----iklan---- Batak Oorlog Dan Pendirian Gemeente Tebingtinggi - JEJAK KHALIK
Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Batak Oorlog Dan Pendirian Gemeente Tebingtinggi

           
PERANG Batak atau Batak Oorlog (1872-1885) merupakan peristiwa penting dalam lintasan sejarah di Sumatera Utara, khususnya kawasan Sumatera Timur. Perang ini, menjadi titik awal terjadinya perubahan mendasar dalam dinamika peradaban di wilayah itu. Ketika perang ini terjadi, ditandai dengan dimulainya dengan peradaban modern  dan ditinggalkannya peradaban maritim yang kala itu menjadi model kehidupan masyarakat yang berada dibawah absolutism kerajaan-kerajaan etnik yang ada. Kerajaan-kerajaan di pantai timur Sumatera Timur yang beretnis Melayu saat itu, adalah Kesltanan Langkat, Deli, Serdang, Bedagai, Padang, Asahan, Kualuh dan Kuta Pinang. Sedangkan di kawasan pedalaman, terdapat sejumlah kerajaan, diantaranya Raya, Siattar, Tanah Jawa, dan Karo.
            Kawasan Sumatera Utara baik pesisir timur maupun kawasan pedalaman di pegunungan Bukit Barisan, dikenal memiliki lahan yang subur. Berbagai sungai yang mengalir hingga ke selat Melaka, merupakan jalur transportasi yang sangat penting kala itu. Melalui jalur sungai berbagai transaksi perdagangan dilakukan antara masyarakat berbagai kerajaan yang ada, berupa barter hasi;-hasil hutan dan pertanian dari hulu dengan barang-barang hasil kerajinan industri dari hilir dan luar negeri. Ramainya kegiatan ekonomi itu, menumbuhkan berbagai perkampungan di tepian sungai yang menjadi pangkalan tempat terjadinya transaksi antara masyarakat pedalaman di hulu dan masyarakat pantai di hilir, bahkan dengan pedagang dari luar negeri. Hingga akhir abad 19, tidak ada kawasan pemukiman yang berada jauh dari aliran sungai, umumnya kawasan pemukiman di Sumatera Utara baik di pedalaman maupun pesisir, berada di tepian sungai atau dekat dengan sungai.
            Perubahan peradaban maritim menuju peradaban darat, mulai terjadi ketika Jacob Nienhuys mulai menggunakan lahan luas untuk membuat perkebunan tembakau pada 1963 di sekitar kawasan Medan. Usaha ini kemudian berkembang dengan dibukanya perusahan perkebunan pertama kali oleh Nienhuys dan Peter Wilhelm Janssen bernama Deli Maatschappij sebagai perusahaan modern. Pembukaan perkebunan tembakau itu menjadi titik awal terjadinya proses ekonomi modern, di mana industri perkebunan yang membutuhkan lahan luas dan tenaga kerja yang banyak disamping proses eksport dan import dengan berbagai peraturan yang dibuat guna kelanggengan kegiatan perkebunan. Sejak dibukanya berbagai perkebunan, pola kegiatan ekonomi di Sumatera Timur, baik pesisir dan pedalaman turut mengalami perubahan mendasar, yakni terintegrasi dengan geliat ekonomi dunia.
Beberapa kawasan pemukiman strategis terus berkembang, seiring perkembangan perkebunan. Misalnya, Medan yang semula hanya kampung kecil bernama ‘Medan Putri’ yang terletak di pertemuan sungai Deli dan Babura, terus mengalami perkembangan dengan kedatangan imigran dari berbagai negeri. Demikian pula dengan Tebingtinggi yang semula hanya kampung kecil bernama ‘Tebingtinggi Lama’ terletak di pertemuan sungai Padang dan Bahilang, terus tumbuh menjadi kawasan yang disesaki berbagai imigran banyak negeri, kemudian menjadi Tebingtinggi. Hal sama dialami Binjai, yang berawal dari kampung Be Binjei di pertemuan sungai Bingei dan Mencirim. Juga Pematang Siantar, Tanjung Balai dan berbagai kampung kecil di tepian sungai, di mana seiring perkembangan ekonomi, kampung kecil itu mengalami pemekaran alamiah.
Pun demikian, perkembangan alamiah kawasan perkotaan itu tak terlepas dari dinamika politik, ekonomi dan sosial-budaya diselingi agama antara Belanda dan kerajaan-kerajaan yang ada, dan inheren dengan proses pemekaran kawasan itu. Konflik dan gesekan poleksosbud dan agama itu terjadi, seiring dengan terus tumbuhnya perekonomian modern di Sumatera Utara, baik di kawasan pedalaman maupun di pesisir. Batak Oorlog atau Perang Batak yang didalamnya termasuk Perang Batak Timur Raya, adalah salah satu puncak konflik politik, ekonomi dan sosial-budaya, khususnya di kawasan padalaman dan pesisir Sumatera Timur. Batak Oorlog berdasarkan geografis, dapat dibagi dalam dua kawasan, yakni kawasan pertama Langkat, Deli dan Karo serta kawasan kedua, Serdang, Padang, Simalungun dan Asahan.
Khusus di kawasan Simalungun dan Padang, konflik antara kedua kerajaan dengan Kolonial Belanda berlangsung saat terjadinya Perang Padang I (1870-1972) dan Perang Padang II (1885-1888). Kedua perang ini bersamaan waktunya dengan Perang Sunggal (1871-1885) dipimpin Datuk Badiuzzaman dan Datuk Kecik. Gabungan antara Perang Sunggal dan Perang Padang I dan Perang Padang II itu lah yang oleh Belanda disebut dengan Batak Oorlog, karena peperangan yang melibatkan kawasan luas, baik di pesisir dan pedalaman, khususnya kawasan Batak Timur. Hal itu mengakibatkan Kolonial Belanda harus mengeluarkan dana dan tenaga militer yang cukup besar untuk mematahkan perlawanan itu, disamping juga kerugian yang besar akibat dari perang itu.
Batak Oorlog terjadi, umumnya disebabkan oleh penolakan berbagai kerajaan yang ada, terhadap ekspansi kegiatan perkebunan oleh para pengusaha Belanda dan Asing lainnya di kawasan itu. Di mana politik konsesi kepada pengusaha Belanda dan Asing dipandang oleh para raja sebagai upaya memperkecil wilayah kekuasaan mereka serta merampas kedaulatan mereka atas lahan-lahan yang selama ini mereka kuasai. Bahkan, kerajaan-kerajaan yang ada di Sumatera Timur dan kerajaan-kerajaan pedalaman memandang konsesi sebagai bentuk lain dari penjajahan.
Konsesi sendiri dapat diartikan sebagai pola hubungan atau sistem kerjasama, di mana negara sebagai sumber daya mineral memberikan kuasa kepada perusahaan berupa hak untuk melakukan eksplorasi, pengembangan produksi, termasuk pemasaran produksi dalam kurun waktu tertentu. Perusahaan yang mendapat konsesi selanjutnya, akan memberikan sewa, bonus, royalti dan pajak, kepada negara. Kolonial Belanda dalam hal politik konsesi di Sumatera Timur, melakukan upaya kerjasama dengan kerajaan-kerajaan yang ada, selanjutnya menguasai wilayah kerajaan-kerajaan dimaksud untuk kemudian memberikan hak pengelolaan kepada perusahaan-perusahaan multi nasional. Di mana Kolonial Belanda mengambil sewa, bonus, royalti dan pajak untuk bagian terbesarnya dan memberikan kepada kerajaan-kerajaan bagian terkecil dari hasil sewa, bonus, royalti dan pajak dari lahan kerajaan-kerajaan. Politik konsesi yang diberlakukan Kolonial Belanda atas Sumater Timur, adalah model konsesi klasik, yaitu melalui model kontrak lahan dalam jangka waktu sangat lama dengan areal lahan yang sangat luas, bahkan tak jarang hingga seluas wilayah kerajaan. Bahkan, salah satu di antara model konsesi yang diterapkan Kolonial Belanda di Sumatera Timur, adalah pencaplokan suatu wilayah tanpa adanya kewajiban untuk mengembalikan wilayah itu kepada status asalnya (Rian Monterey, prezi.com/27/7/2015)
Konsesi model pertama yang dilakukan Kolonial Belanda, terhadap Negeri Padang, adalah dengan meminta kepada Kesultanan Deli agar memberikan izin penggunaan wilayah Kerajaan Padang sebagai kawasan perkebunan, mulai dari kawasan hilir di Padang Hilir hingga kawasan hulu di Padang Hulu. Kawasan itu menjadi kawasan konsesi setelah Sultan Deli Harun Al Rasyid Perkasa Alamshah mengizinkannya dan mendapatkan rekomendasi dari Raja Kerajaan Padang, khususnya di masa Tengku H. Muhammad Nurdin (1870-1914). Konsesi yang diberikan Kesultanan Deli atas wilayah Kerajaan Padang dalam jangka waktu lama, umumnya berkisar 50 tahun hingga 75 tahun.
Itu sebabnya rata-rata hak konsesi perkebunan di kawasan Padang Hilir dan Padang Hulu, akan berakhir pada pertengahan abad 20, yakni antara 1960 hingga 1980 an. Misalnya Perkebunan Bandaroli atau Pabatu, konsesinya sudah berakhir pada 1978. Atau Perkebunan Bahilang sudah berakhir konsesinya pada 1961. Hal sama terjadi pula pada berbagai perkebunan di kawasan itu, misalnya Kebun Sei Berong, Paya Pinang, Laut Tador, Mendaris, Gunung Pamela, Gunung Monako, Bah Bulian, Gunung Para, Bandar Bejambu, Sibulan, Rambutan dan beberapa perkebunan lainnya yang berasal dari politik konsesi. Saat ini sebagian besar lahan konsesi itu dikuasai pemerintah pusat, yang kemudia beralih kepada BUMN perkebunan, meski soal alas hak dan legalitasnya masih dalam pertanyaan besar. Sedangkan sejumlah perkebunan lainnya yang dikelola swasta asing, kini telah memperbarui hak guna usaha (HGU) mereka kepada pemerintah pusat.
Jika pemberian konsesi kepada pengusaha dilakukan Kolonial Belanda, maka konsesi model kedua untuk kepentingan politik ekonomi, juga dilakukan penjajah itu guna memperkuat posisi mereka atas konsesi jenis pertama. Model konsesi kedua, adalah mengambil suatu wilayah, dengan cara mencaploknya dengan ketentuan tidak ada kewajiban untuk mengembalikan wilayah yang dicaplok itu kepada pemerintah asalnya. Model ini dilakukan justru melalui proses tertentu, salah satunya melalui perjanjian damai setelah memenangkan peperangan. Di Kerajaan Negeri Padang, praktek ini dilakukan Kolonial Belanda setelah usainya Perang Padang II (1885-1888). Melalui suatu perjanjian dengan Kesultanan Deli dan Kerajaan Padang, Kolonial Belanda mengambil sejumlah kampung sebagai wilayah konsesi, yakni Kampung Tebingtinggi Lama, Badak Bejuang, Rambung dan Pasar Baru (Passer Baroe). Wilayah itu, kemudian dijadikan sebagai basis kegiatan ekonomi Kolonia Belanda dalam rangka mengontrol aktifitas perkebunan di sekitar kawasan Padang dan Bedagai. Dalam mendukung kegiatan ekonomi itu pula, Kolonial Belanda kemudian membangun fasilitas publik di salah satu kampung, yakni Kampung Rambung. Fasilitas publik itu, berupa kantor Kontelir, kantor pos, kantor teleghraph, stasiun kereta api, balai umum, sekolah, pengadilan, hotel, kantor polisi, rumah ibadah, penjara, pemakaman umum, dan berbagai fasilitas lainnya. Seluruh fasilitas publik itu terkonsentrasi di Kampung Rambung. Sedangkan tiga kampung lainnya, menjadi kawasan ekonomi. Bahkan, Tebingtinggi dengan empat kampung itu selama puluhan tahun menjadi ibu kota Onder Afdeling Padang dan Bedagai, dengan menempatkan Kontelir di Tebingtinggi.  Onder Afdeling Padang dan Bedagai berada dibawah Afdeling Deli dan Serdang yang ditetapkan Pada 1887 (Sinar, 2007 : 330).
Namun, pengambilan keempat kampung itu, tidaklah dilakukan Kolonial Belanda dengan cek kosong, karena ada ketentuan Kolonial Belanda harus melindungi takhta Raja Kerajaan Negeri Padang Tengku H. Muhammad Nurdin dan keturunannya dari rongrongan Sultan Deli Amaluddin Perkasa Alamshah yang berusaha menggantikannya dengan keluarga Kesultanan Deli. Persitiwa itu sempat terjadi pada 1896, di mana Belanda berdasarkan catatan Schadee harus melindungi Raja Padang ke 10 itu (Sinar, ibid, 2007 : 330). Namun, belakangan sepeninggal Tengku H. Muhammad Nurdin, niat Kesultanan Deli menempatkan orang Deli di Kerajaan Padang terkabul juga, dengan ditempatkannya Tengku Djalaluddin sebagai pelaksana Raja Padang pada 1914.
Sejak itu, keempat kampung strategis di Kerajaan Padang itu berpindah dalam kekuasaan Kolonial Belanda. Kemudian seiring dengan menguatnya posisi Kolonial Belanda   kemudian membentuk Gemeente Fonds Medan pada 1886. Ide itu selanjutnya menular, dengan membentuk Gemeente Fonds pada wilayah-wilayah yang dikuasai melalui konsesi, seperti Pematang Siantar, Binjai, dan Tanjung Balai. Lalu, pada 1 Juli 1917 didirikan lah Gemeente Raad Tebingtinggi dengan jumlah anggota sebanyak sembilan orang, di mana tiga diantaranya pribumi dan enam lainnya, warga Belanda dan Timur Asing (Putrapraja, 1990 : 33).
 Kerja awal  Gemeente Raad adalah membentuk Gemeente Fonds dengan tugas membangun fasilitas publik, diantaranya water leading untuk kebutuhan air bersih, di kawasan Pasar Baru yang terlaksana pada 1924 serta membangun jaringan drainase kota hingga terwujud pada 1926. Jika Gemeente Fonds Medan berlanjut dengan membentuk Burgemeester, maka Tebingtinggi tidak memiliki itu, karena jabatan itu langsung dirangkap Kontelir. Tebingtinggi. Tanggal 1 Juli 1917, yakni awal pembentukan Gemeente Raad, hingga kini dipandang sebagai awal berdirinya kota Tebingtinggi.
Dengan demikian, pendirian Gemeente Tebingtinggi sangat erat kaitannya dengan terjadinya Perang Padang II (1885-1888), di mana kawasan empat kampung, yang jadi cikal bakal Tebingtinggi, yakni Kampung Tebingtinggi Lama, Badak Bejuang, Rambung dan Pasar Baru, diambil Kolonial Belanda dari Kerajaan Negeri Padang melalui perundingan setelah usainya perang dimaksud. Jika berdasarkan fakta sejarah ini, maka pelepasan Tebingtinggi dari Kerajaan Negeri Padang terjadi pada 1888. Jika dihitung usia Tebingtinggi sejak dilepasnya Tebingtinggi Lama dan tiga kampung lainnya dari Kerajaan Negeri Padang, maka usianya hingga kini, berkisar 127 tahun. @ Abdul Khalik

Post a Comment for "Batak Oorlog Dan Pendirian Gemeente Tebingtinggi"