----iklan---- Populasi Manusia Dan Komersialisasi Libido Global - JEJAK KHALIK
Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Populasi Manusia Dan Komersialisasi Libido Global


31 Oktober 2011 menjadi batas waktu, ketika manusia yang hidup di permukaan bumi ini mencapai jumlah 7 milyar jiwa. Begitu prediksi World Healt Organization (WHO) sebagai badan kesehatan dunia dibawah PBB. Per 2050, diprediksikan pertumbuhan penduduk dunia bertambah lagi hingga 2,3 miliar. Total penduduk dunia 49 tahun mendatang, mencapai 9,3 milyar. Wow! Sebuah angka cukup fantastis untuk planet yang cuma memiliki luas 510 juta kilometer persegi ini.

Ironinya, dari luas bumi itu, 70,8 persen permukaannya diisi air, selebihnya daratan. Dari total 29,2 persen daratan, dikurangi benua Antartika, Arktik serta daratan tak berpenghuni lainnya, diperkirakan hanya sekira 20 persen saja bumi yang ditempati manusia. Di permukaan itulah, manusia berjejal mempertahankan eksistensinya berebut dengan makhluk lainnya.

David Bloom, profesor ekonomi dan demografi dari Harvard University menyebutkan, peningkatan jumlah manusia ini akan menghadirkan pergolakan demografi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dalam laporannya yang dipublikasikan di jurnal Science, Bloom menyebutkan, pada tahun 2050, hampir seluruh dari 2,3 miliar manusia baru itu akan tinggal di kawasan yang kurang berkembang. Dan hampir separuhnya tinggal di Afrika.

Sebaliknya, sebut Bloom, populasi manusia di negara maju akan tetap bahkan usianya akan menua, dengan manusia dewasa berusia produktif yang semakin berkurang untuk mendukung penghidupan para pensiunan. Kondisi itu juga akan menimbulkan problema rumit dalam kehidupan manusia.

Meski masalah yang dihadapi negara berkembang berbeda dengan masalah yang dihadapi negara kaya. Akan tetapi di era globalisasi, tantangan demografi di manapun merupakan tantangan bagi negara manapun di dunia. Begitu kata pakar demografi dan ekonomi dari universitas kelas dunia itu.

Modernisasi yang dicirikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta model peradaban yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sebagai pusat semesta (antropocentrisme), secara alamiah mulai memunculkan problema kemanusiaan luar biasa. Tanpa sadar kita menuju jurang kepunahan, akibat laju populasi manusia yang terus menggila, karena hak privelese tanpa batas, ditengah sumber daya bumi yang terbatas. Kita tengah berproses menuju peradaban canibal langsung maupun tak langsung (homo homini lupus), diatas bayang-bayang keinginan naluriah manusia agar bisa selevel dengan Tuhan.

Perhatikan lah, bagaimana manusia merasa demikian pintar hingga menisbikan berbagai hukum alam yang dicernakan demikian apik dalam berbagai kitab suci keagamaan, sebagai sumber-sumber kearifan masa lalu. Ketika begitu banyak larangan teks-teks suci itu, sebagai bentuk peringatan dini, agar manusia bisa eksis di muka bumi. Justru kebanyakan manusia memandangnya dengan sebelah mata. Bahkan, sebagian besar populasi manusia cenderung menihilkannya.

Manusia pun, karena punya akal memandang dirinya selevel dengan Sang Pencipta, menciptakan hukum-hukumnya sendiri dan diandaikan sebagai jalan pencerahan (enlightement) agar eksistensi manusia semakin membubung. Salah satu puncak pemikiran manusia yang begitu diamini dan oleh Francis Fukuyama diyakini sebagai The End Of History adalah peradaban Kapitalistik.

Salah satu dari buah peradaban Kapitalistik yang menentang teks-teks kitab suci, adalah pembebasan libido manusia dari ruang privat ke ruang massa. Libido dalam peradaban Kapitalitik, diberi ruang seluas-luasnya sejak dari sektor hulu hingga ke hilir. Mulai dari ruang profan melalui eksploitasi bisnis mode (pakaian, perhiasan, parfum dan sejenisnya) hingga pada wilayah sakral, seperti dunia pendidikan yang ditandai dengan sex education. Kondisi itu, mengakibatkan tak ada wilayah bebas libido dalam peradaban Kapitalis.

Lebih dari itu, berbagai bentuk penyimpangan libido (homosex dan lesbian), atas nama hak asasi manusia (HAM), secara perlahan diberi ruang aktualisasi. Massifikasi penyimpangan libido itu pun menjadi legal dan jadi bagian dari peradaban Kapitalistik yang memandangnya sebagai kodrat dan bukan kutukan. Komunitas-komunitas ini, yang secara alamiah bertabrakan dengan kehendak alam sebagai makhluk berpasangan, merupakan puncak penyimpangan libido Kapitalitik yang dibanggakan, hanya karena memuat nilai-nilai materialistis.

Libido, dalam peradaban Kapitalis telah dimodifikasi menjadi mesin pertumbuhan ekonomi paling efektif. Atas nama kreatifitas pula, libido telah di eksplorasi bahkan dieksploitasi hingga titik maksimal, dalam rangka meraih keuntungan ekonomis sebesar-sebesarnya atas nama proyek pleasure global. Singkatnya di peradaban Kapitalistik inilah, manusia mengalami booming libido tanpa batas demi alasan-alasan HAM dan fulus.

Padahal, pesan-pesan teks kitab suci dari agama apa pun di muka bumi ini, melarang dengan tegas pemunculan nilai-nilai libido di ruang publik. Bahkan, pembangkangan atas pelarangan itu disertai dengan hukuman yang keras. Nilai-nilai kearifan masa lalu itu, menjadikan libido hanya sebagai pengalaman pribadi terdalam yang diletakkan dalam wacana suci. Pelarangan aktualisasi libido ke ruang publik, bahkan oleh pesan-pesan teks suci itu, dilakukan mulai dari titik ekstrim hingga ke titik sangat moderat.

Ajaran selibat (bentuk penghilangan libido hingga kehendak tidak menikah) dapat dipahami sebagai pelarangan eksploitasi libido paling ekstrim, dari sejumlah agama periode awal. Bahkan, pelaku selibat disanjung hingga ke tingkat manusia suci dan perwakilan Tuhan di bumi. Salah satu substansi dari ajaran ini, jika kita renungkan lebih pada upaya menekan tingkat pertumbuhan populasi manusia di lingkungan.

Bahkan, terhadap berbagai penyimpangan libido yang bertentangan dengan kehendak alam, langsung dimusnahkan. Kisah negeri “Sodom and Gomorrah” yang dimusnahkan atau kisah kaum Luth yang dijungkir balikkan, merupakan salah satu ibrah, betapa tidak ada toleransi terhadap penyimpangan libido. Teks-teks suci menginformasikan dengan transparan, penyimpangan libido maupun eksploitasi dan eksplorasi libido secara massif, akan mengarahkan manusia pada kehancuran dan kepunahan di muka bumi.

Pandangan moderat terhadap libido, justru muncul dari teks-teks suci lebih belakangan. Moderatisme itu, bisa dirasakan salah satunya melalui hak berpoligami secara ketat dalam aktualisasi libido. Sayangnya, hak berpoligami itu, justru dipandang sebagai pelanggaran besar oleh peradaban Kapitalitik. Padahal, jika ditelisik dari perspektif demografi, inilah salah satu jalan yang membuka peluang keberlangsungan populasi manusia, ketika terjadi armageddon kecil di bumi. Armageddon kecil itu, sinyalnya sejak awal diberikan oleh teks kitab suci. “Telah terjadi kerusakan di bumi dan lautan akibat ulah tangan manusia,” begitu teks suci itu mengabarkannya.

Pakaian yang substansinya menutup aurat serta etika pergaulan yang diatur sedemikian rupa oleh teks-teks kitab suci, merupakan solusi sederhana dalam menghempang laju populasi manusia di muka bumi. Disamping solusi yang dibangun oleh pikiran manusia, semisal peningkatan pendidikan kaum perempuan, peningkatan kesehatan, keluarga berencana, maupun upaya-upaya pembatasan populasi lainnya.

Kisah nenek moyang manusia Adam dan Hawa yang telanjang, akibat dosa memakan buah khuldi, dapat menjadi pelajaran betapa kondisi tanpa busana yang memamerkan aurat tanpa hak, merupakan dosa akibat perbuatan yang dilarang. Dosa, dalam perspektif peradaban manusia, semestinya dihindari agar terhindar dari kemusnahan. Artinya, begitu manusia melakukan suatu dosa, sama dengan bergerak laju menuju titik kepunahan. Karena itu, teks-teks kitab suci dari agama apapun, membuat peraturan tegas agar manusia menutup aurat.

Dengan demikian, larangan mengumbar libido di ruang publik melalui teknik menutup aurat, bisa jadi salah satu anjuran sederhana yang diajarkan pencipta alam ini, guna menahan laju pertumbuhan manusia. Menutup aurat secara baik, akan meminimalisir libido liar manusia. Selanjutnya, aktualisasinya diatur secara baik dan bermartabat melalui lembaga pernikahan Sedangkan terhadap penyimpangan libido, tak ada toleransi untuk itu.

Saran itu, sangat sederhana. Tapi kebanyakan manusia menihilkannya dengan membalik perilaku mengeskploitasi dan mengeksplorasi libido secara maksim ke ruang publik. Itu berarti, kita memang merasa sok lebih tahu dari si pencipta alam ini sendiri. Nauzubillah…

Post a Comment for "Populasi Manusia Dan Komersialisasi Libido Global"