyakini berasal dari Gunung Rinjani. Mata air itu ditampung dalam beberapa
kolam besar. Salah satu kolam merupakan tempat para selir raja mandi. Di dekat
kolam itu, ada bangunan peristirahatan raja, juga kamar khusus raja untuk berhubungan
dengan para selirnya, selain perumahan prajurit dan gudang senjata, ada juga
Pura Kelasa. Dahulunya, komplek Taman Narmada merupakan istana Raja Bali di
musim panas. Selain Taman Narmada, jejak peninggalan Bali di Lombok juga
ditandai dengan keberadaan Pura Meru. Pura Meru dibangun bersamaan dengan Taman
Narmada.
Pengaruh
Hindu Bali sangat terasa khusunya di Kab. Lombok Barat. Kami menginap di salah
satu hotel di kawasan Cakranegara. Selepas Shubuh penulis menyempatkan diri
berjalan-jalan di sekitar hotel. Benar saja di sekitar hotel itu, suasana Bali
sangat terasa. Gapura yang menjadi ciri khas rumah-rumah orang Bali tersusun di
sepanjang tepian jalan. Aroma dupa terasa menyengat, disambangi pula suara
lolongan anjing dari balik pagar rumah-rumah bermotif Bali itu. Namun, di
sekitar kawasan Cakranegara itu, ada sebuah masjid besar yang megah yang saling
berdampingan dengan pemukiman warga Hindu Bali itu.
Selama
dua hari berada di Mataram, penulis mencoba berbagai macam makanan ala Lombok.
Mulai dari ayam taliwang, nasi balap puyung, dan sate bulayak. Sate bulayak
merupakan panganan khas Lombok, di mana lontongnya dikemas dari anyaman daun
kelapa dengan daging kambing yang dicampur dengan kuah yang aromatik rasa
campuran pedas, manis dan lemak.
Puas
mengitari Mataram, rombongan kami pun menuju kawasan wisata paling terkenal di
Lombok, yakni Senggigi dan Gili Trawangan. Kedua kawasan wisata terkenal itu
terletak di Kab. Lombok Barat. Senggigi merupakan resor wisata yang reputasinya
menyamai kawasan wisata Bali seperti Nusa Dua. Keunggulan kawasan Senggigi
adalah pantainya yang berpasir putih serta iar lautnya yang jernih berwarna
biru dilengkapi dengan karang-karang bawah laut yang terlihat hingga ke
permukaan laut. Pantai Senggigi dapat dikatakan sebagai kawasan wisata
terlengkap. Pasalnya, di sepanjang pantai ini berdiri berbagai hotel, resor
hingga home stay dengan harga yang sesuai ukuran kantong pengunjung.
Rombongan kami menunda dulu untuk menikmati keindahan Senggigi, pasalnya tujuan
utama kami, adalah Gili (pulau) Trawangan.
Melewati
Senggigi, kami pun istirahat sejenak di Bukit Manimbu. Di atas bukit ini, ada
tempat istirahat (shelter) yang dibuat sebagai tempat perhentian sementara bus
pariwisata. Dari atas bukit ini, mata kita bisa menyapu seluruh kawasan
sekitar, mulai dari Senggigi hingga pantai Sekotong. Di shelter Bukit Manimbu
itu, sejumlah pedagang menwarkan berbagai jenis batu akik Lombok yang menawan.
Beberapa rekan akhir merelakan uangnya melayak untuk membeli benda yang lagi
trending itu. Tak berapa lama bus kami menuju pelabuhan pemberangkatan ke Gili
Trawangan.
Gili
Trawangan, dari kabar yang kami dengar merupakan pulau wisata yang paling
bebas, bahkan lebih bebas dari kawasan wisata di Bali. Di pulau ini lah,
pengunjung lokal bisa ‘cuci mata’ untuk melihat wisatawan bule setengah
telanjang. Di hari ketiga dari perjalanan kami, sebuah perahu yang khusus
disewa telah siap mengantarkan kami menuju Gili Trawangan. Pada bulan Juni
hingga Agustus, para nelayan mengatakan cuaca di sekitar selat yang memisahkan
Lombok dan Gili Trawangan cukup bersahabat, sehingga kurang dari satu jam,
perahu nelayan dengan muatan 20 orang itu akan sampai di lokasi yang dituju. Masih
di atas perahu yang berlayar tenang, mata kami pun sudah disuguhi pemandangan
indah pantai seluas 5 hektar itu. Berbagai hotel dan homestay berdiri indah
menyambut para wisatawan yang berlabuh di pantai pasir putih itu.
Ketika
menjejakkan kaki di pantai Gili Trawangan, benar saja kabar yang kami terima,
kawasan itu dipenuhi oleh ratusan bule dari berbagai suku bangsa Eropah dengan segala
aktifitasnya. Umumnya memang berpakaian ala wisatawan bule yang berpakaian
minim dan seenaknya. “Selain Bali, Gili Trawangan ini negeri mereka, meski
berada di Indonesia,” ujar rekan ku, saat berjalan mencari hotel tempat kami
menginap. Asumsi itu ada benarnya, karena dari berbagai kabar yang kami dengar
dari karyawan café di sekitar pantai, umumnya hotel, resor dan homestay ini
milik pengusaha-pengusaha Eropah, namun di kelola oleh warga pribumi. Bahkan,
ada di antara pengelola hotel dan resor itu, merupakan istri dari pemilik modal
yang orang bule itu. Harga penginapan di Gili Trawangan relative murah, sesuai
dengan ukuran masing-masing.
Pulau
yang luasnya hanya 5 hektar itu, dihubungkan oleh jalan arteri yang
mengelilingi pulau. Di jalan itu, berlaku ketentuan larangan terhadap kenderaan
bermesin. Sehingga yang ada di jalan lingkar Gili Trawangan hanyalah sepeda dan
pedati saja. Itu lah kenderaan resmi wisatawan dan penduduk setempat. Di tengah
hiruk pikuk wisatawan manca negara itu, ada sesuatu yang ganjil, yakni
keberadaan masjid yang berada di sekitar areal pantai. Masjid Al Hidayah itu,
mengumandangkan adzan lima kali dalam sehari semalam. Ketika sholat Jumat
berlangsung, masjid itu penuh sesak oleh warga lokal, juga pengunjung pulau dan
beberapa jemaah berwajah bule.
Sore
hari, penulis menggunakan sepeda sewaan berhasil mengelilingi Gili Trawangan.
Waktu tempuh hingga sampai ke lokasi semula, sekira 1,5 jam. Di belahan Gili
Trawangan, penulis sempat bertemu seorang pengembara asal Sumbar bersama
anaknya. Pengembara Sumbar ini mengaku sudah tiga tahun tinggal di sana. Lalu,
usai Shubuh keesokan harinya, penulis juga sempat membelah Gili Trawangan
dengan bersepeda guna melihat isi pedalaman pulau itu. Di kawasan pedalaman,
ternyata ada perkampungan penduduk yang umumnya memiliki perkebunan kelapa yang
terbatas dan cukup untuk menghidupI keluarga mereka, disamping bekerja di
sektor pariwisata. Pulau ini hanya di huni belasan kepala keluarga etnis Sasak.
Soal makan, dipastikan tak ada makanan tradisional di sini, umumnya makanan
manca negara.
Menutup
perjalan kami, selama dua hari menyempatkan diri untuk menikmati suasana pantai
Senggigi dari dekat. Kami sengaja memilih salah satu hotel yang berada di
perbukitan untuk menikmati keunikan view pantai Sengigi. Lombok yang kecil, ternyata menyimpan banyak
resor wisata yang belum sempat dikunjungi. Mudah-mudahan di lain waktu, ada
kesempatan kembali ke sana. @ Abdul Khalik
Post a Comment for "Menikmati Alam Lombok Dengan Sentuhan Bali"