----iklan---- Agama Sikh, Telah Ada Di T.Tinggi Sejak 1916 - JEJAK KHALIK
Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Agama Sikh, Telah Ada Di T.Tinggi Sejak 1916

           
 AGAKNYA, tak banyak warga Kota Tebingtinggi yang tahu tentang agama Sikh. Keyakinan sinkretik antara Islam, Kristen, Buddha dan Hindu berasal dari Punyab, India itu, ternyata berdasarkan keberadaan rumah ibadahnya, telah ada di kota lintasan itu sejak 1916. Sikh Gurdwara, di Jalan Imam Bonjol, Kel. Satria, Kec. Padang Hilir, menjadi bukti keberadaan penganut Sikh yang hingga kini ajarannya tetap terjaga secara turun temurun.
                                          
            Saat ini, total penganut Sikh yang beribadah di Sikh Gurdwara Kota Tebingtinggi sekira 200 orang atau 50 kepala keluarga. Mereka tidak hanya bermukim di Tebingtinggi, tapi menyebar, dari Perbaungan dan Lubuk Pakam. Pada saat-saat tertentu, penganut Sikh akan berkumpul di Kota Tebingtinggi untuk beribadah dan  melakukan silaturrahmi antar sesama.

            Umat Sikh bergabung dalam ‘Yayasan Sosial Kaum Sikh Shree Guru Granth Sahib Darbar Gurdwara Parbandhak Committee’ yang memiliki pengurus lengkap serta seorang pendeta (Bhai). Menurut Bhai Dalip Singh Sosan, saat ini jumlah gurdwara di Sumut mencapai delapan unit. Masing-masing empat di Medan, satu di Tebingtinggi, satu di Binjai, satu Pematang Siantar dan satu di Kisaran. Namun, dua di antara gurdwara itu tidak lagi berfungsi, karena umatnya sudah tidak ada, karena pindah (urban). “Maklum saja, mereka juga ingin mencari kehidupan lebih baik, jadi mereka pindah dari sana,” ujar Bhai itu.

             Pertapakaan Sikh Gurdwara yang ada di kota Tebingtinggi, menurut pengakuan Wakil Ketua Yayasan Sosial Kaum Sikh Hari Singh Lalpur, dalam suatu perbincangan, merupakan wakaf seorang muslim. “Lahan gurdwara ini pemberian (hibah) seorang haji,” ujar Hari Singh. Awalnya rawa-rawa, kemudian ditimbun dan dibangun secara gotong royong oleh warga Sikh yang ada di wilayah Kerajaan Padang Tebingtinggi.

            Kala itu, terang Hari Singh, banyak warga India penganut agama Sikh yang bekerja sebagai buruh di berbagai perkebunan sekitar Tebingtinggi. Mereka direkrut oleh perkebunan, terutama pengusaha Inggris, Belgia dan Belanda untuk bekerja. Misalnya di perkebunan Pabatu, Bahilang, Tanah Besih, Sibulan dan Bangun Bandar. Jumlah mereka mencapai ratusan orang. Umumnya, berasal dari berbagai negara bagian India, misalnya Punyab dan Malabar, tapi ada juga yang berasal dari Penang dan Singapura.

Warga India itu, tidak hanya beragama Sikh, tapi ada juga Hindu, Islam dan Ahmadiyah. Tidak mengherankan, jika ada situs peninggalan mereka di Kota Tebingtinggi yang kini masih terjaga. Misalnya, penganut Islam memiliki Masjid Al Mukhlis (Masjid Keling) di Jalan A. Yani, Kel. Pasar Baru, Kec. T.Tinggi Kota. Juga Masjid At Thahir di Jalan Batubara, Kel. T.Tinggi Lama, Kec. T.Tinggi Kota bagi penganut Ahmadiyah. Bahkan, ada perkampungan India dikenal sebagai Kampung Keling (saat ini masuk dalam wilayah Kel. Tanjung Marulak, Kec. Rambutan).

Tak cuma bangunan, warga India juga memiliki areal pemakaman sendiri berada di Kampung Nenas, Kel. Pasar Gambir, Kec. T.Tinggi Kota. Areal pemakaman itu digunakan warga Hindu dan Sikh. Ada puluhan warga India yang dikebumikan di pekuburan itu. Sedangkan warga Sikh menjadikan areal itu tempat kremasi (pembakaran) jenazah. Namun, saat ini warga Sikh resah, karena beberapa bagian pemakaman itu diserobot pendatang. Hari Singh dari beberapa sesepuh agama Sikh mengatakan kiranya Pemko Tebingtinggi peduli terhadapkomplek pemakaman mereka, sebagai aset sejarah. “Kami khawatir lahan itu akan hilang nantinya,” keluh dia.

Terkait ajaran agama Sikh, Hari Singh Lalpur, mengatakan agama ini dibawa oleh Guru Nanak Dev Ji (1469-1539). Selanjutnya dikembangkan oleh 10 guru sesudahnya, yakni Guru Angad Dev (1504-1552), Guru Amar Das (1479-1574), Guru Ram Das (1534-1581), Guru Arjan Dev (1563-1606), Guru Har Gobind (1595-1644), Guru Har Rai (1630-1661), Guru Har Krishan (1656-1664), Guru Tegh Bahadur (1621-1675). Guru terakhir agama Sikh adalah Gobind Singh (1666-1708). “Agama Sikh menyebut pembawa agama ini guru dan bukan nabi,” terang Hari Singh Lalpur. Sesudah guru terakhir, tidak ada lagi guru bagi kaum Sikh hingga hari kiamat,” tegas Bhai Dalip Singh Sosan.

Kitab suci agama ini diberi nama Shree Guru Grant Sahib Ji. Bangunan suci agama Sikh bernama Kuil Mas (Golden Temple) terletak di kota Amritsar, Punyab, India. Total penganut agama Sikh di Indonesia mencapai 80 ribu orang. Umumnya, merupakan suku bangsa Punyab, namun ada warga Indonesia keturunan Batak, Karo, Simalungun dan Jawa yang juga menganut Sikh.

Konsep Ketuhanan dalam agama Sikh, menurut Hari Singh Lalpur, bahwa zat maha itu, tidak memiliki nama khusus. “Karena zat itu menempati segala situasi, kondisi, ruang dan waktu. Jadi Sikh mengakui semua penyebutan zat maha itu, apakah Allah, Yahweh, Ram, Brahma dan lain-lain,” terang Hari Singh. Prinsipnya Sikh menganut monotheisme.

Namun, dalam konsep kematian agama Sikh masih menerima konsep reinkarnasi keyakinan Hindu. Artinya, penganut Sikh memungkin kembali ke dunia, jika dosannya banyak. “Dalam kitab suci disebutkan, 10 diberikan kepada manusia, tapi hanya satu diminta (jaga hati) itu pun tak bisa dipertahankan,” ujar Hari Singh. Jika sudah demikian, dia harus hidup kembali untuk menjadi baik.

Sedangkan inti ajaran Sikh, terpusat pada manusia. Awalnya manusia harus mengenal kelemahan dirinya, kemudian kelebihan diri. Setelah melakukan pengenalan diri, maka manusia harus berusaha mencapai derajat tertinggi kemanusiaan menyatu dengan zat maha.

Tata cara peribadahan agama Sikh, dimulai dengan membaca kitab suci, selanjutnya berdoa dan ditutup dengan memakan kue suci disebut varshad. Varshad, merupakan manisan gabungan inti susu, inti tepung dan inti gula. Umat Sikh, umumnya merupakan vegetarian. “Kami makan ikan teri saja tidak boleh,” ujar Mami, kepala juru masak di Gurdwara Tebingtinggi.A. Khalik

Post a Comment for "Agama Sikh, Telah Ada Di T.Tinggi Sejak 1916"