Batak Oorlog Dan Pendirian Gemeente Tebingtinggi
Kawasan
Sumatera Utara baik pesisir timur maupun kawasan pedalaman di pegunungan Bukit
Barisan, dikenal memiliki lahan yang subur. Berbagai sungai yang mengalir
hingga ke selat Melaka, merupakan jalur transportasi yang sangat penting kala
itu. Melalui jalur sungai berbagai transaksi perdagangan dilakukan antara
masyarakat berbagai kerajaan yang ada, berupa barter hasi;-hasil hutan dan
pertanian dari hulu dengan barang-barang hasil kerajinan industri dari hilir
dan luar negeri. Ramainya kegiatan ekonomi itu, menumbuhkan berbagai
perkampungan di tepian sungai yang menjadi pangkalan tempat terjadinya
transaksi antara masyarakat pedalaman di hulu dan masyarakat pantai di hilir,
bahkan dengan pedagang dari luar negeri. Hingga akhir abad 19, tidak ada
kawasan pemukiman yang berada jauh dari aliran sungai, umumnya kawasan
pemukiman di Sumatera Utara baik di pedalaman maupun pesisir, berada di tepian
sungai atau dekat dengan sungai.
Perubahan
peradaban maritim menuju peradaban darat, mulai terjadi ketika Jacob Nienhuys
mulai menggunakan lahan luas untuk membuat perkebunan tembakau pada 1963 di
sekitar kawasan Medan. Usaha ini kemudian berkembang dengan dibukanya perusahan
perkebunan pertama kali oleh Nienhuys dan Peter Wilhelm Janssen
bernama Deli Maatschappij sebagai perusahaan modern. Pembukaan
perkebunan tembakau itu menjadi titik awal terjadinya proses ekonomi modern, di
mana industri perkebunan yang membutuhkan lahan luas dan tenaga kerja yang
banyak disamping proses eksport dan import dengan berbagai peraturan yang
dibuat guna kelanggengan kegiatan perkebunan. Sejak dibukanya berbagai
perkebunan, pola kegiatan ekonomi di Sumatera Timur, baik pesisir dan pedalaman
turut mengalami perubahan mendasar, yakni terintegrasi dengan geliat ekonomi
dunia.
Beberapa
kawasan pemukiman strategis terus berkembang, seiring perkembangan perkebunan.
Misalnya, Medan yang semula hanya kampung kecil bernama ‘Medan Putri’ yang
terletak di pertemuan sungai Deli dan Babura, terus mengalami perkembangan
dengan kedatangan imigran dari berbagai negeri. Demikian pula dengan
Tebingtinggi yang semula hanya kampung kecil bernama ‘Tebingtinggi Lama’
terletak di pertemuan sungai Padang dan Bahilang, terus tumbuh menjadi kawasan
yang disesaki berbagai imigran banyak negeri, kemudian menjadi Tebingtinggi.
Hal sama dialami Binjai, yang berawal dari kampung Be Binjei di
pertemuan sungai Bingei dan Mencirim. Juga Pematang Siantar, Tanjung Balai dan
berbagai kampung kecil di tepian sungai, di mana seiring perkembangan ekonomi,
kampung kecil itu mengalami pemekaran alamiah.
Pun
demikian, perkembangan alamiah kawasan perkotaan itu tak terlepas dari dinamika
politik, ekonomi dan sosial-budaya diselingi agama antara Belanda dan
kerajaan-kerajaan yang ada, dan inheren dengan proses pemekaran kawasan itu.
Konflik dan gesekan poleksosbud dan agama itu terjadi, seiring dengan terus
tumbuhnya perekonomian modern di Sumatera Utara, baik di kawasan pedalaman
maupun di pesisir. Batak Oorlog atau Perang Batak yang didalamnya
termasuk Perang Batak Timur Raya, adalah salah satu puncak konflik politik,
ekonomi dan sosial-budaya, khususnya di kawasan padalaman dan pesisir Sumatera
Timur. Batak Oorlog berdasarkan geografis, dapat dibagi dalam dua
kawasan, yakni kawasan pertama Langkat, Deli dan Karo serta kawasan kedua,
Serdang, Padang, Simalungun dan Asahan.
Khusus
di kawasan Simalungun dan Padang, konflik antara kedua kerajaan dengan Kolonial
Belanda berlangsung saat terjadinya Perang Padang I (1870-1972) dan Perang
Padang II (1885-1888). Kedua perang ini bersamaan waktunya dengan Perang
Sunggal (1871-1885) dipimpin Datuk Badiuzzaman dan Datuk Kecik. Gabungan antara
Perang Sunggal dan Perang Padang I dan Perang Padang II itu lah yang oleh
Belanda disebut dengan Batak Oorlog, karena peperangan yang melibatkan
kawasan luas, baik di pesisir dan pedalaman, khususnya kawasan Batak Timur. Hal
itu mengakibatkan Kolonial Belanda harus mengeluarkan dana dan tenaga militer
yang cukup besar untuk mematahkan perlawanan itu, disamping juga kerugian yang
besar akibat dari perang itu.
Batak
Oorlog terjadi, umumnya disebabkan oleh
penolakan berbagai kerajaan yang ada, terhadap ekspansi kegiatan perkebunan
oleh para pengusaha Belanda dan Asing lainnya di kawasan itu. Di mana politik
konsesi kepada pengusaha Belanda dan Asing dipandang oleh para raja sebagai
upaya memperkecil wilayah kekuasaan mereka serta merampas kedaulatan mereka
atas lahan-lahan yang selama ini mereka kuasai. Bahkan, kerajaan-kerajaan yang
ada di Sumatera Timur dan kerajaan-kerajaan pedalaman memandang konsesi sebagai
bentuk lain dari penjajahan.
Konsesi
sendiri dapat diartikan sebagai pola hubungan atau sistem kerjasama, di mana
negara sebagai sumber daya mineral memberikan kuasa kepada perusahaan berupa
hak untuk melakukan eksplorasi, pengembangan produksi, termasuk pemasaran produksi
dalam kurun waktu tertentu. Perusahaan yang mendapat konsesi selanjutnya, akan
memberikan sewa, bonus, royalti dan pajak, kepada negara. Kolonial Belanda
dalam hal politik konsesi di Sumatera Timur, melakukan upaya kerjasama dengan
kerajaan-kerajaan yang ada, selanjutnya menguasai wilayah kerajaan-kerajaan
dimaksud untuk kemudian memberikan hak pengelolaan kepada perusahaan-perusahaan
multi nasional. Di mana Kolonial Belanda mengambil sewa, bonus, royalti dan
pajak untuk bagian terbesarnya dan memberikan kepada kerajaan-kerajaan bagian
terkecil dari hasil sewa, bonus, royalti dan pajak dari lahan
kerajaan-kerajaan. Politik konsesi yang diberlakukan Kolonial Belanda atas
Sumater Timur, adalah model konsesi klasik, yaitu melalui model kontrak lahan
dalam jangka waktu sangat lama dengan areal lahan yang sangat luas, bahkan tak
jarang hingga seluas wilayah kerajaan. Bahkan, salah satu di antara model
konsesi yang diterapkan Kolonial Belanda di Sumatera Timur, adalah pencaplokan
suatu wilayah tanpa adanya kewajiban untuk mengembalikan wilayah itu kepada
status asalnya (Rian Monterey, prezi.com/27/7/2015)
Konsesi
model pertama yang dilakukan Kolonial Belanda, terhadap Negeri Padang, adalah
dengan meminta kepada Kesultanan Deli agar memberikan izin penggunaan wilayah
Kerajaan Padang sebagai kawasan perkebunan, mulai dari kawasan hilir di Padang
Hilir hingga kawasan hulu di Padang Hulu. Kawasan itu menjadi kawasan konsesi
setelah Sultan Deli Harun Al Rasyid Perkasa Alamshah mengizinkannya dan
mendapatkan rekomendasi dari Raja Kerajaan Padang, khususnya di masa Tengku H.
Muhammad Nurdin (1870-1914). Konsesi yang diberikan Kesultanan Deli atas
wilayah Kerajaan Padang dalam jangka waktu lama, umumnya berkisar 50 tahun
hingga 75 tahun.
Itu
sebabnya rata-rata hak konsesi perkebunan di kawasan Padang Hilir dan Padang
Hulu, akan berakhir pada pertengahan abad 20, yakni antara 1960 hingga 1980 an.
Misalnya Perkebunan Bandaroli atau Pabatu, konsesinya sudah berakhir pada 1978.
Atau Perkebunan Bahilang sudah berakhir konsesinya pada 1961. Hal sama terjadi pula
pada berbagai perkebunan di kawasan itu, misalnya Kebun Sei Berong, Paya
Pinang, Laut Tador, Mendaris, Gunung Pamela, Gunung Monako, Bah Bulian, Gunung
Para, Bandar Bejambu, Sibulan, Rambutan dan beberapa perkebunan lainnya yang
berasal dari politik konsesi. Saat ini sebagian besar lahan konsesi itu
dikuasai pemerintah pusat, yang kemudia beralih kepada BUMN perkebunan, meski
soal alas hak dan legalitasnya masih dalam pertanyaan besar. Sedangkan sejumlah
perkebunan lainnya yang dikelola swasta asing, kini telah memperbarui hak guna
usaha (HGU) mereka kepada pemerintah pusat.
Jika
pemberian konsesi kepada pengusaha dilakukan Kolonial Belanda, maka konsesi
model kedua untuk kepentingan politik ekonomi, juga dilakukan penjajah itu guna
memperkuat posisi mereka atas konsesi jenis pertama. Model konsesi kedua,
adalah mengambil suatu wilayah, dengan cara mencaploknya dengan ketentuan tidak
ada kewajiban untuk mengembalikan wilayah yang dicaplok itu kepada pemerintah
asalnya. Model ini dilakukan justru melalui proses tertentu, salah satunya
melalui perjanjian damai setelah memenangkan peperangan. Di Kerajaan Negeri
Padang, praktek ini dilakukan Kolonial Belanda setelah usainya Perang Padang II
(1885-1888). Melalui suatu perjanjian dengan Kesultanan Deli dan Kerajaan
Padang, Kolonial Belanda mengambil sejumlah kampung sebagai wilayah konsesi,
yakni Kampung Tebingtinggi Lama, Badak Bejuang, Rambung dan Pasar Baru (Passer
Baroe). Wilayah itu, kemudian dijadikan sebagai basis kegiatan ekonomi
Kolonia Belanda dalam rangka mengontrol aktifitas perkebunan di sekitar kawasan
Padang dan Bedagai. Dalam mendukung kegiatan ekonomi itu pula, Kolonial Belanda
kemudian membangun fasilitas publik di salah satu kampung, yakni Kampung
Rambung. Fasilitas publik itu, berupa kantor Kontelir, kantor pos, kantor
teleghraph, stasiun kereta api, balai umum, sekolah, pengadilan, hotel, kantor
polisi, rumah ibadah, penjara, pemakaman umum, dan berbagai fasilitas lainnya.
Seluruh fasilitas publik itu terkonsentrasi di Kampung Rambung. Sedangkan tiga
kampung lainnya, menjadi kawasan ekonomi. Bahkan, Tebingtinggi dengan empat
kampung itu selama puluhan tahun menjadi ibu kota Onder Afdeling Padang
dan Bedagai, dengan menempatkan Kontelir di Tebingtinggi. Onder Afdeling Padang dan Bedagai
berada dibawah Afdeling Deli dan Serdang yang ditetapkan Pada 1887
(Sinar, 2007 : 330).
Namun,
pengambilan keempat kampung itu, tidaklah dilakukan Kolonial Belanda dengan cek
kosong, karena ada ketentuan Kolonial Belanda harus melindungi takhta Raja
Kerajaan Negeri Padang Tengku H. Muhammad Nurdin dan keturunannya dari rongrongan
Sultan Deli Amaluddin Perkasa Alamshah yang berusaha menggantikannya dengan
keluarga Kesultanan Deli. Persitiwa itu sempat terjadi pada 1896, di mana
Belanda berdasarkan catatan Schadee harus melindungi Raja Padang ke 10
itu (Sinar, ibid, 2007 : 330). Namun, belakangan sepeninggal Tengku H. Muhammad
Nurdin, niat Kesultanan Deli menempatkan orang Deli di Kerajaan Padang terkabul
juga, dengan ditempatkannya Tengku Djalaluddin sebagai pelaksana Raja Padang
pada 1914.
Sejak
itu, keempat kampung strategis di Kerajaan Padang itu berpindah dalam kekuasaan
Kolonial Belanda. Kemudian seiring dengan menguatnya posisi Kolonial Belanda kemudian membentuk Gemeente Fonds Medan
pada 1886. Ide itu selanjutnya menular, dengan membentuk Gemeente Fonds pada
wilayah-wilayah yang dikuasai melalui konsesi, seperti Pematang Siantar,
Binjai, dan Tanjung Balai. Lalu, pada 1 Juli 1917 didirikan lah Gemeente
Raad Tebingtinggi dengan jumlah anggota sebanyak sembilan orang, di mana
tiga diantaranya pribumi dan enam lainnya, warga Belanda dan Timur Asing
(Putrapraja, 1990 : 33).
Kerja awal Gemeente Raad adalah membentuk Gemeente
Fonds dengan tugas membangun fasilitas publik, diantaranya water leading
untuk kebutuhan air bersih, di kawasan Pasar Baru yang terlaksana pada 1924
serta membangun jaringan drainase kota hingga terwujud pada 1926. Jika Gemeente
Fonds Medan berlanjut dengan membentuk Burgemeester, maka
Tebingtinggi tidak memiliki itu, karena jabatan itu langsung dirangkap
Kontelir. Tebingtinggi. Tanggal 1 Juli 1917, yakni awal pembentukan Gemeente
Raad, hingga kini dipandang sebagai awal berdirinya kota Tebingtinggi.
Dengan
demikian, pendirian Gemeente Tebingtinggi sangat erat kaitannya dengan
terjadinya Perang Padang II (1885-1888), di mana kawasan empat kampung, yang
jadi cikal bakal Tebingtinggi, yakni Kampung Tebingtinggi Lama, Badak Bejuang,
Rambung dan Pasar Baru, diambil Kolonial Belanda dari Kerajaan Negeri Padang
melalui perundingan setelah usainya perang dimaksud. Jika berdasarkan fakta
sejarah ini, maka pelepasan Tebingtinggi dari Kerajaan Negeri Padang terjadi
pada 1888. Jika dihitung usia Tebingtinggi sejak dilepasnya Tebingtinggi Lama
dan tiga kampung lainnya dari Kerajaan Negeri Padang, maka usianya hingga kini,
berkisar 127 tahun. @ Abdul Khalik
Post a Comment for "Batak Oorlog Dan Pendirian Gemeente Tebingtinggi"